Laman

Selasa, 26 November 2013

Nikah Bawah Tangan, Masih Sesuai Jaman-kah?

“Umumkanlah pernikahan ini dan hendaklah dilaksanakan akad nikah itu di masjid-masjid dan tabuhlah rebana atas pernikahan itu “ (HR Achmad dan Tirmidzi) Namanya Mohammad Iqbal Ramadhan, diusianya yang menjelang remaja, ia mesti berjuang keras hanya untuk mendapat pengakuan dari laki-laki yang ingin ia sebut “ayah”. Putra pedangdut Machica Mochtar itu terpaksa menelan kecewa saat upaya sang ibu yang mencoba mengejar pengakuan melalui jalur hukum tak menemui hasil. Cita-cita untuk menulis nama sang ayah di akta kelahiran pun kandas sudah. Ada apa sebenarnya dengan Iqbal Ramadhan? Berdasar pengakuan Machica, saat dirinya menikah dengan ayah Iqbal, perkawinan itu tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan perkawinan. Orang biasa menyebut dengan istilah “nikah sirri” atau nikah “bawahtangan“. Tentu tak ada buku nikah, akta nikah dan semacamnya. Maka saat laki-laki mantan pejabat tenar pada masa Orba itu mengelak dan tidak mengakui telah terjadi perkawinan, tangan hukum tak mampu menjangkaunya. Banyak Machica dan Iqbal di sekitar kita. Mereka yang harus menjadi korban dari praktek kawin bawahtangan, nikah siri, atau apapun istilahnya. Kaum perempuan dan anak-anak yang banyak menanggung resiko dan menerima nasib tak beruntung, bahkan tragis. Dari mulai tak adanya pengakuan, tak terpenuhinya hak nafkah, status, hingga urusan perwarisan, dll. Anehnya praktek nikah beginian masih saja kerap terjadi. Bahkan akhir-akhir ini kembali popular setelah beberapa pesohor melakukannnya. Yang menggelisahkan, saat melakukan praktek itu sembari mencari pembenaran dari doktrin-doktrin agama. Pengertian dan Dampak Negatif Pengertian nikah siri, adalah suatu akad yang dilakukan calon suami dan calon istri yang cenderung kepada maksud merahasiakan perkawinannya. Dilakukan tanpa izin dari walinya, tidak dihadiri dua orang saksi yang muslim dan adil, tidak diumumkan serta tidak dicatat dalam akte resmi. Praktek semacam ini jelas terlarang dalam islam. Sebagaimana sabda Nabi: “Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali.” [HR Muslim). Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Aisyah ra, Rasulullah saw pernah bersabda: "Wanita mana pun yang menikah tanpa mendapat izin walinya, maka pernikahannya batil; pernikahannya batil; pernikahannya batil". [HR Muslim). Nikah sirri adalah suatu akad yang dilakukan sepasang calon pengantin, yang dihadiri dua orang saksi yang muslim dan adil, dengan izin wali yang mursyid, dengan “wasiat” merahasiakan atau menyembunyikan akad, tidak diumumkan dan tidak dicatat dalam akte resmi. Nikah sirri adalah suatu akad nikah yang tanpa izin wali atau atas izinnya, dihadiri dua orang saksi, seorang laki-laki dan seorang wanita, yang tidak dicatat dalam akta nikah resma, suatu akad nikah yang terpenuhi semua syarat dan rukun dari sisi syar’i, namun tidak dilakukan pencatatan oleh lembaga yang berwenang. Definisi ini yang oleh MUI disebut sebagai nikah bawahtangan. Dari beberapa pengertian di atas jelas bahwa suatu perkawinan yang dilaksanakan oleh masyarakat islam baik rukun dan syaratnya terpenuhi atau tidak, yang tidak dihadiri dan tidak dicatat oleh petugas dari lembaga yang berwenang melakukan pencatatan perkawinan (KUA), biasanya dimasyarakat popular dengan istilah “Nikah sirri”. Secara yuridis, sistem hukum di Indonesia tidak mengenal istilah nikah sirri atau nikah di bawah tangan dan semacamnya. Artinya praktek demikian bisa dibilang sebagai praktek illegal. Dalam UU No 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat 2 dikatakan bahwa ; “tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku". Dalam pasal 6 ayat 2 Kompilasi Hukum Islam tertulis:”Perkawinan yang dilakukan diluar pengawasan Pegawai Pencatat nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.” Karena diposisikan illegal, dengan demikian akibat yang timbul dari perkawinan tersebut pun tidak memiliki kekuatan hukum. Status suami atau istri, anak, dan semacamnya tentu saja tidak dijamin oleh hukum. Hak suami – istri, juga hak anak dalam hal nafkah, waris dan status, manakala terjadi sengketa menjadi sulit untuk dimintakan perlindungan secara hukum karena bukti (bayyinah) otentik tentang terjadinya perkawinan berupa akte nikah ataupun kutipannya tak bisa dihadirkan. Maka anak hasil nikah siri secara hukum hanya mempunya hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu. Hal ini mengacu pada pasal 42 dan 43 (1) UU No 1 1974 yang bunyi : “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah” (Pasal 42), dan “Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.” (Pasal 43 ayat 1). Akibat lain yang mungkin timbul adalah terjadinya pelanggaran jumlah istri yang menyalahi aturan syariat islam, karena tidak bisa dicari pembuktiannya secara pasti. Bagi perempuan bisa juga terjerumus praktek poliandri (bersuami lebih dari satu). Praktek yang amat terlarang dalam islam. Secara sosilogis, para pelaku nikah sirri-pun tidak leluasa bersosialisasi mengingat adanya stigma tentang tabunya nikah sirri. Bagi para perempuan bahkan sering dianggap sebagai istri simpanan / istri tidak sah. Pentingnya Pencatatan Pada masa Rasulullah saw maupun sahabat belum dikenal adanya pencatatan perkawinan. Jangankan pada masa Rasul, zaman buyut dan kakek kita pun pencatatan belum dianggap penting. Pada zaman Nabi, perkawinan sah apabila telah memenenuhi syarat dan rukunnya. Untuk diketahui warga masyarakat, pernikahan pun di'ilankan, diumumkan kepada khalayak luas, antara lain melalui media walimatul-'ursy. Bila terjadi perselisihan atau pengingkaran telah terjadinya perkawinan, pembuktiannya cukup dengan alat bukti persaksian. Berkait dengan pengumuman ini Nabi saw bersabda: Umumkanlah pernikahan dan pukullah rebana [HR. Ibnu Majah dari 'Aisyah]. Dalam hadist lain Nabi juga bersabda: Adakanlah walimah (perhelatan) meskipun hanya dengan memotong seekor kambing [HR. al-Bukhari dari 'Abdurrahman bin 'Auf]. Akan tetapi karena perubahan dan tuntutan zaman serta demi pertimbangan kemaslahatan, di beberapa negara muslim, termasuk di Indonesia, telah dibuat aturan yang mengatur perkawinan dan pencatatannya. Dikandung maksud demi tertibnya pelaksanaan perkawinan dalam masyarakat, adanya kepastian hukum, dan untuk melindungi pihak-pihak yang melakukan perkawinan itu sendiri serta akibat dari terjadinya perkawinan, seperti nafkah isteri, hubungan orang tua dengan anak, kewarisan, dan lain-lain. Perubahan hukum, khususnya berkait dengan pencatatan perkawinan dinilai penting mengingat perkembangan dan tuntutan zaman yang mengandaikan berbagai keteraturan dalam hal-hal kependudukan dan administrasi Negara. Perubahan hukum semacam ini adalah sah sesuai dengan kaidah fiqhiyah yang berbunyi: لاَ يُنْكَرُ تَغَيُّرُ اْلأَحْكَامِ بِتَغَيُّرِ اْلأَزْمَانِ. Artinya: Tidak diingkari perubahan hukum karena perubahan zaman. Ibnu al-Qayyim menyatakan : تَغَيُّرُ اْلفَتْوَى وَاخْتِلاَفُهَا بِحَسْبِ تَغَيُّرِ اْلأَزْمِنَةِ وَاْلأَمْكِنَةِ وَاْلأَحْوَالِ وَالنِّيَّاتِ وَاْلعَوَائِدِ. Artinya: Perubahan fatwa dan perbedaannya terjadi menurut perubahan zaman, tempat, keadaan, niat dan adat istiadat [I'lam al-Muwaqqi'in, Juz III, hlm. 3]. Pada dasarnya, fungsi pencatatan pernikahan adalah agar seseorang memiliki alat bukti (bayyinah) untuk membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah melakukan pernikahan dengan orang lain. Sebab, salah bukti yang dianggap absah sebagai bukti syar’iy (bayyinah syar’iyyah) adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara. Ketika pernikahan dicatatkan pada lembaga yang berwenang, tentunya seseorang telah punya sebuah dokumen resmi yang bisa ia dijadikan sebagai alat bukti (bayyinah) di muka majelis peradilan, ketika ada sengketa yang berkaitan dengan pernikahan, maupun sengketa yang lahir akibat pernikahan, seperti waris, hak asuh anak, perceraian, nafkah, dan lain sebagainya. Disamping itu pencatatan perkawinan selain substansinya untuk mewujudkan ketertiban hukum juga mempunyai manfaat preventif, seperti supaya tidak terjadi penyimpangan rukun dan syarat perkawinan, baik menurut ketentuan agama maupun peraturan perundang-undangan. Tidak terjadi perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang antara keduanya dilarang melakukan akad nikah. Menghindarkan terjadinya pemalsuan identitas para pihak yang akan kawin, seperti laki-laki yang mengaku jejaka tetapi sebenarnya dia mempunyai isteri dan anak. Tindakan preventif ini dalam peraturan perundangan direalisasikan dalam bentuk penelitian persyaratan perkawinan oleh PPN, seperti yang diatur dalam Pasal 6 PP Nomor 9 Tahun 1975. Keharusan mencatatkan perkawinan dan pembuatan akta perkawinan, dalam hukum Islam, diqiyaskan kepada pencatatan dalam persoalan mudayanah yang dalam situasi tertentu diperintahkan untuk mencatatnya, seperti disebutkan dalam firman Allah surat al-Baqarah ayat 282: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya … . Apabila akad hutang piutang atau hubungan kerja yang lain harus dicatatkan, mestinya akad nikah yang begitu luhur, agung, dan sakral lebih utama lagi untuk dicatatkan. Berdasarkan mafhum muwafaqat dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa tranksaksi utang-piutang saja disyariatkan untuk dituliskan, tentu akan lebih penting lagi mencatatkan akad (tranksaksi) yang mengikat kehidupan dua insan dalam bentuk perkawinan. Apalagi, perkawinan merupakan akad yang yang sangat kuat (mitsaqan ghalizan) Qiyas tersebut dalam istilah ushul fikih disebut qiyas al-aulawi (analogi yang hukum nya pada furu’ lebih kuat daripada yang melekat pada asalnya). Pencatatan perkawinan yang diwajibkan oleh negara nyatanya mengantarkan tercapainya kemaslahatan bagi kehidupan warganegara. Penetapan hukum atas dasar kemaslahatan merupakan salah satu prinsip dalam penetapan hukum Islam, sebagaimana disebutkan dalam qaidah: تََصَرُّفُ اْلاِمَامُ عَلىَ الرَّعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ. Artinya: Suatu tindakan pemerintah berintikan terjaminnya kepentingan dan kemaslahatan rakyatnya. Maka bagi setiap muslim-muslimah, para pemuda/i, yang telah mampu menikah. Menikahlah! Carilah pasangan yang terbaik, untuk mewujudkan kebahagiaan dunia akhirat. Tapi jangan lupa, bersikaplah gentle (kesatria)! catatkan pernikahan anda pada lembaga yang berwenang (KUA) ! …. Berani?! http://edukasi.kompasiana.com/2012/10/09/nikah-bawah-tangan-masih-sesuai-jaman-kah-494345.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar