Selasa, 26 November 2013
MUI, Penguasa Halal Haram di Negara Indonesia
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan pasal 2 menyatakan, “pembangunan pangan diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang memberikan manfaat secara adil dan merata berdasarkan kemandirian dan tidak bertentangan dengan keyakinan masyarakat”.
Sementara pasal 3 menegaskan, tujuan pengaturan, pembinaan dan pengawasan pangan adalah : a. tersedianya pangan yang memenuhi persyaratan keamanan, mutu, dan gizi bagi kepentingan kesehatan manusia; b. terciptanya perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung jawab, dan c. terwujudnya tingkat kecukupan pangan dengan harga yang wajar dan terjangkau sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Ketentuan di atas, dielaborasi lagi dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Tujuannya adalah : a. meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri; b. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa; c. meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen; d. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi; e. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha; f. meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen.
Kutipan di atas menunjukkan bahwa antara pangan dan konsumen terdapat hubungan yang saling terkait. Pangan perlu jelas status kehalalannya, sehingga bermanfaat bagi konsumen, dan konsumen dilindungi hak-haknya, sehingga siapapun yang memproduksi barang atau jasa, dapat memenuhi persyaratan yang telah ditentukan oleh agama dan peraturan perundang-undangan.
Apabila diteliti lebih lanjut, keberadaan peraturan perundang-undangan di atas, juga merupakan penjabaran dari rambu-rambu agama, baik yang berkaitan dengan soal makanan maupun barang-barang produksi lainnya yang digunakan manusia, yang dalam bahasa agama disebut dengan ketentuan halal, baik barangnya, proses maupun pengolahannya.
Fatwa Halal MUI
Masyarakat Indonesia sebagian besar memeluk agama Islam. Karena itu mereka yang menjadi bagian terbesar dari konsumen terhadap barang dan jasa, perlu mendapat perlindungan. Majelis Ulama Indonesia (MUI) dipercaya oleh Pemerintah (Departemen Agama) dan masyarakat untuk melaksanakan upaya perlindungan tersebut, yang secara teknis diformat dalam bentuk fatwa, setelah dilakukan audit oleh Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) MUI.
Karena itu fatwa MUI merupakan bagian penting dari usaha memberikan perlindungan kepada konsumen, yang selanjutnya berdasar atas Fatwa Halal MUI tersebut, produsen setelah memenuhi kriteria dan persyaratan tertentu, diberikan selembar sertifikat (syahadah) bahwa produk atau usaha jasa, dinyatakan halal.
Sejak kelahirannya, MUI telah mengeluarkan fatwa yang cukup banyak, menyangkut berbagai persoalan sosial kemasyarakatan, ekonomi, politik, agama, dan lain-lain sesuai permintaan masyarakat.
Mengapa MUI yang harus memberikan fatwa ? Karena MUI menyadari dirinya sebagai ahli waris tugas-tugas kenabian (waratsah al-anbiya’) yang di dalamnya para ulama bersama zuama dan cendekiawan muslim untuk memberikan kesaksian akan peran kesejarahan bagi upaya izzul Islam wal muslimin. Karena umat Islam adalah bagian terbesar dari bangsa Indonesia, maka wajar jika umat Islam memiliki peran dan tanggung jawab terbesar pula bagi kemajuan dan kejayaan Indonesia di masa depan.
Sebagai organisasi yang berorientasi khidmah (pelayanan) kepada umat, ada sembilan khidmah yang dilakukan; 1). Diniyah (keagamaan); 2. Irsyadiyah (pencerahan); 3). Ijabiyah (memberikan jawaban positif); 4). Hurriyah (independen); 5). Ta’awuniyah dan Ukhuwwah (tolong menolong dan persaudaraan); 6). Syuriyah (musyawarah); 7). Tasamuh (toleran); 8) Qudwah (keteladanan) dan 9). ad-Dualiyah (Internasional).
Dari sembilan orientasi tersebut, dijabarkan ke dalam lima peran utama, yaitu 1). Waratsatul anbiya (ahli waris tugas-tugas kenabian); 2). Mufti (pemberi fatwa); 3). Ri’ayah wa khadim al-ummah (Pembimbing dan lepayan umat); 4). Harakah al-Ishlah wa al-Tajdid (Gerakan reformasi dan pembaharuan); dan 5). Penegak amar ma’ruf nahi munkar.
Meskipun MUI bukanlah satu-satunya lembaga atau organisasi yang memberikan fatwa, tetapi setidaknya secara kelembagaan MUI merupakan representasi dari kelompok masyarakat Muslim yang ada. Karena itu, adalah wajar sekiranya MUI diharapkan dapat memainkan fungsi ijabiyah dan irsyadiyahnya bagi kemashlahatan masyarakat.
Fatwa Halal
Sebenarnya yang menentukan halal dan haramnya adalah agama bukan MUI. Karena ketentuan halal dan haram sudah diatur dalam Alqur’an maupun Alsunnah. Alqur’an memberikan rambu bahwa prinsipnya makanan dan produk yang dihalalkan adalah yang baik-baik, QS. al-Maidah (5):4 (يسئلونك ماذا أحل لهم قل أحـل لكم الطيبات). QS. al-A’raf (7):157 (ويحل لهم الطيبات ويحرم عليهم الخبائث).
Rasulullah saw juga menjelaskan : “Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan orang-orang yang dalam perjalanan” (أحل لكم صيد البحر وطعامه متاعا لكم وللسيارة).
Demikian juga makanan yang haram diatur secara tegas. QS. al-Maidah (5):3 meegaskan : (حرمت عليكم الميتة والدم ولحم الخنزير وما أهل لغير الله والمنخنقة والموقوذة والمتردية والنطيحة وما أكل السبع الا ما ذكيتم وما ذبح على النصب وأن تستقـسموا بالأزلام ) artinya : “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk dan yang diterkam binatang buas, kecuali yantg sempat kamu menembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah”.
Selanjutnya setelah barangnya jelas halal atau haramnya, Alah juga menegaskan agar hamba-hamba-Nya mengonsumsi yang sudah jelas kehalalannya. QS. al-Baqarah (2):168 (يا أيها الناس كلوا مما فى الأرض حلالا طيبا ولا تتبـعوا خطوات الشيطن انه لكم عدو مبين ) artinya “Wahai umat manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di muka bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu”.
Dengan mengacu kepada rambu-rambu tersebut dan masih banyak ayat maupun sunnah lainnya, maka MUI ketika akan memberikan fatwa, sudah barang tentu akan melibatkan LPPOM MUI. Di dalamnya ada para ahli/pakar yang mengetahui dan memahami tentang persoalan-persoalan yang terkait dengan suatu produk; makanan, minuman, atau produk lainnya seperti obat-obatan dan kosmetika, baik dari segi barang (‘ain)nya, proses, bahan pengolahannya; dan cara-cara pemrosesannya.
Secara teknis di lapangan LPPOM MUI melakukan audit — baik terprogram maupun insidental tanpa sepengetahuan produsen — di lapangan, untuk uji sahih atas barang, proses dan produknya. dalam hal-hal yang memerlukan pemeriksaan dan uji laboratorium maka, dilakukan oleh ahli farmasi dan ahli lainnya yang terkait.
Ini dimaksudkan, agar pertanggungjawaban dari fatwa halal yang dikeluarkan jelas secara akademik, medis, maupun kesehatannya. Karena bisa saja terjadi, barangnya halal, tetapi prosesnya tidak benar. Barangnya halal, prosesnya halal, tetapi ada bahan-bahan campurannya haram, maka barangnya akan jadi haram. Bahkan boleh jadi, barangnya halal, prosesnya benar, bahan campuran pengolahannya halal, tetapi karena kedaluwarsa, akan dapat membahayakan konsumen. Karena dampak madharat yang ditimbulkan inilah, maka barang tersebut menjadi haram untuk dikonsumsi.
Mekanisme Penetapan Fatwa dan Sertifikat Halal
Dalam menetapkan fatwa halal, MUI menetapkan prosedur dan langkah penetapan halal dilakukan dengan prosedur sebagai berikut:
1. Produsen mengajukan permohonan audit dengan mengisi formulir yang berisi tentang bahan-bahan yang digunakan (bahan pokok, olahan, tambahan) dan proses pengolahannya hingga packing dan penyimpanannya di gudang sampai distribusi penjualannya.
2. LPPOM-MUI menetapkan auditor, sekurang-kurangnya dua orang, dan jadwal pelaksanaan audit lapangan.
3. Auditor melaksanakan audit lapangan, dan mencocokkan antara isian formulir, mulai dari bahan yang digunakan, proses pengolahan, pengepakan (packing), penyimpanan, dan pendistribusian, sudah benar-benar sesuai dengan standar atau belum.
4. Auditor melaporkan hasil audit kepada LPPOM-MUI untuk dibahas secara internal oleh LPPOM-MUI.
5. Setelah dinyatakan bahwa hasil auditor sedah sesuai dengan isian, dan dinyatakan kehalalannya, LPPOM-MUI melaporkan kepada Komisi Fatwa MUI, untuk ditindaklanjuti.
6. Komisi Fatwa mengadakan rapat untuk membahas hasil audit LPPOM-MUI.
7. Setelah dinyatakan jelas kehalalannya, maka Komisi Fatwa mengeluarkan Sertifikat Halal yang ditandatangani oleh Direktur LPPOM, Ketua Komisi Fatwa MUI, dan Ketua Umum MUI.
8. Pengiriman/pengambilan sertifikat kepada/oleh produsen.
Sertifikat Halal ini masa berlakunya dua tahun, sejak ditetapkan, dengan ketentuan apabila di kemudian hari, ternyata ada kesalahan/penyalahgunaan, yang berkaitan dengan bahan, atau hal-hal lain yang bertentangan dengan ketentuan kehalalan suatu produk, baik atas laporan masyarakat maupun temuan LPPOM-MUI, sertifikat halal dapat ditinjau/ditarik kembali.
Sebelum masa berlakunya sertifikat halal habis, maka Produsen mengajukan pembaharuan sertifikat halal tersebut.
Mengakhiri sketsa ini, keberadaan Fatwa MUI dalam upaya memberikan perlindungan kepada konsumen yang sebagian besar adalah umat Islam, merupakan suatu keniscayaan. Di dalam mengeluarkan fatwa, terlebih dahulu dilakukan audit atau pemeriksaan di lapangan atau di laboratorium dengan melibatkan para ahli/pakarnya.
Dengan demikian seminimal mungkin dihindari terjadinya peluang tidak halalnya suatu produk yang dikonsumsi manusia, sebagai bentuk pertanggungjawaban dari peran dan fungsi perwujudan kemashlahatan bersama. Semoga bermanfaat.
Allah a’lam bi al-shawab.
http://edukasi.kompasiana.com/2012/09/27/mui-penguasa-halal-dan-haram-di-negeri-ini-490985.html
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar