Selasa, 26 November 2013
Susahnya Menjadi Orang Tua Idaman
Suatu hari di TV tayang sebuah acara reality show untuk remaja. Saat ditanyakan kepada mereka siapa tokoh atau sosok yang dikagumi dan diidolakannya, lalu meluncurlah nama-nama. Yang membuat kita prihatin tak satupun mereka yang mengidolakan orangtuanya. Bagi mereka ternyata figur orangtua tak cukup menarik dan kalah pamor dari para selebritis musik, sinetron, film dan olah raga.
Andai yang mereka sebut adalah tokoh besar peradaban semisal para nabi dan ilmuan, rasanya tidak masalah. Tapi mereka justru lebih memilih idola dari kalangan selebritis yang secara moral layak diragukan. Kenyataan ini menjadi sinyalemen buruk bagi segenap orangtua. Mungkin apa yang tersaji dalam tayangan televisi itu tak menggambarkan keseluruhan anak-anak kita, namun siapa yang bisa menjamin bahwa potret buram ”pengidolaan” itu tidak terjadi dirumah kita, atau jangan–jangan malah sudah ada di dalam rumah kita.
Kesalahan awal para orangtua
Orangtua di zaman modern ini banyak yang hanya menjadikan rumah sekedar sebagai tempat transit dari lalulalang kesibukan yang berjubel. Maka saat berada di rumah kondisi mereka sudah kepayahan karena ide-ide kreatif dan inovasinya telah terkuras di luar rumah. Sehingga, jangankan utk mengajari anak-anaknya mengerjakan PR, menemani tidur, makan bersama atau sekedar ngobrol pun sudah tidak lagi sempat, akibat berikutnya, rumah terasa kering dari siraman cinta kasih dan anak kehilangan guru sejati.
Banyak orangtua beranggapan dengan uang, fasilitas bermain atau sekolah favorit, tanggungjawab mendidik anak sudah tertunaikan secara benar, padahal sesungguhnya anak tak hanya butuh hal yang bersifat materi, tetapi juga kasih sayang, perhatian dan suri tauladan. Fasilitas pendidikan di luar rumah yang terbaik mungin mampu membentuk kepribadian anak, namun tak boleh lupa pendidikan didalam rumahlah penentu sedari awal kepribadian seorang anak.
Orang tua abai bahwa kesuksesan sejati sesungguhnya adalah ketika mereka sukses mendidik anak menuju pembentukan kepribadian yang sehat secara fisik dan mental. Apa artinya menjadi pengusaha sukses, pejabat tinggi, karier cemerlang jika anggota keluarganya ada yang terjerumus dalam tindakan sesat, semisal; narkoba, seks bebas atau yang lainnya. Bila itu terjadi, lalu siapa yang pertama mengalami penderitaan, paling dirugikan dan jadi korban? Jawabannya, tentu saja anak-anak.
Maka penting bagi para orangtua untuk segera introspeksi diri dan mengubah cara mereka dalam hal memperlakukan anak-anak. Apabila tidak, jangan-jangan para orangtua akan makin tidak populer dan ditinggalkan anak. Alangkah menakutkan andai ada pertanyaan tentang siapa tokoh paling di benci para anak? Lalu jawaban mereka adalah ayah dan ibunya. Naudzubillah min dzalik.
Menjadi orangtua, -ayah ibu- di era modern boleh dibilang gampang-gampang susah. Zaman sudah berubah, norma, etika, tata nilai telah bergeser. Orangtua dituntut bisa melakukan multiperan; menjadi teladan, pemimpin, guru, sahabat, bahkan menjadi kakak bagi anak-anaknya. Orangtua harus bersaing merebut perhatian anak dari berbagai hal; televisi, internet, perangkat teknologi baru, kawan sepergaulan, kegiatan sekolah dan banyak hal lain yang tidak semuanya membawa dampak positif. Bahkan, keluarga yang miskin ekonominya, beban tersebut semakin bertambah karena mereka juga harus bersaing dengan kemiskinan itu sendiri.
Kedekatan dengan anak menjadi hal penting, karena bila tidak, orangtua tak lagi memiliki kontrol dan pengetahuan yang cukup terhadap aktifitas anak. Siapa kawan-kawan dekatnya, apa kesibukan-kesibukannya, apa problem yang dihadapi dan lain sebagainya. Kondisi demikian membuat anak tak bisa bebas menyatakan perasaannya, dan menyampaikan berbagai hal tentang dirinya, keinginan atau bahkan problemnya. Bila hal ini berlanjut maka bisa jadi inilah awal bencana bagi keluarga karena orangtua sudah tak peduli dengan anak dan anak akan curhat dan dekat dengan orang lain yang belum tentu membawa pengaruh baik.
Kiat-Kiat
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan agar dapat membangun komunikasi, menjalin kedekatan dengan anak, sekaligus sebagai upaya menjadi orangtua idaman, diantaranya:
1) Mampu merumuskan visi-misi keluarga
Orangtua mampu menjelaskan visi dan misi keluarga kepada anak, sedangkan anak sadar untuk ikut menjaga visi dan misi serta komitmen keluarga yang telah disepakati. Ibarat berlayar dalam satu perahu, seluruh awak kapal baik nahkoda maupun penumpang memiliki tujan yang sama. Nahkoda/imam adalah suami, penumpang yang lain sebagai makmum. Menjadi penting untuk memberikan pemahaman kepada anak tentang pentingnya kesamaan dan kebersamaan dalam hal-hal tertentu yang prinsipiil. Misalnya tentang tujuan, cita-cita dan target keluarga, keyakinan dan agama yang harus diimani dan lain sebagainya.
Para orangtua bisa belajar dari kisah Lukmanul Hakim sebagaimana telah dijelaskan Allah dalam Al-Qur’an tentang hal-hal prinisp apa yang mesti ditanamkan orangtua kepada anak, salah satunya yang paling penting adalah keyakinan akan keesaan Allah SWT (tauhid).
2) Punya kesungguhan untuk berkorban
Orangtua sebagai sosok yang lebih dewasa harus siap untuk mengalah, tidak egois dan tidak bisa semena-mena mengejar kebahagiaannya sendiri tanpa mempedulikan kebahagiaan bersama. Bahkan orangtua pantas berkorban untuk kebahagiaan anak, sekalipun harus ditebus dengan penderiatan. Banyak contoh yang menggambarkan bagaimana orangtua banting tulang memeras keringat demi membiayai pendidikan anak. Penderitaan itu berganti kebahagiaan manakala anak sukses meraih cita-citanya.
Dengan keteladanan orangtua, disertai penjelasan yang mudah diterima, seorang anak akan merekam pengorbanan orangtua dan belajar banyak darinya. Hal tersebut akan membentuk pola pikir, kedewasaan dan kepribadiannya. Rekaman itu akan menuntunnya menjadi orang yang berjiwa pejuang, memiliki semangat berkorban sekaligus menghargai pengorbanan orangtuanya. Banyak kita lihat orangtua yang telah bekerja keras dan berkorban untuk anak, namun anak justru mengabaikan dan kurang menyambut perjuangan dan pengorbanan orangtuanya. Hal ini disebabkan kurangnya komunikasi orangtua dengan anak -secara tepat- tentang apa yang dilakukannya.
3) Menjadi Orangtua Super
Orangtua seharusnya punya pengetahuan yang cukup diberbagai bidang serta selalu menambah ilmu agar anak merasa orangtuanya adalah sosok yang selalu siap saat anak membutuhkan penjelasan dan mampu menjadi guru sejati bagi mereka. Saat ini para anak butuh orangtua yang ”super”. Orangtua yang mampu menuangkan kesejukan dalam setiap jawaban saat anak sedang dahaga pengetahuan. Tentu orangtua yang super tidak harus tahu ilmu matematika, kimia, fisika, komputer yang melebihi sang anak, walaupun sekiranya bisa, hal seperti itu jelas lebih baik.
Orangtua super yang dimaksud adalah orang tua yang mampu membangun motivasi dan semangat anak, menumbuhkan kepedulian, kepekaan pribadi dan sosial mereka serta mampu menuntun dan membimbingnya menjadi manusia yang lebih baik dari waktu ke waktu. Anak perlu diyakinkan bahwa orangtuanya adalah sosok yang membanggakan, yang tidak kalah hebat dengan orangtua lainnya, bahkan lebih hebat. Hal ini mengharuskan orangtua untuk tidak pernah berhenti belajar agar orangtua selalu memiliki hal-hal baru yang bisa dibagi dan disuguhkan kepada anak.
4) Selalu punya waktu
Orangtua diharapkan selalu punya waktu untuk anak dan punya kesungguhan untuk membantu dan mendampingi mereka, yang kesemuanya itu dikomunikasikan dengan anak sehingga anak tahu. Mungkin karena sibuk, orangtua tak selalu punya waktu saat sang anak membutuhkan. Tapi kesungguhan untuk memberi yang terbaik kepada anak benar-benar bisa dirasakan sang anak, karena kualitas komunikasi yang baik. Banyak contoh disekitar kita dimana sebuah keluarga melewati kebersamaan dalam waktu yang panjang, dengan menonton tv bersama, minum teh atau ngobrol ringan, namun durasi waktu tersebut kurang mampu membangun jalinan kesepahaman yang kokoh antar mereka, mengapa ini terjadi? Karena kebersamaan itu hanya mampu mendekatkan mereka secara fisik, hanya tampak dipermukaan saja, dan kurang mampu mendekatkan hati mereka, kurang mampu mengeksplor hal yang tersembunyi, yang berbeda, yang butuh dicarikan ruang untuk saling menyesuaikan.
Anak berhak berbagi persoalan dengan orangtuanya kapan saja selagi hal itu memungkinkan. Kalau orangtua khawatir hal itu akan menjerumuskan anak menjadi manja, kurang dewasa dan semacamnya, maka berikan keyakinan kepada anak tentang pentingnya belajar mandiri tanpa ada kesan membatasi akses anak untuk menyampaikan perasaannya atau untuk berkomunikasi dengan orangtua.
5) Memperlakukan anak secara terhormat dan bermartabat.
Bila orangtua menginginkan anak menjadi terhormat maka perlakukanlah mereka secara terhormat semenjak kecil. Hanya orang-orang yang mengenal kehormatan yang akan hidup secara terhormat. Sebagaimana telah dicontohkan Rasulullah.
”Ummu Fadhl bercerita; suatu ketika aku menimang seorang bayi, Rasul kemudian mengambil bayi itu dan menggendongnya. Tiba-tiba sang bayi pipis dan membasahi pakaian Rasul, segera saja kurenggut secara kasar bayi itu dari Rasul dan Rasulpun menegurku; ”pakaian yang basah ini dapat dibersihkan oleh air, tetapi apa yang dapat menghilangkan kekeruhan dalam jiwa sang anak akibat renggutanmu yang kasar itu?”.
Rasul tidak ingin rasa rendah diri atau berdosa menyentuh jiwa anak yang dibawa hingga ia dewasa. Karena alasan itulah mengapa dalam hal tertentu Rasul tidak membedakan perlakuan kepada anak dan orang dewasa, misalnya dalam mengucapkan salam. Mengucap salam pada seorang anak setidaknya memberi dua dampak positif, yaitu menanamkan rasa rendah hati dan percaya diri. Karena yang banyak terjadi sekarang tidak hanya renggutan kasar namun juga cemoohan, hardikan bahkan kekerasan fisik yang diterima anak-anak kita. Dalam bentuk lain adalah adanya ketidakpedulian, sikap cuek dan egoisme orangtua.
Padahal menurut riset, 90% rasa rendah diri pada orang dewasa disebabkan adanya perlakuan yang dialaminya sebelum dia dewasa. Bila hardikan dan pukulan yang diterima anak, jangan salahkan bila kelak ia menjadi ”preman” dan tidak peduli pada kesantunan. Bila hinaan, cemoohan dan sikap sinis yang biasa mereka dapat, maka jangan salahkan bila kelak mereka tidak memiliki sikap tenggangrasa dan tidak peduli sesama.
Demikianlah beberapa kiat yang bisa dilakukan oleh para orangtua agar bisa menjalin kedekatan dengan anak sekaligus menjadi orangtua idaman bagi mereka. Bila dilakukan dengan sungguh-sungguh dan istiqomah, akan tiba sebuah masa dimana ketika anak-anak menyebut dan menceritakan orangtuanya disertai dengan sikap hormat dan rasa bangga. Bukan sebaliknya, dengan sikap sinis dan penuh rasa benci…mau?!
http://edukasi.kompasiana.com/2012/09/21/susahnya-menjadi-orang-tua-idaman-488856.html
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar