Laman

Selasa, 26 November 2013

Konsef Kafaah Dalam Perkawinan Menurut Islam

Hukum tentang pernikahan dan membentuk keluarga dalam Islam sudah diatur oleh Allah semenjak Nabi Adam dengan Hawwa yang kemudian disempurnakan oleh Muhammad SAW. Namun sampai dengan saat ini, banyak sekali tafsir dan pemaknaan yang berbeda antar golongan (madzhab) di masyarakat, tak terkecuali di negara kita yang dipertajam oleh kelompok organisasi massa/golongan tertentu semisal NU, Muhammadiyah, Syiah, Ahmadiah atau mungkin islam liberal. Dalam menentukan pasangan hidup, Islam memberikan paduan agar terdapat prinsip kesepadanan, yang dalam fiqih munakahat (fiqh tentang perkawinan) disebut dengan kafa’ah yang berarti “kesepadanan/kesetaraan/keseimbangan”. Kafa’ah ini dalam artian bahwa adanya keseimbangan kualitas dan kuantitas calon suami dan calon istri baik dalam fisik, kedudukan, status sosial, akhlak, maupun kekayaannya sehingga masing-masing merasa nyaman dan tidak terbebani dalam melangsungkan kehidupan berumah tangga untuk mewujudkan tujuan perkawinan yang sakinah mawadah wa rohmah. Sebagaimana Surat Ar Ruum :21 Artinya : …dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. Kesepadanan suami istri disinyalir akan lebih menjamin keharmonisan dan kesuksesan hidup berumahtangga serta dapat menghindarkan diri dari keretakan dan kehancuran dalam berumah tangga. Hal ini mengingat bahwa pernikahan merupakan upaya penyatuan dua insan yang mempunyai kecendurangan yang berbeda. Diharapkan, semakin banyak titik persamaan, semakin mudah pula untuk meneguhkan kebersamaan dan persatuan diantara keduannya dan demikian juga sebaliknya, jika banyak titik perbedaan maka akan mempercepat keretakan rumah tangga itu. KONSEP KAFA’AH DALAM ISLAM Menurut para ulama’ terdapat beberapa perbedaan pendapat mengenai hukum kafa’ah dalam pernikahan. Ibnu Hazm berpendapat bahwa kafa’ah tidak dijadikan pertimbangan dalam perkawinan, muslim manapun selama bukan pezina berhak menikah dengan muslimah, apapun keadaan dan strata sosialnya, karena kafa’ah hanya diukur dari keislaman dan keimanan seseorang. Bila sudah sama-sama muslim, maka setiap orang adalah sama kedudukannya. Sementara kalangan Malikiyah (Madzhab Imam Malik) beranggapan bahwa kafa’ah harus dijadikan pertimbangan dalam pernikahan. Yang dimaksud dengan kafa’ah disini, menurut Malikiyah ialah unsur istikamah dalam menjalankan ajaran agama dan akhlak. Unsur lain seperti kekayaan, keturunan dan sebagainya tidak dijadikan pertimbangan Menurut jumhur (golongan mayoritas) ‘ulama’ menyatakan bahwa kafa’ah dalam perkawinan sangat penting karena tidak hanya terbatas dengan istikamah seperti yang disampaikan ulama malikiyah tetapi juga memperhatikan juga kafa’ah dalam unsur nasab, profesi, kekayaan dan kesejahteraan. Jumhur ulama’ berpendapat pula bahwa kafa’ah menjadi hak perempuan dan para wali. Karena seorang wali tidak boleh menikahkan seorang perempuan dengan seorang laki- laki yang tidak sekufu/tidak sederajat (tidak selevel) strata sosialnya. Sedang menurut Syafi’iyah, kafa’ah itu menjadi hak bagi perempuan dan wali yang mempunyai hak pada waktu itu. Melihat pendapat ulama’ diatas bahawa mereka sepakat kafaah dalam agama artinya calon suami istri harus seagama. Dan sebaiknya memang untuk memilih calon istri seorang berusaha secara wajar, tidak perlu berlebihan, minimal perlu dipertimbangkan agamanya, watak, tabiat dan akhlak serta yang utama perlu disadari didunia ini tidak ada yang sempurna, pasti ada kurang dan lebihnya. Karenanya seorang tidak perlu berharap mendapatkan calon istri atau suami yang sempurna segalanya. Karena hal semacam itu tidak ada didunia. Jika yang dicari harus pasangan yang sempurna, itu sama artinya dirinya memilih hidup membujang atau tidak kawin. Rosululloh SAW menyarankan dalam hal memilih calon istri dengan memberikan petunjuk empat kreteria yang harus dipenuhi : 1. Karena kekayaannya 2. Karena keturunannya 3. karena kecantikannya 4. karena agamanya sebagaimana disandakan dalam hadits yang artinya; …”‘wanita itu dinikahi karena empat hal, yaitu hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya. Maka pilihlah wanita yang mempunyai agama, (jika tidak) kamu akan binasa” Dari keempat macam kreteria tersebut sesungguhnya faktor agama dan akhlak adalah merupakan ukuran pertama dan yang paling utama dibanding lainnya. Memang memilih calon istri karena pertimbangan kecantikannya dan hal-hal yang sifatnya materi adalah manusiawi, namun lebih baik adalah dengan mengutamakan nilai akhlak agamanya. Sebab agama merupakan faktor yang sangat penting dalam kehidupan berumah tangga, sehingga agama merupakan faktor yang lebih diutamakan dari faktor-faktor yang lain. Bahkan semua faktor pilihan itu hendaknya dilakukan atas dasar pertimbangan agama. Jika agamanya baik, maka tinggal mempertimbangkan segi yang lain. KESERASIAN (KAFA’AH) DALAM PERNIKAHAN Mereka mengatakan bahwa kufu itu ada enam maka jawabku, itu sudah berlalu [kuno] sesungguhnya yang diketahui anak jaman sekarang, hanyalah kemudahan mencari dirham [uang] (Syair gubahan Mar’i Al- Hambali dikutip oleh Sayyid Bakri Syatho dalam I’anatuth Tholibin) Sebagian orang masih memandang perlunya kafa’ah walaupun keberadaannya tidak berpengaruh atas keabsahan pernikahan. Kufu atau kafa’ah yang bermakna keserasian, kesetaraan atau keselarasan dalam menentukan calon pendamping adalah hak yang boleh dijadikan tolok ukur keluarga pengantin perempuan dalam menentukan calonnya. Sementara bagi laki-laki kafa’ah tidak diperlukan sehingga dalam literatur fikih dinyatakan bahwa yang dapat menggugurkan keharusan adanya kafa’ah ini adalah keluarga dan calon pengantin perempuan. Mengapa diperlukan kafa’ah ? Perkawinan adalah langkah awal pembentukan sebuah keluarga yang membutuhkan pasangan yang serasi dan memiliki keterpaduan dalam merangkai hubungan diantara mereka serta segenap keluarga mereka. Sehingga jika keduanya berasal dari kelas atau golongan yang setara, dikawatirkan akan terjadi kesulitan dalam mewujudkan hubungan yang harmonis yang pada akhirnya berujung pada bubarnya perkawinan. Kalangan yang menganggap pentingnya kafa’ah mendasarkan pendapatnya pada ; 1. Hadits Nabi dari Ali RA yang diriwayatkan oleh Turmudzi dan al-Hakim; “Tiga hal yang jangan ditunda [1]shalat jika telah masuk waktunya,[2]jenazah jika sudah tiba, dan [3] gadis yang sudah mendapatkan jodoh yang sepadan”. 2. Hadits Nabi dari Jabir yang diriwayatkan oleh Daruquthny dan Baihaqi: “Jangan nikahkan wanita kecuali dengan orang- orang yang sekufu, jangan menikahkan mereka kecuali wali mereka, dan tiada maskawin di bawah 10 dirham” 3. Hadits Nabi dari Aisyah dan Umar yang diriwayatkan oleh al-Hakim: “Aku akan mencegah perkawinan orang- orang yang memiliki nasab kecuali dengan pasangan yang sepadan” Serta masih banyak hadits-hadits lain yang mengharuskan adanya kafa’ah sehingga pensyaratan kafa’ah dalam pernikahan ini menjadi pendapat jumhur termasuk madzhab empat. Sedang yang tidak mensyaratkannya antara lain ats-Tsauri, Hasan Bashri, dan al-Karkhi (Hanafiyah), adapun dasarnya adalah sabda Nabi “Manusia itu sama seperti jajaran gigi, tidak ada keutamaan bagi orang arab maupun ajam [selain arab]. Sesungguhnya keutamaan itu terletak pada ketakwaannya”. Serta fakta sejarah yang mencerminkan kesetaraan sesama muslim yang diajarkan oleh Nabi. Salah satunya adalah menikahnya seorang mantan budak [Bilal bin Rabah] dengan seorang perempuan merdeka dari kaum anshar. UKURAN KAFA’AH Sebagaimana Syafi’i, ukuran kesepadanan ini dilihat dari lima hal, yaitu ; 1. Agama [pengamalannya] 2. Status [merdeka/budak] 3. Nasab [asal usul] dan Hasab [sifat pendahulu] 4. Profesi 5. Kondisi fisik dan mental Dalam literature fikih dewasa ini dinyatakan bahwa kafa’ah dapat dinilai dari adapt istiadat yang berlaku, dan hanya menjadi hak perempuan dan walinya sehingga jika suami tidak sepadan dan perempuan belum hamil, mereka[perempuan dan wali] berhak membatalkan pernikahan [fasakh] sebagaimana diungkapkan oleh Wahbah Zuhaili. Inilah konsep kafaah dalam sebuah perkawinan menurut Islam yang memang mensyaratkan bahwa pertimbangan agamalah yang menjadi usnur paling utama dalam menentukan pilihan calon pasangan suami atau istri, yang dengan itu dijamin akan mendapatkan ketentraman dan ketenangan didalam kehidupan berkeluarga Syair gubahan Mar’i Al- Hambali dikutib oleh Sayyid Bakri Syatho dalam I’anatuth Tholibin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar