Laman

Selasa, 26 November 2013

Sudahkah Rumahtangga Kita Punya Tujuan?

”Dan tiadalah kehidupan di dunia ini, melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesunguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan kalau mereka mengetahui” (QS: al-Ankabut : 64) Seakan telah menjadi bagian yang sangat standar dari skenario kehidupan, bahwa hampir sepanjang usia dunia hingga saat ini, betapa banyak orang yang selama hidupnya disibukkan oleh kerja keras, peras keringat banting tulang dalam mencari penghidupan. Apa yang telah diperolehnya dikumpul-kumpulkan dan ditimbun dengan seksama demi agar anak-anaknya terjamin masa depannya. Ada juga orang yang dalam hidupnya teramat merindukan penghargaan dan penghormatan, sehingga hari-harinya disibukan dengan memperindah rumah, mematut-matut diri, membeli aneka asesori, dan sebagainya, yang semua itu dilakukan semata-mata ingin dihargai orang. Inilah fenomena kehidupan yang menunjukan betapa manusia dalam kehidupannya berpeluang dekat dengan hawa nafsu yang merugikan. Sekiranya tujuan sebuah rumah tangga hanya duniawi belaka, maka penghuninya akan merasakan letih lahir batin karena energinya lebih banyak terkuras oleh pemikiran tentang taktik dan siasat serta nafsu menggebu untuk mengejar hal duniawi itu terus menerus siang malam. Padahal, apa yang didapatkannya tak lebih dari apa yang telah ditetapkan ALLAH untuknya. Walhasil, hari-harinya akan terjauhkan dari ketenteraman batin dan keindahan hidup yang hakiki karena tak ubahnya seorang budak. Ya, budak dunia ! Berawal dari tujuan Sebaliknya rumah tangga yang tujuannya hanya ALLAH, ketika mendapatkan karunia duniawi, akan bersimpuh penuh rasa syukur kehadirat-Nya. Sama sekali tidak pernah kecewa dengan seberapa pun yang ALLAH berikan. Pendek kata adanya hal duniawi di sisinya tidak membuatnya sombong, tiadanya pun tak membuatnya menderita dan sengsara, apalagi jadi merasa rendah diri karenanya. Lebih-lebih lagi dalam hal ikhtiar guna mendapatkan karunia duniawi tersebut, baginya yang penting bukan perkara dapat atau tidak dapat, melainkan bagaimana agar dalam rangka menyongsongnya hati tetap terpelihara, sehingga ALLAH tetap ridha. Jumlah yang didapat tidaklah menjadi masalah, namun kejujuran dalam menyongsongnya inilah yang senantiasa diperhatikan sungguh-sungguh. Karena, nilainya bukanlah dari karunia duniawi yang diperolehnya, melainkan dari sikap terhadapnya. Oleh karena itu, rumah tangga yang tujuannya ALLAH Azza wa Jalla sama sekali tidak akan silau dan terpedaya oleh ada atau tidak adanya segala perkara duniawi ini. Karena, yang penting baginya, ketika aneka asesoris duniawi itu tergenggam di tangan, tetap membuat ALLAH suka. Sebaliknya, ketika semua itu tidak tersandang, ALLAH tetap ridha. Demikian pun gerak ikhtiarnya akan membuahkan cinta dari-Nya. Merekalah para penghuni rumah tanggga yang memahami hakikat kehidupan dunia ini. Dunia, bagaimana pun hanyalah senda gurau dan permainan belaka, sehingga yang mereka cari sesungguhnya bukan lagi dunianya itu sendiri, melainkan Dzat yang Maha memiliki dunia. Bila orang-orang pencinta dunia bekerja sekeras-kerasanya untuk mencari uang, maka mereka bekerja demi Dzat yang Maha membagikan uang. Kalau orang lain sibuk mengejar prestasi demi ingin dihargai dan dipuji sesama manusia, maka mereka pun akan sibuk mengejar prestasi demi mendapatkan penghargaan dan pujian dari Dia yang Maha menggerakan siapapun yang menghargai dan memuji. Perbedaan itu, begitu jelas dan tegas bagaikan siang dan malam. Bagi rumah tangga yang tujuannya hanya asesoris duniawi pastilah aneka kesibukannya itu semata-mata sebatas ingin mendapatkan yang satu itu saja, sedangkan bagi rumah tangga yang hanya ALLAH semata menjadi tujuan dan tumpuan harapannnya, maka otomatis yang dicarinya pun langsung tembus kepada Dzat Maha pemilik dan penguasa segala-galanya. Maka upayakan rumah tangga kita tidak menjadi pencinta dunia semata. Karena, betapa banyak rumah tangga yang bergelimang harta, tetapi tidak pernah berbahagia. Betapa tak sedikit rumah tangga yang tinggi pangkat, gelar dan jabatannya, tetapi tidak pernah menemukan kesejukan hati. Memang, kebahagian yang hakiki itu hanyalah bagi orang-orang yang disukai dan diridlai-Nya. Allah SWT berfirman: ”Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan Para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu Lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” [Q.S.Al-Hadid ayat 20]. Muhasabah Berumah tangga bukanlah suatu hal yang mudah seperti halnya membalikkan kedua telapak tangan. Sejak awal, Allah Swt. memperingatkan kepada setiap orang beriman agar hati-hati dalam hal tersebut, sebagaimana firman-Nya: Hai orang-orang mukmin, Sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagim. Maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. At-Taghabun [64]:14). Ayat di atas menjelaskan, bahwa bisa jadi pasangan yang telah kita pilih untuk mendampingi hidup kita dan anak-anak yang dilahirkannya menjadi musuh bagi diri kita. Seorang suami yang seharusnya menjadi seorang pemimpin di keluarga malah menjadi koruptor karena bujukan istrinya yang terus menggerutu karena diperbudak segala macam keinginan. Ayah dan ibu terhancurkan kehormatan dan harga diri keluarganya karena perilaku dan akhlaq buruk yang diperlihatkan anak-anak yang dilahirkannya. Untuk itu, hal penting yang harus selalu kita lakukan adalah memohon kepada Allah semoga Ia menolong dan mengkaruniakan kita pendamping terbaik dan anak-anak yang shalih dan shalihah. Al Qur’an menuntun doa yang begitu indah tentang hal ini sbb: Dan orang orang yang berkata: “Ya Tuhan Kami, anugrahkanlah kepada Kami isteri-isteri Kami dan keturunan Kami sebagai penyenang hati (Kami), dan Jadikanlah Kami imam bagi orang-orang yang bertakwa. (QS. Al-Furqan [25]:74). Pasangan (istri) seperti apakah yang qurrota a’yun itu? Tentu saja istri yang menyejukan ketika dipandang, dapat menjadi tauladan bagi siapapun. Ia juga tidak akan pernah memperlihatkan wajah yang muram durja, berbicara ketus dan rona wajah yang menyeramkan. Akhlaknya akan terlihat jauh lebih indah dibanding kecantikan wajah dan tubuhnya. Akhlaqnya akan tercermin dalam perilakunya sehari-hari, baik terhadap suami maupun orang lain di luar keluarganya (tetangga), seperti senantiasa hormat meski suaminya berumur sama dengannya, atau senantiasa menghargai siapapun yang ia temui termasuk anak kecil sekalipun. Kata-kata yang keluar dari mulutnya terasa menyejukan, bersih dan tidak pernah ada yang melukai. Oleh karena itu, meski ia terus beranjak tua dan berubah karena perjuangannya dalam melahirkan dan membesarkan anak-anaknya, namun akan tetap kelihatan cerah dan bersinar. Hal itu tiada lain karena cerminan dari suasana hati yang senantiasa bersih dan bening. Di samping itu, ia juga akan senantiasa bersyukur, menghadapi setiap kejadian dengan sabar dan yakin akan pelajaran dari Allah. Istri seperti ini tidak pernah meminta hal yang di luar kemampuan suaminya. Ia juga akan senantiasa memohon izin kepada suami untuk melakukan apapun yang akan ia kerjakan. Bila paparan di atas bicara tentang istri yang sholihah, yang menjadi perhiasan terindah bagi para suami, bagaimana pula gambaran suami sholih yang menjadi pemimpin terbaik bagi para istri? Bagi suami yang sholeh, istri akan senantiasa menjadi orang spesial dalam benak dan kehidupannya. Suami seperti ini akan senantiasa bersih ketika mau berhadapan dengan istri dan memanggil dengan panggilan terbaik. Jika kondisi istri berubah secara fisik, karena perjuangannya mengurus rumah tangga, ia akan menghiburnya dengan keuntungan-keuntungan di akhirat. Ia juga akan menutup kejelekan yang dimiliki istri serta merasa terus tertuntut untuk melakukan kewajiban yang benar. Tingginya derajat suami ditentukan oleh perjuangannya menjadi pemimpin rumah tangga, sehingga ia akan terus menuntut dirinya untuk senantiasa menjadi tauladan yang terbaik bagi keluarga yang dipimpinnya. Seorang suami pilihan Allah tidak pernah mau jadi beban bagi istrinya. Ia akan senantiasa memuji dan membuat istri senang, menjadikan kekurangan istrinya menjadi ladang amal untuk berlapang hati dan membantunya selalu berjuang untuk memperbaiki diri. Ia juga akan selalu berlapang dada bertukar pikiran membahas masalah-masalah yang ada di keluarganya dengan adil. Pada malam hari, ia akan mengajak istrinya untuk bermunajat menghadap Allah bersama-sama, meminta kepada Allah sebuah keluarga yang mendapatkan perlindungan-Nya pada saat tiada lagi perlindungan lain selain hanya dari-Nya. Memohon dikaruniakannya sebuah yang keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah, bahagia di dunia dan akhirat. Waallahu a’lam bi alshawab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar