Senin, 25 November 2013
Umar Bin Khattab; “Apakah Berumahtangga Hanya Karena Cinta?”
Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya. (QS. Al A’rof 189)
Ayat di atas menginformasikan bahwa Allah menjadikan manusia berasal dari diri yang satu (nafsin wahidah), yaitu diri Nabi Adam as. Informasi tentang asal usul manusia dari keturunan Nabi Adam as terasa lebih menenteramkan dan memuaskan dari pada informasi yang dikemukakan belakangan oleh Charles Darwin (1804-1872) dengan teori evolusinya, yang menyatakan umat manusia berasal dari sejenis makhluk yang disebut anthropoides (kera). Manusia seluruhnya secara naluri akan mengingkari informasi Charles Darwin itu, tanpa harus susah-susah membatalkan tori itu dengan dasar-dasar Islam.
Dari diri Nabi Adam as, Allah SWT lalu menciptakan istrinya, yaitu Hawwa’. Imam Ibnu Katsir menyatakan bahwa Hawwa’ diciptakan dari tulang rusuk sebelah kiri Nabi Adam as saat beliau tengah tidur. Beliau lalu merasa cinta dan tenteram dengan Hawwa’ dan begitu pula sebaliknya Hawwa’ merasa cinta dan tenteram dengan Nabi Adam as.
Dari pertautan pasangan ini lahir dan tersebarlah umat manusia laki-laki dan perempuan ke berbagai pelosok bumi lengkap dengan perbedaan kelompok, karakter, warna kulit, bahasa, dialek, dan sebagainya. Hal ini sesuai dengan firman Allah :
“ Hai sekalian manusia,bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak”( QS. An Nisaa’ : 1)
Cinta Kasih sebagai Fitrah Manusia
Dalam diri manusia terdapat naluri berkeinginan terhadap lawan jenis (gharizah nau’). Jenis laki-laki dilengkapi dengan spermatozoa (sel kelamin jantan) sedang jenis perempuan dilengkapi dengan ovum (sel telur betina) yang antara satu dengan lainnya saling butuh membutuhkan karena didorong oleh libido (naluri seksual) yang merupakan instink terkuat dalam tubuh manusia. Naluri tersebut menuntut pemenuhan, pelampiasan, dan pemuasan dengan hidup berumah tangga atau berpasangan, utamanya bila ada stimulus (perangsang, pembangkit). Jika tidak, maka manusia akan dilanda resah, gelisah, dan gangguan kejiwaan (psikosomatik) yang bisa memicu tumbuhnya gangguan-gangguan fisik. Allah SWT berfirman :
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (Q.S Ar Ruum : 21)
Inilah sunnatullah, setiap manusia secara fithrah merasa cinta, tenteram, sayang, senang dan suka dengan lawan jenisnya. Laki-laki cenderung cinta dan tenteram terhadap perempuan dan sebaliknya perempuan cenderung cinta dan tenteram dengan laki-laki. Kecenderungan untuk berpasang-pasangan ini kemudian dalam islam diberi peluang melalui apa yang disebut dengan pernikahan. Pernikahanlah satu-satunya jalan yang tepat, syah, dan bahkan bisa bernilai ibadah bagi dua orang yang berlainan jenis untuk saling mengaikatkan diri.
Hidup berpasangan ini memiliki sekian banyak fungsi. Namun diantara sekian banyak fungsi itu ada dua fungsi yang penting, yaitu fungsi hidup berpasangan sebagai rekreasi (mencari kesenangan dan ketenteraman) dan fungsi prokreasi ( fungsi menghasilkan keturunan) sebagai sarana melanjutkan populasi manusia.
Dalam kehidupan berumah tangga Allah SWt menjanjikan mawaddah wa rahmah yang berarti cinta yang tulus dan murni dari kedua belah pihak yang berpasangan. Cinta yang tulus dan murni merupakan tiang penyangga tegaknya kehidupan berumah tangga.. Dan karenanya tidak ada perpaduan dan pertautan yang lebih kokoh daripada ikatan pernikahan. Firman Allah swt :
Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat. (Q.S An Nisaa’ : 21)
Pertautan hati diantara dua pasangan berbeda jenis kelamin ini jauh lebih kuat daripada sekedar ikatan anak dengan orangtua, ikatan antara guru dengan murid, ikatan antara majikan dengan bawahan, dan ikatan-ikatan yang lain. Dua pasangan yang hatinya dipertautkan itu bisa bisa hidup serumah, sekamar, seranjang, bahkan satu tubuh. Apalagi dalam proses awal pertautan dirajut dengan menggunakan kalimat Allah swt.
Ada Syurga Menunggu
Pertautan hati pasangan suami istri amatlah kokoh. Dalam al Qur’an disebut bahwa pernikahan sebagai mitsaqan Ghalidza (ikatan yang kokoh). Murid dengan guru betapapun kuat ikatannya, di surga keduanya tidak akan berkumpul serumah, seranjang, dan satu tubuh. Berbeda dengan ikatan pernikahan. Selama keduanya pasangan yang sholeh, mereka akan masuk surga bersama-sama. Tidak ada keindahan melebihi indahnya pasangan suami isteri yang masuk surga bersama-sama. Firman Allah swt :
Masuklah kamu ke dalam surga, kamu dan isteri-isteri kamu digembirakan”. (Q.S. Az Zukhruf : 70)
Atas dasar ini rumah tangga perlu terus dibina supaya langgeng dan harmonis dunia hingga akherat. Dalam proses perjalanan pembinaan ini memang akan didapati sekian banyak rintangan dan kendala. Problematika kehidupan akan banyak ditemui kaitannya dengan watak maupun perilaku masing-masing. Wajar, ibarat piring-piring kaca yang ditata akan ada suara-suara benturan, namun dengan penataan, piring-piring itu akan tampak rapi dan indah. Disinilah perluanya mensiasati problem rumah tangga dengan sebaik-baiknya. Harus ada kesabaran dan tahan derita (tahammul). Ada yang mengalah kalau perlu. Dan saling memaklumi sifat serta maaf-memafkan.
Problem rumah tangga tidak sepatutnya buru-buru diatasi dengan thalaq atau proses perceraian. Ini bentuk kerugian karena berarti hubungan dan ikatan terputus. Padahal adakah masa depan yang lebih indah daripada pertautan hati suami isteri dan pertautan hati itu berlanjut hingga di surga bersama-sama ? Kalau setiap problem mesti diatasi dengan perceaian, tentulah Nabi Luth as lebih layak untuk menthalaq isterinya. Nyatanya tidak beliau lakukan. Allah swt mengingatkan :
Dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (Q.S. Nisaa’ : 19)
Memang sering suami mendapati dari isterinya satu perangai buruk yang menjengkkelkan, namun perlu disadari bahwa dibalik satu perangai buruk itu ada sekian banyak perangai yang menjadikan suami suka rela terhadap isterinya. Sabda Rasulullah saw :
Orang beriman laki-laki (suami) tidak boleh membenci orang beriman perempuan (isteri). Jika suami mmbenci satu perangai (buruk) dari isterinya, dia bisa rela (suka, menerima, cinta) terhadap perangainya yang lain (yang baik). (H.R Muslim).
Isteri pun kadang-kadang mendapati pada diri suaminya sesuatu yang tidak disukainya, namun dibalik itu patut disadari bahwa ada tanggungjawab besar yang diberikan suami kepada isterinya. Masing-masing pihak suami isteri sama-sama menyadari keurangannya dan bersama itu keduanya memadukan kelebihan masing-masing demi terbinanya keluarga yang harmonis kini dan esok serta akan datang saat-saat terinadah ketika keduanya masuk surga surga bersama-sama.
Umar bin Khattab adalah teladan dalam hal ini. Dia tipe laki-laki yang keras. Namun didepan isterinya, dia sayang dan lemah lembut di satu sisi dan disisi lain dia saba dan tahan derita karena mengingat jasa besar yang ditunaikan sang isteri kepadanya. Suatu hari dia bekata : “Seorang suami di dalam keluarga selayaknya menjadi laksana anak-anak (lembut dan kasih sayang). Namun dihadapan masyarakat ia keluar laksana orang dewasa (kokoh dan orang besar yang berwibawa).”
Seseorang mengeluh kepada Umar bin Khattab bahwa cintanya kepada isterinya telah memudar dan ia bermaksud menceraikannya. Umar menasehati: “Sungguh jelek (niatmu). Apakah semua rumah tangga (hanya dapat) terbina dengan cinta? Dimana taqwamu dan janjimu kepada Allah? Di mana pula rasa malumumu kepada Nya? Bukankah kamu sebagai sepasang suami isteri telah saling bercampur (menyampaikan rahasia) dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat?”
Betapapun demikian syara’ memberikan jalan keluar dari problem-problem rumah tangga . Jika problem itu besar dan tidak dapat diatasi, disediakan jalan keluar berupa misalnya thalaq. Tapi thalaq itupun seyogyanya dijatuhkan secara bertahap mengingat ketergantungan yang sangat besar isteri terhadap suaminya. Jika problem itu berupa nusyuz (durhaka) pertama-tama diperingatkan, tidak diberikan nafkah, tidak tidur bersama, hingga dipukul dengan pukulan yang tidak melukai.
Demikian Allah swt menyerukan kita menjalani kehidupan berumah tangga secara harmonis, merawat cinta kasih, mawaddah wa rahmah, cocok, serasi, selaras, sehati, dunia dan akherat .
Wallahu a’lam bi al shawab.
oleh : H. Nur Khamid, S.HI
Penghulu
KUA Kec. Sulang Kab. Rembang - Jateng
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar