WALI DALAM PERKAWINAN
Oleh : H. Nur Khamid, SHI [1]
PENGERTIAN
WALI
Wali adalah orang yang berhak atau berwenang untuk
melakukan suatu perbuatan hukum bagi yang diwakilinya untuk kepentingan dan
atas nama yang diwakili.[2]
Sedangkan wali dalam pernikahan adalah orang yang berhak menikahkan seorang
perempuan yang diurusnya (maula) apabila ia (wali) sanggup bertindak sebagai
wali. Dan apabila karena suatu hal ia tidak dapat bertindak sebagai wali maka
hak kewaliannya berpindah kepada orang lain.
Menurut Syafi'i wali merupakan salah satu dari empat hal
yang menetapkan adanya pernikahan yaitu wali, kerelaan yang dinikahkan,
kerelaan yang menikahi, dua saksi yang adil, serta yang kelima adalah mahar/
maskawin.[3]
Sebagimana Syafi'iyyah, Malikiyyah dan Hanabilah sepakat dalam mensyaratkan
adanya wali dalam keabsahan pernikahan, dan Hanafiyah berpendapat bahwa
pensyaratan wali ini adalah untuk shoghiroh dan kabiroh majnunah
sedangkan bagi balighah aqilah baik gadis ataupun janda berhak untuk
menikahkan diri mereka selama sepadan / kufu, karena jika tidak sepadan
maka wali berhak untuk mem-faskh nikahnya.[4]
Dalam pelaksanaannya, seorang
wali bisa menikahkan sendiri atau mewakilkan kepada orang lain, atau barangkali
pasrah kepada orang lain untuk memilihkan suami sekaligus menikahkannya
sebagaimana kutipan Ibnu Qudamah dalam Al Mughni yang bercerita tentang Ummu
Amr yang kemudian dinikahkan dengan Utsman ra. oleh Umar ra.[5]
SYARAT-
SYARAT WALI
Syarat- syarat wali ialah merdeka, berakal
sehat dan dewasa. Budak, orang gila dan anak kecil tidak bisa
menjadi wali karena untuk diri mereka sendiri pun mereka tidak berhak menjadi
wali. Dalam hal berakal sehat/ kecerdikan terjadi perbedaan antara jumhur
syafi'iyyah yang tidak mensyaratkannya dengan Syafi'i, Malik, Asyhab dan Abu Mush'ab
yang berpendapat bahwa kecerdikan (dalam hal maslahah yang meliputi urusan
harta, pemilihan suami dan termasuk di dalamnya kesepadanan) menjadi syarat
perwalian.[6]
Syarat lain selain ketiga syarat tersebut adalah beragama
Islam karena non-muslim tidak boleh menjadi wali bagi muslim. Sebagaimana
firman Allah:
" Dan Allah tidak
akan sekali- kali memberikan jalan kepada orang kafir untuk menguasai orang-
orang mukmin".(QS. An Nisa 141)
Adil bukan merupakan syarat
wali, karena kedurhakaan selama tidak melampaui batas kesopanan hingga
menjadikan tidak tentramnya maula/ orang yang diurusnya sehingga hak
perwaliannya menjadi hilang.[7]
Begitu juga fasiq tidak menjadi syarat wali karena kefasikan tidak
menghalangi seseorang menjadi wali sebagaimana pendapat sebagian besar fuqaha
yang membenarkan perwalian orang Fasiq,[8]
walaupun ada juga yang menolak dan intiqal kepada wali ab'ad.[9]
Dalam hal ini karena kefasikan tidak memutuskan pertalian darah dan waris maka
kami lebih memilih pendapat pertama selama tidak sampai pada kekufuran.
MACAM-
MACAM WALI NIKAH
1.
Nasab : adalah wali
yang memperoleh hak sebagai wali karena adanya pertalian darah. Jumhur
sebagaimana Malik dan Syafii mengatakan bahwa wali adalah ahli waris dan
diambil dari garis ayah dan bukan dari garis ibu.
2.
Hakim : adalah penguasa
dari suatu negara atau wilayah yang
berdaulat atau yang mendapatkan mandat dan kuasa untuk mewakilinya.
3.
Muhakam[10] : adalah
wali hakim namun dalam keadaan darurat misalnya ketika ada kudeta sehingga
tidak ada pemerintahan yang berdaulat sehingga tidak berada di tangan penguasa/
sultan. Demikian juga jika maula tidak berada di negaranya sendiri tanpa
seorang wali pun yang menyertai sedang negaranya tidak mempunyai perwakilan di
negara tersebut.[11]
Jumhur ulama
sebagaimana Malik dan Syafi'i mengatakan bahwa wali adalah ahli waris dan
diambil dari garis ayah,[12]
walau dalam hal wali mujbir Malik menambahkan anak laki-laki kandung
sebelum ayah dan kakek.[13]
Sedang mengenai tata urutan wali nasab adalah dari yang hubungan darahnya
terdekat ke yang lebih jauh. Wali jauh tidak bisa menjadi wali jika aqrabnya
ada kecuali kalau karena suatu hal aqrab tidak dapat bertindak sebagai wali.
Namun untuk kasus daniah ( wanita kurang terhormat ) Malikiyyah
menambahkan wilayah Ammah dimana salah satu harus bertindak sebagai wali
sebagimana fardhu kifayah, dan hal ini tidak berlaku bagi perempuan syarifah
(terhormat).[14]
Adapun tertib wali sebagaimana pendapat Syafii adalah
sebagai berikut;
1. Ayah
kandung
2. Kakek (dan terus ke atas)
3. Saudara
laki- laki kandung atau se-ayah[15]
4. Anak
laki- laki saudara laki- laki sekandung atau se-ayah
5. Saudara
laki- laki ayah sekandung atau se-ayah
6. Anak
laki- laki dari poin 5
7. Saudara
laki- laki kakek sekandung atau seayah
8. Anak
dari poin 7 (dan terus ke bawah)
9. Paman
dari kakek
10. Anak
laki- laki dari poin 10 (dan terus ke bawah)
11. Hakim
WALI
MUJBIR
Wali mujbir adalah wali yang
mempunyai hak memaksa tanpa memperhatikan pendapat dari maula dan hal
ini hanya berlaku bagi anak kecil yang belum tamyiz, orang gila dan orang yang
kurang akal. Dalam hal wali mujbir ini agama mengakuinya karena memperhatikan
kepentingan dan kemaslahatan dari maula. Sedangkan wali yang tidak
berhak memaksa (Ghoiru Mujbir) adalah yang selainnya.
Dalam hal hak wali mujbir ini ada di tangan siapa
terdapat beberapa pendapat ;
a. Hanafi ; ashabah/ wali nasab terhadap anak kecil, orang gila dan orang kurang
akal.
b. Selain
Hanafi ; Hakim adalah wali mujbir bagi orang gila dan kurang akal
c. Malik
dan Ahmad ; Ayah dan pengampu adalah wali mujbir dari anak kecil.
d. Syafii ; Ayah dan kakek adalah wali mujbir dari anak kecil.[16]
Karena pertimbangan
kemaslahatan yang subyektif dari kacamata wali adakalanya masih terjadi
pemaksaan terhadap anak gadis yang tamyiz dan baligh karena diperbolehkannya
hal ini oleh madzhab Syafii dan Hambali.[17]
Dan tidak jarang juga masih terjadi penolakan dari anak gadis yang juga
didasarkan pada penilaian subyektif sesaatnya.
Dalam kasus semacam ini ada
baiknya kedua belah pihak (perempuan dan
wali) beserta keluarga yang lain (cukup
sebatas keluarga inti) duduk bersama untuk memperoleh penilaian yang lebih
obyektif karena bagaimanapun pernikahan adalah pertalian kuat yang
didasari dengan niat ibadah, dan bertujuan mewujudkan kehidupan rumah
tangga yang Samara yang tidak hanya mengikat kedua mempelai melainkan
juga keluarga mereka, disamping untuk menghindari terjadinya kebencian Allah
dikemudian hari sebagaimana diriwayatkan bahwa " Perkara halal yang
paling dibenci Allah adalah talak". [18]
Berdasar hal ini tepatlah
kiranya jika KHI tidak mengadopsi ijbarul wali ini melainkan
mensyaratkan persetujuan kedua calon mempelai sebagaimana tersurat dalam ps. 17
ayat (2). Karena syarat minimal usia catin putri menurut KHI yang 16 tahun
dianggap sudah menginjak baligh dan tamyiz walaupun menurut ulama terdahulu
ukurannya adalah sebagaimana riwayat Aisyah yang menyatakan "ketika
seorang anak perempuan (jariyah) telah menginjak usia 9 tahun, maka ia telah
menjadi perempuan (mar'ah)"[19]
yang sudah kurang –untuk tidak mengatakan tidak- relevan lagi untuk masa
sekarang.
Disamping telah sampai
kepada kita riwayat- riwayat yang antara lain;
a. Diriwayatkan
dari Abdullah Ibnu Abbas bahwa "Seorang gadis telah datang kepada Nabi
saw. dan mengadu bahwa bapaknya telah mengawinkan dirinya padahal dia sendiri
benci, maka Rasululloh saw. menyuruhnya untuk memilih" ( HR. Ahmad,
Abu Dawud dan Ibnu Majah)[20]
b. "Janda/
duda (Tsayyib) lebih berhak atas dirinya sendiri daripada walinya, dan seorang
gadis diajak bermusyawarah ( tusta'mar) dan ijinnya adalah diamnya".[21]
c. "Lajang
(Ayyim) lebih berhak atas dirinya sendiri daripada walinya, dan seorang gadis
dimintai ijin (tusta'dzan) atas
dirinya dan ijinnya adalah
diamnya".[22]
d.
Riwayat bahwa seorang gadis
mendatangi Aisyah istri Rasulullah dan berkata kepadanya " Sesungguhnya
ayahku ingin menikahkanku dengan kemenakannya agar dengan itu ia meningkatkan
kewibawaannya, sedangkan aku sebenarnya tidak menyukainya" Aisyah
berkata padanya " Duduklah sampai Rasulullah datang", maka
saat beliau datang Aisyah menyampaikan keluhan gadis tersebut. Beliau (Rasul)
segera mengutus orang untuk memanggil ayah gadis tersebut setelah itu
menyerahkan urusan tersebut kepada si gadis. Tetapi kemudian gadis itu berkata "
Ya Rasulullah, kini aku menyetujui apa yang dikehendaki oleh ayahku, tetapi aku
ingin menyampaikan kepada kaum perempuan bahwa ayah- ayah mereka tidak memiliki
hak apapun dalam urusan seperti ini" [23]
PINDAHNYA
PERWALIAN
Hak perwalian karena suatu hal bisa berpindah kepada wali
yang lain baik dari nasab (aqrab) ke nasab (sederajat atau ab'ad),
maupun dari nasab ke hakim. Dalam hal ini Maliki berpendapat bahwa jika wali
dekat tidak ada, maka perwaliannya pindah ke wali jauh, sedangkan Syafi'i
berpendapat bahwa hak perwalian pindah kepada hakim. Perbedaan pendapat ini
bersumber pada pembedaan mereka atas apakah tidak adanya wali tersebut sama
dengan kematian yang sebelumnya telah disepakati keduanya bahwa jika wali dekat
mati perwaliannya pindah ke wali jauh.
Perpindahan wali ini disebabkan antara lain karena ;
a.
Ghoibnya wali aqrab
Dalam hal wali aqrab
gaib, tidak ada di tempat dan atau tidak diketahui keberadaannya Hanafi
berpendapat bahwa perwalian pindah kepada urutan selanjutnya (wali ab'ad) dan apabila suatu saat aqrab
datang, dia tidak dapat membatalkan pernikahan tersebut karena kegaibannya sama
dengan ketiadaannya demikian juga Malik. Sedangkan Syafii berpendapat bahwa perwaliannya pindah ke
hakim.[24]
Dan jika wali aqrab di penjara dan tidak memungkinkan untuk menghadirkannya
walaupun jaraknya dekat maka ia dianggap jauh. Demikian juga jika wali dekat
tidak diketahui alamatnya walaupun dekat letak tempat tinggalnya.[25]
Dalam masalah ghoibnya wali
ini kami cenderung mengikuti kedua pendapat tersebut dengan syarat- syarat
tertentu yaitu bahwa perwalian bisa pindah kepada wali ab'ad sebagaimana
pendapat Malik dan Hanafi jika ada persangkaan yang kuat dari wali- wali selain
wali aqrab bahwa wali aqrab akan rela dan tidak berkeberatan. Sedangkan
jika persangkaan itu tidak ada atau jika ada kehawatiran tidak relanya wali
aqrab, maka perwaliannya pidah ke hakim karena adanya kekhawatiran
terjadinya sengketa antar wali.
b.
Perselisihan wali yang kedudukannya sama
Dalam hal terjadinya
perselisihan antar wali (selain wali mujbir) dalam satu thabaqat maka
perwaliannya langsung pindah ke hakim. Hal itu tidak lain disebabkan karena
fungsi hakim adalah sebagai penengah yang tidak bisa digugat oleh wali- wali
yang sedang berselisih disamping posisinya sebagai wali dari perempuan yang
tidak punya wali nasab.
c.
Walinya Adhal
Dalam hal adhalnya wali,
maka perwalian pindah ke tangan hakim yang dalam prakteknya di Indonesia
melalui prosedur penetapan adhalnya wali
dari Pengadilan Agama untuk menentukan dibenarkan tidaknya alasan penolakan
dari wali karena jika alasannya benar dan dibenarkan oleh pengadilan maka
perwaliannya tidak berpindah kepada orang lain karena ia dianggap tidak adhal/
menghalangi.[26]
Dalam masalah ini belum kami
temukan tentang bagaimana hukum dari wali yang adhal mengenai boleh atau
tidaknya,
Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu,
dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan
hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan
mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha
Mengetahui.
tapi dengan melihat dhohir ayat ini bisa disimpulkan bahwa
hukum asal dari adhal-nya wali adalah
dilarang.
WALI
MENIKAHI MAULA
Sebagaimana Malik, Sayyid Sabiq berpaendapat bahwa selama
tidak berhalangan untuk menikahi maula, maka wali boleh menikahi
maulanya tanpa harus meminta persetujuan wali lainnya.[27]
Malik mendasarkan pendapatnya pada dua riwayat muttafaq 'alaih tentang
pernikahan Nabi dengan Ummu Salamah dan Shofiyyah. Sedang Syafi'i melarangnya dengan mempersamakan wali dengan
hakim dan saksi yang tidak bisa memutuskan perkara untuk diri mereka sendiri. Dan
terhadap dua riwayat diatas Syafi'i
menganggapnya sebagi kekhususan Rasul sampai terdapat dalil yang
menunjukkan keumumannya.[28]
Dalam hal ini penulis lebih cenderung memilih pendapat
pertama karena dalam pernikahan ini wali pun harus meminta persetujuan dari
si-perempuan di samping tidak adanya nash yang sacara lahir melarangnya.
AQAD
OLEH DUA ORANG WALI
Jika hal ini sampai terjadi dan dapat diketahui akad mana
yang lebih dulu, fuqaha sepakat pada keabsahan akad yang pertama selama belum terjadi persetubuhan dengan yang
kedua. Dan jika telah terjadi, Syafi'i
dan Ibn Abdil Hakam berpendapat bahwa ia tetap menjadi istri lelaki pertama,
sedangkan Malik dan Ibn Qasim berpendapat sebaliknya.
Disamping dua pendapat ini ada juga pendapat yang
menyatakan istri harus memilih salah satunya sebagaimana diriwayatkan Umar bin
Abdul Azis.[29] Dan
pendapat terkuat menurut hemat kami adalah pendapat Syafi'i dan Ibn Abdil Hakam
yang dikuatkan oleh riwayat Abu Dawud dan Ahmad "Wanita mana yang
dinikahkan oleh dua orang wali, maka ia adalah bagi wali yang terdahulu".
PERWALIAN ANAK DILUAR NIKAH
Madzhab yang empat (Madzhab Hanafi, Malikiy, Syafi'i dan
Hambali) telah sepakat bahwa anak hasil zina itu tidak memiliki nasab dari
pihak laki-laki, dalam arti dia itu tidak memiliki bapak, meskipun si laki-laki
yang menzinahinya dan yang mena-burkan benih itu mengaku bahwa dia itu anaknya.
Pengakuan ini tidak dianggap, karena anak tersebut hasil hubungan di luar
nikah. Di dalam hal ini, sama saja baik si wanita yang dizinai itu bersuami
atau pun tidak bersuami. Jadi anak itu tidak berbapak.[30]Hal
ini berdasarkan sabda Rasulullah: “Anak itu bagi (pemilik) firasy dan bagi
laki-laki pezina adalah batu (kerugian dan penyesalan).” (HR: Al-Bukhari
dan Muslim)
Firasy adalah tempat tidur dan di
sini maksudnya adalah si istri yang pernah digauli suaminya atau budak wanita
yang telah digauli tuannya, keduanya dinamakan firasy karena si suami atau si
tuan menggaulinya atau tidur bersamanya. Sedangkan makna hadits tersebut yakni anak
itu dinasab-kan kepada pemilik firasy. Namun karena persetubuhan terjadi
bukan dengan suami (yang sah sebagai pemilik firasy) maka anaknya tidak
dinasabkan kepadanya.
Bila wanita yang dizinahi itu dinikahi walau dinikahi
sewaktu hamil, kemudian setelah anak hasil perzinahan itu lahir, maka bila si
orang itu meyakini bahwa pernikahannya itu sah (baik karena taqlid kepada orang
yang membolehkannya atau dia tidak mengetahui bahwa pernikahannya itu tidak
sah), maka status anak yang terlahir akibat pernikahan itu adalah anaknya dan
dinasabkan kepadanya, sebagaimana yang diisyaratkan oleh Ibnu Qudamah tentang
pernikahan wanita di masa iddah di saat mereka tidak mengetahui bahwa
pernikahan itu tidak sah atau karena mereka tidak mengetahui bahwa wanita itu
sedang dalam masa iddah, maka anak yang terlahir itu tetap dinisbatkan
kepadanya padahal pernikahan di masa iddah itu batal dengan ijma para ulama,
berarti penetapan nasab hasil pernikahan di atas adalah lebih berhak.[31]
Hal serupa dinyatakan Ibnu Taimiyyah, barangsiapa
menggauli wanita dengan keadaan yang dia yakini pernikahannya sah, maka nasab
(anak) diikutkan kepadanya, dan dengannya berkaitanlah masalah mushaharah
(kekerabatan) dengan kesepakatan ulama sesuai yang saya ketahui, meskipun pada
hakikatnya pernikahan itu batil di hadapan Allah dan Rasul-Nya, dan begitu juga
setiap hubungan badan yang dia yakini tidak haram padahal sebenarnya haram.[32]
Di samping telah disebutkan oleh Al-Qudamah dan Ibnu Taimiyyah tersebut,
golongan Syafi'iyyah mensyaratkan bahwa anak tersebut lahir selang enam bulan
dari akad nikah.
Secara pribadi, dalam hal ini penulis lebih cenderung
memilih berwali hakim jika diketahui atau ada pengakuan bahwa pernikahan
terjadi ketika perempuan dalam keadaan hamil terlepas dari berapa lama ia
berada dalam kandungan. Karena bagaimanapun pembuahan yang terjadi adalah
menyalahi aturan Allah sedang enam bulan sebagaimana kita ketahui
merupakan interval proses penciptaan manusia dari sperma+ovum menjadi jasad
lengkap yang bernyawa sehingga ada kemungkinan untuk bisa bertahan hidup.
Sehingga pemahaman penulis atas enam bulan menurut Syafi'i ini adalah dalam
kasus bayi prematur dan bukan dalam kasus Married By Accident.[33]
NIKAH
TANPA WALI
Dalam hal ini terdapat beberapa riwayat dari Umar ra.
yang pada dasarnya melarang pernikahan tanpa wali yang antara lain;
Diriwatkan
dari Baihaqi, Daruquthni dan Syafii dari Ikrimah, ia berkata " ditengah
jalan aku bertemu dengan khalifah, diantaranya ada seorang janda yang
menyerahkan seluruh urusannya kepada seorang laki- laki yang bukan mahramnya,
lalu ia menikahkannya. Setelah berita itu sampai kepada Umar RA. kemudian ia
merajam orang yang menikahi dan yang menikahkannya dan membatalkan
perkawinannya".
Diriwayatkan dari Daruqutni dari Said Bin Musayyab, ia mengatakan bahwa Umar pernah berkata " tidak boleh menikahkan perempuan kecuali
dengan izin walinya, atau orang yang mempunyai wewenang dalam keluarganya, atau
penguasa (sultan)"
Diriwayatkan Baihaqi dari Umar, beliau berkata " perempuan siapapun yang
tidak dinikahkan oleh walinya atau penguasa, maka nikahnya batal".[34]
Pokok pembahasan dari masalah ini adalah perbedaan
pendapat tentang pensyaratan wali dalam keabsahan pernikahan.
ü Tidak
boleh/ Mensyaratkan adanya wali,
sebagian penganut Malik (Malikiyah Baghdad) dan Syafi'i berpendapat bahwa
wali adalah syarat sah nikah.
ü Boleh/
tidak mensyaratkan, Hanafi, Sa'by, dan Zuhri
membolehkan perempuan menikahkan dirinya sendiri dengan laki-laki yang se kufu,
demikian juga Mahmud Syaltut.
ü Tergantung,
Dawud membedakan janda dan gadis dimana ia mensyaratkan wali untuk gadis dan
tidak untuk janda.[35]
ü Boleh tapi dengan restunya, Malik
dalam pendapat lain sebagimana diriwayatkan Ibnu Qasim bahwa Malik berpendapat
adanya hak mawaris antara suami istri yang menikah tanpa wali serta
menganjurkan agar seorang janda mengajukan walinya untuk menikahkannya. Dari
sini disimpulkan bahwa bagi Malik wali merupakan syarat kelengkapan perkawinan
dan bukan syarat sah.[36]
Sebab perbedaan pendapat ini tidak lain karena tidak
adanya nash yang secara lahir mensyaratkan wali dalam pernikahan terlebih lagi
yang menegaskannya, melainkan hanya sebatas nash yang mengandung kemungkinan
yang demikian. Demikian halnya nash yang tidak mensyaratkan wali dalam
pernikahan.
Adapun
penjelasannya sebagai berikut;
Apabila kamu mentalak
isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu menghalangi
mereka kawin lagi dengan bakal suaminya [kawin lagi dengan bekas suami atau
dengan laki-laki yang lain], apabila Telah terdapat kerelaan di antara mereka
dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang
beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu
dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak Mengetahui.( Baqarah: 232 )
Dan janganlah kamu menikahi
wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin
lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. dan janganlah kamu
menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun
dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga
dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
(perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. .(
Baqarah: 221 )
Golongan yang mensyaratkan wali dalam pernikahan
berpendapat bahwa kedua ayat ini ditujukan untuk para wali, jika mereka tidak
mempunyai hak dalam perwalian tentu tidak akan dilarang untuk menghalanginya.
Disamping dua ayat diatas mereka juga mendasarkan pendapatnya pada Riwayat Abu
Dawud dan Tirmidzi yang bersumber dari
Az-Zuhri[37] dari
Urwah dari Aisyah yang artinya: " Siapapun wanita yang kawin tanpa izin
walinya, maka nikahnya batal (diucapkan tiga kali). Jika suaminya telah
menggaulinya, maka maskawinnya adalah untuknya (wanita) karena apa yang telah
diperoleh darinya. Apabila mereka bertengkar, maka penguasa menjadi wali bagi
orang yang tidak punya wali".( HR. Khamsah illa Nasa'i )[38]
Riwayat Ibnu Majah Daruquthny dan Baihaqy dari Abu
Hurairah bahwa Rasul bersabda "Wanita tidak dapat mengawinkan wanita
lain, dan ia tidak dapat mengawinkan dirinya, maka sesungguhnya wanita
pezina-lah yang mengawinkan dirinya".
Sedangkan secara logika mereka menyatakan bahwa nikah
mempunyai maksud yang bermacam- macam diantaranya adalah ikatan antar keluarga
sehingga karena kelemahan tabiat wanita dalam menentukan pilihan yang
seringkali melupakan sisi kemaslahatan, [39]
maka wanita tidak diperbolehkan untuk mencampuri akad nikah secara langsung.
Adapun golongan yang tidak mensyaratkan mendasarkan
pendapatnya pada ;
Orang-orang yang meninggal
dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu)
menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila
Telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka
berbuat terhadap diri mereka[Berhias, atau bepergian, atau menerima pinangan]
menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.( Baqarah;234 )
Disamping ayat ini mereka juga menggunakan ayat- ayat
lain yang menyandarkan perkawinan kepada wanita, misalnya ;
Maka janganlah kamu menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya [kawin lagi dengan bekas suami atau dengan laki-laki yang lain], apabila Telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. ( Baqarah: 232 )
Maka janganlah kamu menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya [kawin lagi dengan bekas suami atau dengan laki-laki yang lain], apabila Telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. ( Baqarah: 232 )
Kemudian jika si suami
mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal
baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain
itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan
isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan
hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang
(mau) Mengetahui. ( Baqarah: 232 )
Sedangkan dari hadits mereka antara lain
mendasarkan pendapatnya pada ;
" Janda/ duda (Tsayyib)
lebih berhak atas dirinya sendiri daripada walinya, dan seorang gadis diajak
bermusyawarah ( tusta'mar) dan ijinnya adalah diamnya".[40]
Jalan istimbatnya adalah bahwa dalam hadits ini telah
menjadikan hak kepada wanita (janda) dan menafikan urusan orang lain mengenai
yang berhubungan dengan nikahnya mencakup pemilihan dan akadnya. Adapun untuk
perawan karena dianggap malu menegaskan kerelaannya lebih- lebih melaksanakan
akadnya sendiri, maka syara' mencukupkan dengan sesuatu yang menunjukkan
kerelaannya sebagai keringanan dan hal ini tidak berarti syara' mencabut haknya
untuk mencampuri langsung akadnya karena pada hakekatnya pembedaan tsayyib
dan bikr ini terletak pada baligh dan aqil-nya.[41]
IHTISAR
1. Wali
nikah adalah orang yang berhak dan atau berwenang untuk melakukan suatu
perbuatan hukum bagi yang diwakilinya untuk kepentingan dan atas nama yang
diwakilinya dalam hal pernikahan.
2. Wali
nikah harus merdeka, berakal sehat (tidak bodoh) dan dewasa, karena tidak
mungkin seseorang yang tidak berhak melakukan tindakan hukum sendiri bisa dan
diperkenankan mewakili orang lain.
3. Wali
nikah terbagi menjadi nasab, hakim dan muhakam.
4. Perwalian
karena satu dan lain hal bisa berpindah kepada wali yang lain.
5. Selama
tidak ada halangan syar'i, wali boleh menikahi maula.
6. Apabila
dua orang wali menikahkan seorang perempuan dengan dua orang laki-laki, maka
yang pertama dilaksanakanlah yang dianggap sah.
7. Jumhur
ulama termasuk Syafi'i, Malikiyah baghdady serta KHI mengharuskan adanya wali
dalam keabsahan pernikahan. Sedangkan menurut penulis pendapat yang terkuat
adalah bahwa yang menjadi syarat sah adalah ijin atau kerelaan wali, sedangkan
wali hanya merupakan syarat kesempurnaan saja sebagaimana pendapat Malik.
8. Sebagaimana
jual beli pernikahan adalah ibadah muamalah murni, yang karena ketulusan
niat yang mendasari serta kerelaan mengabdi pada keluarga dan pasangan-lah yang
membedakan nilainya dihadapan Allah hingga mengurangi 50% taklif di dunia.
EPILOG
o
Dan
bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka
berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. di mana saja kamu berada pasti
Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah
Maha Kuasa atas segala sesuatu.
o
Maka
disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah Lembut terhadap mereka.
sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan
diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi
mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu [urusan peperangan
dan hal-hal duniawiyah lainnya, seperti urusan politik, ekonomi, kemasyarakatan
dan lain-lainnya]. Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka
bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertawakkal kepada-Nya.
o Kecuali
Rasulullah, pendapat seseorang boleh diikuti atau ditinggalkan karena hanya
beliaulah yang terpelihara dari kesalahan.[42]
o Diperbolehkan
taqlid selama belum mampu, tetapi harus sekuat tenaga mempelajari dalil- dalil
imam yang diikutinya serta tetap bersedia menerima kebenaran dari orang lain.[43]
Langkah yang bisa ditempuh antara lain dengan melakukan kajian perbandingan
madzhab atau dengan mengkaji pemikiran fikih dengan paradigma ilmu tafsir yang
antara lain dengan kajian hemeneutik[44]
untuk bisa menggali lebih dalam obyektifitas pemikiran dari seorang fakih
yang tidak lepas dari pengaruh ruang dan
waktu guna mengurangi bias subyektifitas penulis (misalnya paternalisme,
arabisme dan quraisyisme) atas ajaran Islam. Dengan kata lain
dimungkinkan akan tercipta Qaul Mutakhir Syafi'i, jika beliau hidup pada
masa ini.
o Karena
kapasitas Qadhi di negeri ini ada di
tangan lembaga peradilan serta karena sebagian idealisme telah tergadai dengan
“jatah bulanan”, cukuplah
memposisikan diri sebagai penjaga dan pengawal hukum positif yang ada sebagai kompensasi dari jatah tersebut.
o Fa lHaqq wa lAjr Min ‘ind Illaah al-‘Aliim
al-Hakiim…
[1] Disampaikan Pada
Pertemuan Bulanan Kelompok Kerja Penghulu Kankemenag Kabupaten Rembang Tanggal
13 Agustus 2012, penulis adalah Penghulu Muda pada KUA Kecamatan Sulang
[2] Ahmad Rofiq, Hukum
Islam di Indonesia, Jkt: Rajawali Press, 1997, h. 258; lihat Pasal 1
Kompilasi Hukum Islam huruf h
[5] M.
Abdul Aziz al Hallawi, Fatwa dan Ijtihad Umar Bin Khaththab, Sby: Risalah
Gusti, cet. 2, 2003, h. 161
[8] Ibn Taimiyah, Majmu'
Fatawa, j.8, h.265 (dasar rujukan Maktabah Syamilah v. 2.01); Ibn
Rusyd al Hafid, Bidayatul Mujtahid, Dar Ihya Kutubil Arabiyyah, j.2, h.
9.
[10] Terma wali Muhakam
ini belum kami temukan dalam literatur fikih yang ada selain masalah perempuan
yang tidak mempunyai wali nasab dan tidak juga bisa pindah ke wali hakim.
[11] Al Qurthubi dalam
menafsirkan والمؤمنون
والمؤمنات بعضهم أولياء بعض
berkata "Jika perempuan tinggal di tempat yang tidak ada sultan serta
tidak mempunyai wali, maka penyelesaiannya dapat ia serahkan kepada
tetangga yang ia percayai untuk mengakad/ menikahkannya" Lihat Al
Qurthubi, Al Jaami' li Ahkam Al Qur'an, J.3, h. 76
[15] Dalam hal wali dalam
satu tingkatan ini, yang sekandung didahulukan dari yang seayah; Lihat Khosiyah
Bijrimi 'alal Khotib Kitab Nikah Bab Wali dan untuk lebih jelasnya lihat Syafi'i,
Al-Umm, juz 5 hal. 13.
[17] Muhammad Al Ghazali, As
Sunnah an Nabawy Baina Ahl Fiqh wa ahl Hadits, Cairo: Dar Syuruq, cet. 10, h. 42
[18] "Demikianlah mereka bukan lagi dua,melainkan satu. Karena
itu apa yang telah dipersatukan Allah,tidak boleh diceraikan
manusia"(Matius:19;06 )
[21] Muslim 2546; Turmudzi,
Nikah, 1026; Nasai, Nikah 3208, 3209, 3210, 3211, 3212; Abu Dawud, Nikah, 1795,
1796; Ibnu Majah, Nikah 1860; Ahmad, Musnad Bani Hasyim, 1790, 2055, 2351,
2924, 3053, 3172, 3246; Malik, Nikah, 967; Darimi, Nikah, 2092, 2093, 2094.
[22] Turmudzi, Nikah, 1026;
Muslim, Nikah, 2545, 2546; Nasai, Nikah, 3208- 3212; Abu Dawud, Nikah, 1795,
1796; Ibnu Majah, Nikah, 1860; Ahmad, Musnad Bani Hasyim, 1790, 2055, 2247,
2351, 2924, 3053, 3172, 3246; Malik, Nikah, 967; Darimi, Nikah, 2092-2094
[27] Ibid,
h. 23
[33] Karena tersohornya Syafi'i sebagai mujtahid
empiris yang senantiasa melakukan survei lapangan, pemahaman seperti ini
timbul.
[35] Pendapat ini merupakan
pendapat dhahir nash yang bisa kita lihat kelemahannya dari penjelasan
Hanafiyyah atas tsayyib dan bikr.
[37] Beliau
adalah ulama hadits terkemuka yang murid-muridnya menjadi perawi utama dari
Bukhori dan Muslim. Bukhori meriwayatkan dari murid tingkat pertama dan sedikit
dari tingkat kedua, sedang Muslim dari tingkat kedua dan sedikit dari tingkat
ketiga. M.M. Abu Suhbah, Fi Rihab as-Sunnah al-Kutub as-Shihah as-Sittah, terj.
Kutubus Sittah, Pustaka Progressif, h. 48-50
[38] Ibn Lahiah dan Hajjaj
dhoif disamping pada sanad yang lain Ibn Juraij menanyakannya pada Az-Zuhri dan
beliau memungkiri bahwa hadits ini berasal darinya dan mendhoifkannya
sebagaimana penjelasan Turmudzi dalam sunannya, karenanya hadits ini dianggap munqathi
oleh Mahmud Syaltut disamping telah dinukil Thahawi dalam Mani' al-Atsaar dan
Ibnu Hajar dalam ad-Diraayah, lihat Mahmud Syaltut, Op.Cit.
[39] terlepas dari
subyektifitas ataupun bias paternalisme arab, penilaian terhadap wanita yang
seperti ini telah lazim dikalangan kaum muslimin selama beberapa generasi
hingga sekarang.
[40] Muslim 2546; Turmudzi,
Nikah, 1026; Nasai, Nikah 3208, 3209, 3210, 3211, 3212; Abu Dawud, Nikah, 1795,
1796; Ibnu Majah, Nikah 1860; Ahmad, Musnad Bani Hasyim, 1790, 2055, 2351,
2924, 3053, 3172, 3246; Malik, Nikah, 967; Darimi, Nikah, 2092, 2093, 2094.
[41] Lihat hadits-hadits
semakna yang telah kami sebutkan di atas dalam sub-Mujbirnya wali, lihat juga:
Mahmud Syaltut dan Ali As-Sayis, Perbandingan Madzhab Dalam Masalah Fikih,
Bandung:Al-Ma'arif,
1973, h.114-131.
[44] Dalam
kajian ini teks terbagi menjadi tiga dimensi yaitu ; dunia teks
itu sendiri, dunia penulis yang meliputi paradigma pemikiran,
tujuan serta kondisi sosial budaya dan dunia pembaca.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar