Laman

Jumat, 20 Desember 2013

URGENSI WALI NIKAH DALAM SEBUAH PERKAWINAN



WALI DALAM PERKAWINAN
Oleh  : H. Nur Khamid, SHI [1]

PENGERTIAN WALI
Wali adalah orang yang berhak atau berwenang untuk melakukan suatu perbuatan hukum bagi yang diwakilinya untuk kepentingan dan atas nama yang diwakili.[2] Sedangkan wali dalam pernikahan adalah orang yang berhak menikahkan seorang perempuan yang diurusnya (maula) apabila ia (wali) sanggup bertindak sebagai wali. Dan apabila karena suatu hal ia tidak dapat bertindak sebagai wali maka hak kewaliannya berpindah kepada orang lain.
Menurut Syafi'i wali merupakan salah satu dari empat hal yang menetapkan adanya pernikahan yaitu wali, kerelaan yang dinikahkan, kerelaan yang menikahi, dua saksi yang adil, serta yang kelima adalah mahar/ maskawin.[3] Sebagimana Syafi'iyyah, Malikiyyah dan Hanabilah sepakat dalam mensyaratkan adanya wali dalam keabsahan pernikahan, dan Hanafiyah berpendapat bahwa pensyaratan wali ini adalah untuk shoghiroh dan kabiroh majnunah sedangkan bagi balighah aqilah baik gadis ataupun janda berhak untuk menikahkan diri mereka selama sepadan / kufu, karena jika tidak sepadan maka wali berhak untuk mem-faskh nikahnya.[4]
Dalam pelaksanaannya, seorang wali bisa menikahkan sendiri atau mewakilkan kepada orang lain, atau barangkali pasrah kepada orang lain untuk memilihkan suami sekaligus menikahkannya sebagaimana kutipan Ibnu Qudamah dalam Al Mughni yang bercerita tentang Ummu Amr yang kemudian dinikahkan dengan Utsman ra. oleh Umar ra.[5]

SYARAT- SYARAT WALI
Syarat- syarat wali ialah merdeka, berakal sehat dan dewasa. Budak, orang gila dan anak kecil tidak bisa menjadi wali karena untuk diri mereka sendiri pun mereka tidak berhak menjadi wali. Dalam hal berakal sehat/ kecerdikan terjadi perbedaan antara jumhur syafi'iyyah yang tidak mensyaratkannya dengan Syafi'i, Malik, Asyhab dan Abu Mush'ab yang berpendapat bahwa kecerdikan (dalam hal maslahah yang meliputi urusan harta, pemilihan suami dan termasuk di dalamnya kesepadanan) menjadi syarat perwalian.[6]
Syarat lain selain ketiga syarat tersebut adalah beragama Islam karena non-muslim tidak boleh menjadi wali bagi muslim. Sebagaimana firman Allah:
" Dan Allah tidak akan sekali- kali memberikan jalan kepada orang kafir untuk menguasai orang- orang mukmin".(QS. An Nisa 141)

Adil bukan merupakan syarat wali, karena kedurhakaan selama tidak melampaui batas kesopanan hingga menjadikan tidak tentramnya maula/ orang yang diurusnya sehingga hak perwaliannya menjadi hilang.[7] Begitu juga fasiq tidak menjadi syarat wali karena kefasikan tidak menghalangi seseorang menjadi wali sebagaimana pendapat sebagian besar fuqaha yang membenarkan perwalian orang Fasiq,[8] walaupun ada juga yang menolak dan intiqal kepada wali ab'ad.[9] Dalam hal ini karena kefasikan tidak memutuskan pertalian darah dan waris maka kami lebih memilih pendapat pertama selama tidak sampai pada kekufuran.

MACAM- MACAM WALI NIKAH
1.     Nasab           :     adalah wali yang memperoleh hak sebagai wali karena adanya pertalian darah. Jumhur sebagaimana Malik dan Syafii mengatakan bahwa wali adalah ahli waris dan diambil dari garis ayah dan bukan dari garis ibu.
2.     Hakim           :     adalah penguasa dari suatu negara atau wilayah  yang berdaulat atau yang mendapatkan mandat dan kuasa untuk mewakilinya.
3.     Muhakam[10]    :     adalah wali hakim namun dalam keadaan darurat misalnya ketika ada kudeta sehingga tidak ada pemerintahan yang berdaulat sehingga tidak berada di tangan penguasa/ sultan. Demikian juga jika maula tidak berada di negaranya sendiri tanpa seorang wali pun yang menyertai sedang negaranya tidak mempunyai perwakilan di negara tersebut.[11]

 Jumhur ulama sebagaimana Malik dan Syafi'i mengatakan bahwa wali adalah ahli waris dan diambil dari garis ayah,[12] walau dalam hal wali mujbir Malik menambahkan anak laki-laki kandung sebelum ayah dan kakek.[13] Sedang mengenai tata urutan wali nasab adalah dari yang hubungan darahnya terdekat ke yang lebih jauh. Wali jauh tidak bisa menjadi wali jika aqrabnya ada kecuali kalau karena suatu hal aqrab tidak dapat bertindak sebagai wali. Namun untuk kasus daniah ( wanita kurang terhormat ) Malikiyyah menambahkan wilayah Ammah dimana salah satu harus bertindak sebagai wali sebagimana fardhu kifayah, dan hal ini tidak berlaku bagi perempuan syarifah (terhormat).[14]
Adapun tertib wali sebagaimana pendapat Syafii adalah sebagai berikut;
1.     Ayah kandung
2.     Kakek  (dan terus ke atas)
3.     Saudara laki- laki kandung atau se-ayah[15]
4.     Anak laki- laki saudara laki- laki sekandung atau se-ayah
5.     Saudara laki- laki ayah sekandung atau se-ayah
6.     Anak laki- laki dari poin 5
7.     Saudara laki- laki kakek sekandung atau seayah
8.     Anak dari poin 7 (dan terus ke bawah)
9.     Paman dari kakek
10.  Anak laki- laki dari poin 10 (dan terus ke bawah)
11.  Hakim

WALI MUJBIR
Wali mujbir adalah wali yang mempunyai hak memaksa tanpa memperhatikan pendapat dari maula dan hal ini hanya berlaku bagi anak kecil yang belum tamyiz, orang gila dan orang yang kurang akal. Dalam hal wali mujbir ini agama mengakuinya karena memperhatikan kepentingan dan kemaslahatan dari maula. Sedangkan wali yang tidak berhak memaksa (Ghoiru Mujbir) adalah yang selainnya.
Dalam hal hak wali mujbir ini ada di tangan siapa terdapat beberapa pendapat ;
a.     Hanafi                   ; ashabah/ wali nasab terhadap anak kecil, orang gila dan orang kurang akal.
b.    Selain Hanafi         ; Hakim adalah wali mujbir bagi orang gila dan kurang akal
c.     Malik dan Ahmad  ; Ayah dan pengampu adalah wali mujbir dari anak kecil.
d.    Syafii                    ; Ayah dan kakek adalah wali mujbir dari anak kecil.[16]
Karena pertimbangan kemaslahatan yang subyektif dari kacamata wali adakalanya masih terjadi pemaksaan terhadap anak gadis yang tamyiz dan baligh karena diperbolehkannya hal ini oleh madzhab Syafii dan Hambali.[17] Dan tidak jarang juga masih terjadi penolakan dari anak gadis yang juga didasarkan pada penilaian subyektif sesaatnya.
Dalam kasus semacam ini ada baiknya kedua belah pihak (perempuan dan wali) beserta keluarga yang lain (cukup sebatas keluarga inti) duduk bersama untuk memperoleh penilaian yang lebih obyektif karena bagaimanapun pernikahan adalah pertalian kuat yang didasari dengan niat ibadah, dan bertujuan mewujudkan kehidupan rumah tangga yang Samara yang tidak hanya mengikat kedua mempelai melainkan juga keluarga mereka, disamping untuk menghindari terjadinya kebencian Allah dikemudian hari sebagaimana diriwayatkan bahwa " Perkara halal yang paling dibenci Allah adalah talak". [18]
Berdasar hal ini tepatlah kiranya jika KHI tidak mengadopsi ijbarul wali ini melainkan mensyaratkan persetujuan kedua calon mempelai sebagaimana tersurat dalam ps. 17 ayat (2). Karena syarat minimal usia catin putri menurut KHI yang 16 tahun dianggap sudah menginjak baligh dan tamyiz walaupun menurut ulama terdahulu ukurannya adalah sebagaimana riwayat Aisyah yang menyatakan "ketika seorang anak perempuan (jariyah) telah menginjak usia 9 tahun, maka ia telah menjadi perempuan (mar'ah)"[19] yang sudah kurang –untuk tidak mengatakan tidak- relevan lagi untuk masa sekarang.
Disamping telah sampai kepada kita riwayat- riwayat yang antara lain;
a.     Diriwayatkan dari Abdullah Ibnu Abbas bahwa "Seorang gadis telah datang kepada Nabi saw. dan mengadu bahwa bapaknya telah mengawinkan dirinya padahal dia sendiri benci, maka Rasululloh saw. menyuruhnya untuk memilih" ( HR. Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah)[20]
b.    "Janda/ duda (Tsayyib) lebih berhak atas dirinya sendiri daripada walinya, dan seorang gadis diajak bermusyawarah ( tusta'mar) dan ijinnya adalah diamnya".[21]
c.     "Lajang (Ayyim) lebih berhak atas dirinya sendiri daripada walinya, dan seorang gadis dimintai ijin (tusta'dzan)  atas dirinya  dan ijinnya adalah diamnya".[22]
d.    Riwayat bahwa seorang gadis mendatangi Aisyah istri Rasulullah dan berkata kepadanya " Sesungguhnya ayahku ingin menikahkanku dengan kemenakannya agar dengan itu ia meningkatkan kewibawaannya, sedangkan aku sebenarnya tidak menyukainya" Aisyah berkata padanya " Duduklah sampai Rasulullah datang", maka saat beliau datang Aisyah menyampaikan keluhan gadis tersebut. Beliau (Rasul) segera mengutus orang untuk memanggil ayah gadis tersebut setelah itu menyerahkan urusan tersebut kepada si gadis. Tetapi kemudian gadis itu berkata " Ya Rasulullah, kini aku menyetujui apa yang dikehendaki oleh ayahku, tetapi aku ingin menyampaikan kepada kaum perempuan bahwa ayah- ayah mereka tidak memiliki hak apapun dalam urusan seperti ini" [23]

PINDAHNYA PERWALIAN
Hak perwalian karena suatu hal bisa berpindah kepada wali yang lain baik dari nasab (aqrab) ke nasab (sederajat atau ab'ad), maupun dari nasab ke hakim. Dalam hal ini Maliki berpendapat bahwa jika wali dekat tidak ada, maka perwaliannya pindah ke wali jauh, sedangkan Syafi'i berpendapat bahwa hak perwalian pindah kepada hakim. Perbedaan pendapat ini bersumber pada pembedaan mereka atas apakah tidak adanya wali tersebut sama dengan kematian yang sebelumnya telah disepakati keduanya bahwa jika wali dekat mati perwaliannya pindah ke wali jauh.
Perpindahan wali ini disebabkan antara lain karena ;
a. Ghoibnya wali aqrab
Dalam hal wali aqrab gaib, tidak ada di tempat dan atau tidak diketahui keberadaannya Hanafi berpendapat bahwa perwalian pindah kepada urutan selanjutnya  (wali ab'ad) dan apabila suatu saat aqrab datang, dia tidak dapat membatalkan pernikahan tersebut karena kegaibannya sama dengan ketiadaannya demikian juga Malik. Sedangkan Syafii  berpendapat bahwa perwaliannya pindah ke hakim.[24] Dan jika wali aqrab di penjara dan tidak memungkinkan untuk menghadirkannya walaupun jaraknya dekat maka ia dianggap jauh. Demikian juga jika wali dekat tidak diketahui alamatnya walaupun dekat letak tempat tinggalnya.[25]
Dalam masalah ghoibnya wali ini kami cenderung mengikuti kedua pendapat tersebut dengan syarat- syarat tertentu yaitu bahwa perwalian bisa pindah kepada wali ab'ad sebagaimana pendapat Malik dan Hanafi jika ada persangkaan yang kuat dari wali- wali selain wali aqrab bahwa wali aqrab akan rela dan tidak berkeberatan. Sedangkan jika persangkaan itu tidak ada atau jika ada kehawatiran tidak relanya wali aqrab, maka perwaliannya pidah ke hakim karena adanya kekhawatiran terjadinya sengketa antar wali.

b. Perselisihan wali yang kedudukannya sama
Dalam hal terjadinya perselisihan antar wali (selain wali mujbir) dalam satu thabaqat maka perwaliannya langsung pindah ke hakim. Hal itu tidak lain disebabkan karena fungsi hakim adalah sebagai penengah yang tidak bisa digugat oleh wali- wali yang sedang berselisih disamping posisinya sebagai wali dari perempuan yang tidak punya wali nasab.

c. Walinya Adhal
Dalam hal adhalnya wali, maka perwalian pindah ke tangan hakim yang dalam prakteknya di Indonesia melalui prosedur  penetapan adhalnya wali dari Pengadilan Agama untuk menentukan dibenarkan tidaknya alasan penolakan dari wali karena jika alasannya benar dan dibenarkan oleh pengadilan maka perwaliannya tidak berpindah kepada orang lain karena ia dianggap tidak adhal/ menghalangi.[26]
Dalam masalah ini belum kami temukan tentang bagaimana hukum dari wali yang adhal mengenai boleh atau tidaknya,
Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.
tapi dengan melihat dhohir ayat ini bisa disimpulkan bahwa hukum asal dari adhal-nya wali adalah dilarang.

WALI MENIKAHI MAULA
Sebagaimana Malik, Sayyid Sabiq berpaendapat bahwa selama tidak berhalangan untuk menikahi maula, maka wali boleh menikahi maulanya tanpa harus meminta persetujuan wali lainnya.[27] Malik mendasarkan pendapatnya pada dua riwayat muttafaq 'alaih tentang pernikahan Nabi dengan Ummu Salamah dan Shofiyyah. Sedang Syafi'i  melarangnya dengan mempersamakan wali dengan hakim dan saksi yang tidak bisa memutuskan perkara untuk diri mereka sendiri. Dan terhadap dua riwayat diatas Syafi'i  menganggapnya sebagi kekhususan Rasul sampai terdapat dalil yang menunjukkan keumumannya.[28]
Dalam hal ini penulis lebih cenderung memilih pendapat pertama karena dalam pernikahan ini wali pun harus meminta persetujuan dari si-perempuan di samping tidak adanya nash yang sacara lahir melarangnya.
AQAD OLEH DUA ORANG WALI
Jika hal ini sampai terjadi dan dapat diketahui akad mana yang lebih dulu, fuqaha sepakat pada keabsahan akad yang pertama  selama belum terjadi persetubuhan dengan yang kedua. Dan jika telah terjadi,   Syafi'i dan Ibn Abdil Hakam berpendapat bahwa ia tetap menjadi istri lelaki pertama, sedangkan Malik dan Ibn Qasim berpendapat sebaliknya.
Disamping dua pendapat ini ada juga pendapat yang menyatakan istri harus memilih salah satunya sebagaimana diriwayatkan Umar bin Abdul Azis.[29] Dan pendapat terkuat menurut hemat kami adalah pendapat Syafi'i dan Ibn Abdil Hakam yang dikuatkan oleh riwayat Abu Dawud dan Ahmad "Wanita mana yang dinikahkan oleh dua orang wali, maka ia adalah bagi wali yang terdahulu".
 
PERWALIAN ANAK DILUAR NIKAH
Madzhab yang empat (Madzhab Hanafi, Malikiy, Syafi'i dan Hambali) telah sepakat bahwa anak hasil zina itu tidak memiliki nasab dari pihak laki-laki, dalam arti dia itu tidak memiliki bapak, meskipun si laki-laki yang menzinahinya dan yang mena-burkan benih itu mengaku bahwa dia itu anaknya. Pengakuan ini tidak dianggap, karena anak tersebut hasil hubungan di luar nikah. Di dalam hal ini, sama saja baik si wanita yang dizinai itu bersuami atau pun tidak bersuami. Jadi anak itu tidak berbapak.[30]Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah: “Anak itu bagi (pemilik) firasy dan bagi laki-laki pezina adalah batu (kerugian dan penyesalan).” (HR: Al-Bukhari dan Muslim)
Firasy adalah tempat tidur dan di sini maksudnya adalah si istri yang pernah digauli suaminya atau budak wanita yang telah digauli tuannya, keduanya dinamakan firasy karena si suami atau si tuan menggaulinya atau tidur bersamanya. Sedangkan makna hadits tersebut yakni anak itu dinasab-kan kepada pemilik firasy. Namun karena persetubuhan terjadi bukan dengan suami (yang sah sebagai pemilik firasy) maka anaknya tidak dinasabkan kepadanya.
Bila wanita yang dizinahi itu dinikahi walau dinikahi sewaktu hamil, kemudian setelah anak hasil perzinahan itu lahir, maka bila si orang itu meyakini bahwa pernikahannya itu sah (baik karena taqlid kepada orang yang membolehkannya atau dia tidak mengetahui bahwa pernikahannya itu tidak sah), maka status anak yang terlahir akibat pernikahan itu adalah anaknya dan dinasabkan kepadanya, sebagaimana yang diisyaratkan oleh Ibnu Qudamah tentang pernikahan wanita di masa iddah di saat mereka tidak mengetahui bahwa pernikahan itu tidak sah atau karena mereka tidak mengetahui bahwa wanita itu sedang dalam masa iddah, maka anak yang terlahir itu tetap dinisbatkan kepadanya padahal pernikahan di masa iddah itu batal dengan ijma para ulama, berarti penetapan nasab hasil pernikahan di atas adalah lebih berhak.[31]
Hal serupa dinyatakan Ibnu Taimiyyah, barangsiapa menggauli wanita dengan keadaan yang dia yakini pernikahannya sah, maka nasab (anak) diikutkan kepadanya, dan dengannya berkaitanlah masalah mushaharah (kekerabatan) dengan kesepakatan ulama sesuai yang saya ketahui, meskipun pada hakikatnya pernikahan itu batil di hadapan Allah dan Rasul-Nya, dan begitu juga setiap hubungan badan yang dia yakini tidak haram padahal sebenarnya haram.[32] Di samping telah disebutkan oleh Al-Qudamah dan Ibnu Taimiyyah tersebut, golongan Syafi'iyyah mensyaratkan bahwa anak tersebut lahir selang enam bulan dari akad nikah.
Secara pribadi, dalam hal ini penulis lebih cenderung memilih berwali hakim jika diketahui atau ada pengakuan bahwa pernikahan terjadi ketika perempuan dalam keadaan hamil terlepas dari berapa lama ia berada dalam kandungan. Karena bagaimanapun pembuahan yang terjadi adalah menyalahi aturan Allah sedang enam bulan sebagaimana kita ketahui merupakan interval proses penciptaan manusia dari sperma+ovum menjadi jasad lengkap yang bernyawa sehingga ada kemungkinan untuk bisa bertahan hidup. Sehingga pemahaman penulis atas enam bulan menurut Syafi'i ini adalah dalam kasus bayi prematur dan bukan dalam kasus Married By Accident.[33]
NIKAH TANPA WALI
Dalam hal ini terdapat beberapa riwayat dari Umar ra. yang pada dasarnya melarang pernikahan tanpa wali yang antara lain;
Diriwatkan dari Baihaqi, Daruquthni dan Syafii dari Ikrimah, ia berkata " ditengah jalan aku bertemu dengan khalifah, diantaranya ada seorang janda yang menyerahkan seluruh urusannya kepada seorang laki- laki yang bukan mahramnya, lalu ia menikahkannya. Setelah berita itu sampai kepada Umar RA. kemudian ia merajam orang yang menikahi dan yang menikahkannya dan membatalkan perkawinannya".
Diriwayatkan dari Daruqutni dari Said Bin Musayyab, ia mengatakan bahwa Umar pernah berkata " tidak boleh menikahkan perempuan kecuali dengan izin walinya, atau orang yang mempunyai wewenang dalam keluarganya, atau penguasa (sultan)"
Diriwayatkan Baihaqi dari Umar, beliau berkata " perempuan siapapun yang tidak dinikahkan oleh walinya atau penguasa, maka nikahnya batal".[34]
Pokok pembahasan dari masalah ini adalah perbedaan pendapat tentang pensyaratan wali dalam keabsahan pernikahan.
ü  Tidak boleh/ Mensyaratkan adanya wali, sebagian penganut Malik (Malikiyah Baghdad) dan Syafi'i berpendapat bahwa wali adalah syarat sah nikah.
ü  Boleh/ tidak mensyaratkan, Hanafi, Sa'by, dan Zuhri membolehkan perempuan menikahkan dirinya sendiri dengan laki-laki yang se kufu, demikian juga Mahmud Syaltut.
ü  Tergantung, Dawud membedakan janda dan gadis dimana ia mensyaratkan wali untuk gadis dan tidak untuk janda.[35]
ü  Boleh tapi dengan restunya, Malik dalam pendapat lain sebagimana diriwayatkan Ibnu Qasim bahwa Malik berpendapat adanya hak mawaris antara suami istri yang menikah tanpa wali serta menganjurkan agar seorang janda mengajukan walinya untuk menikahkannya. Dari sini disimpulkan bahwa bagi Malik wali merupakan syarat kelengkapan perkawinan dan bukan syarat sah.[36]

Sebab perbedaan pendapat ini tidak lain karena tidak adanya nash yang secara lahir mensyaratkan wali dalam pernikahan terlebih lagi yang menegaskannya, melainkan hanya sebatas nash yang mengandung kemungkinan yang demikian. Demikian halnya nash yang tidak mensyaratkan wali dalam pernikahan.
Adapun penjelasannya sebagai berikut;


Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya [kawin lagi dengan bekas suami atau dengan laki-laki yang lain], apabila Telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak Mengetahui.( Baqarah: 232 )

Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. .( Baqarah: 221 )

Golongan yang mensyaratkan wali dalam pernikahan berpendapat bahwa kedua ayat ini ditujukan untuk para wali, jika mereka tidak mempunyai hak dalam perwalian tentu tidak akan dilarang untuk menghalanginya. Disamping dua ayat diatas mereka juga mendasarkan pendapatnya pada Riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi yang  bersumber dari Az-Zuhri[37] dari Urwah dari Aisyah yang artinya: " Siapapun wanita yang kawin tanpa izin walinya, maka nikahnya batal (diucapkan tiga kali). Jika suaminya telah menggaulinya, maka maskawinnya adalah untuknya (wanita) karena apa yang telah diperoleh darinya. Apabila mereka bertengkar, maka penguasa menjadi wali bagi orang yang tidak punya wali".( HR. Khamsah illa Nasa'i )[38]
Riwayat Ibnu Majah Daruquthny dan Baihaqy dari Abu Hurairah bahwa Rasul bersabda "Wanita tidak dapat mengawinkan wanita lain, dan ia tidak dapat mengawinkan dirinya, maka sesungguhnya wanita pezina-lah yang mengawinkan dirinya".
Sedangkan secara logika mereka menyatakan bahwa nikah mempunyai maksud yang bermacam- macam diantaranya adalah ikatan antar keluarga sehingga karena kelemahan tabiat wanita dalam menentukan pilihan yang seringkali melupakan sisi kemaslahatan, [39] maka wanita tidak diperbolehkan untuk mencampuri akad nikah secara langsung.

Adapun golongan yang tidak mensyaratkan mendasarkan pendapatnya pada ;
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila Telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka[Berhias, atau bepergian, atau menerima pinangan] menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.( Baqarah;234 )

Disamping ayat ini mereka juga menggunakan ayat- ayat lain yang menyandarkan perkawinan kepada wanita, misalnya ; 
Maka janganlah kamu menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya [kawin lagi dengan bekas suami atau dengan laki-laki yang lain], apabila Telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. ( Baqarah: 232 )

 
Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) Mengetahui. ( Baqarah: 232 )
Sedangkan dari hadits mereka antara lain mendasarkan pendapatnya pada ;
" Janda/ duda (Tsayyib) lebih berhak atas dirinya sendiri daripada walinya, dan seorang gadis diajak bermusyawarah ( tusta'mar) dan ijinnya adalah diamnya".[40]
Jalan istimbatnya adalah bahwa dalam hadits ini telah menjadikan hak kepada wanita (janda) dan menafikan urusan orang lain mengenai yang berhubungan dengan nikahnya mencakup pemilihan dan akadnya. Adapun untuk perawan karena dianggap malu menegaskan kerelaannya lebih- lebih melaksanakan akadnya sendiri, maka syara' mencukupkan dengan sesuatu yang menunjukkan kerelaannya sebagai keringanan dan hal ini tidak berarti syara' mencabut haknya untuk mencampuri langsung akadnya karena pada hakekatnya pembedaan tsayyib dan bikr ini terletak pada baligh dan aqil-nya.[41]

IHTISAR

1.     Wali nikah adalah orang yang berhak dan atau berwenang untuk melakukan suatu perbuatan hukum bagi yang diwakilinya untuk kepentingan dan atas nama yang diwakilinya dalam hal pernikahan.
2.     Wali nikah harus merdeka, berakal sehat (tidak bodoh) dan dewasa, karena tidak mungkin seseorang yang tidak berhak melakukan tindakan hukum sendiri bisa dan diperkenankan mewakili orang lain.
3.     Wali nikah terbagi menjadi nasab, hakim dan muhakam.
4.     Perwalian karena satu dan lain hal bisa berpindah kepada wali yang lain.
5.     Selama tidak ada halangan syar'i, wali boleh menikahi maula.
6.     Apabila dua orang wali menikahkan seorang perempuan dengan dua orang laki-laki, maka yang pertama dilaksanakanlah yang dianggap sah.
7.     Jumhur ulama termasuk Syafi'i, Malikiyah baghdady serta KHI mengharuskan adanya wali dalam keabsahan pernikahan. Sedangkan menurut penulis pendapat yang terkuat adalah bahwa yang menjadi syarat sah adalah ijin atau kerelaan wali, sedangkan wali hanya merupakan syarat kesempurnaan saja sebagaimana pendapat Malik.
8.     Sebagaimana jual beli pernikahan adalah ibadah muamalah murni, yang karena ketulusan niat yang mendasari serta kerelaan mengabdi pada keluarga dan pasangan-lah yang membedakan nilainya dihadapan Allah hingga mengurangi 50% taklif di dunia.

EPILOG
o     
Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
o     
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah Lembut terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu [urusan peperangan dan hal-hal duniawiyah lainnya, seperti urusan politik, ekonomi, kemasyarakatan dan lain-lainnya]. Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.

o    Kecuali Rasulullah, pendapat seseorang boleh diikuti atau ditinggalkan karena hanya beliaulah yang terpelihara dari kesalahan.[42]
o    Diperbolehkan taqlid selama belum mampu, tetapi harus sekuat tenaga mempelajari dalil- dalil imam yang diikutinya serta tetap bersedia menerima kebenaran dari orang lain.[43] Langkah yang bisa ditempuh antara lain dengan melakukan kajian perbandingan madzhab atau dengan mengkaji pemikiran fikih dengan paradigma ilmu tafsir yang antara lain dengan kajian hemeneutik[44] untuk bisa menggali lebih dalam obyektifitas pemikiran dari seorang fakih yang tidak lepas dari pengaruh ruang dan waktu guna mengurangi bias subyektifitas penulis (misalnya paternalisme, arabisme dan quraisyisme) atas ajaran Islam. Dengan kata lain dimungkinkan akan tercipta Qaul Mutakhir Syafi'i, jika beliau hidup pada masa ini.
o    Karena kapasitas Qadhi di negeri ini ada di tangan lembaga peradilan serta karena sebagian idealisme telah tergadai dengan “jatah bulanan”, cukuplah memposisikan diri sebagai penjaga dan pengawal hukum positif yang ada sebagai kompensasi dari jatah tersebut.
o    Fa lHaqq wa lAjr Min ‘ind Illaah al-‘Aliim al-Hakiim…




[1] Disampaikan Pada Pertemuan Bulanan Kelompok Kerja Penghulu Kankemenag Kabupaten Rembang Tanggal 13 Agustus 2012, penulis adalah Penghulu Muda pada KUA Kecamatan Sulang
[2] Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jkt: Rajawali Press, 1997, h. 258; lihat Pasal 1 Kompilasi Hukum Islam huruf h
[3] Syafii, Al Umm, j.5, h.180 (dasar rujukan Maktabah Syamilah v. 2.01)
[4] Abdurrahman Al-Jazairi, Kitab Al-Fiqh Ala Madzahib Al-Arba'ah, j. iv, h. 51
[5] M. Abdul Aziz al Hallawi, Fatwa dan Ijtihad Umar Bin Khaththab, Sby: Risalah Gusti, cet. 2, 2003, h. 161
[6] Syafii, ibid : Ibn Rusyd al Hafid, Bidayatul Mujtahid, Dar Ihya Kutubil Arabiyyah, j.2, h. 9.
[7] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah terj. M Tholib j.7, Bandung: Al-Maarif, Cet.9. 1994, h. 21-22            
[8] Ibn Taimiyah, Majmu' Fatawa, j.8, h.265 (dasar rujukan Maktabah Syamilah v. 2.01); Ibn Rusyd al Hafid, Bidayatul Mujtahid, Dar Ihya Kutubil Arabiyyah, j.2, h. 9.
[9] Abdurrahman Ba'alawi, Bughyatul Mustarsyidin, Beirut: Darul kutub ilmiyyah, h. 251
[10] Terma wali Muhakam ini belum kami temukan dalam literatur fikih yang ada selain masalah perempuan yang tidak mempunyai wali nasab dan tidak juga bisa pindah ke wali hakim.
[11] Al Qurthubi dalam menafsirkan والمؤمنون والمؤمنات بعضهم أولياء بعض berkata "Jika perempuan tinggal di tempat yang tidak ada sultan serta tidak mempunyai wali, maka penyelesaiannya dapat ia serahkan kepada tetangga yang ia percayai untuk mengakad/ menikahkannya" Lihat Al Qurthubi, Al Jaami' li Ahkam Al Qur'an, J.3, h. 76
[12] Rahmad Hakim, Hukum Perkawinan Islam, Bandung: Pustaka Setia, cet. 1, 2000, h.
[13] Abdurrahman Al-Jazairi, Kitab Al-Fiqh Ala Madzahib Al-Arba'ah, j. iv, h. 27
[14] ibid.
[15] Dalam hal wali dalam satu tingkatan ini, yang sekandung didahulukan dari yang seayah; Lihat Khosiyah Bijrimi 'alal Khotib Kitab Nikah Bab Wali dan untuk lebih jelasnya lihat Syafi'i, Al-Umm, juz 5 hal. 13.
[16] Sayyid Sabiq, Opcit, h.21- 22
[17] Muhammad Al Ghazali, As Sunnah an Nabawy Baina Ahl Fiqh wa ahl Hadits, Cairo: Dar Syuruq, cet. 10, h. 42
[18] "Demikianlah mereka bukan lagi dua,melainkan satu. Karena itu apa yang telah dipersatukan Allah,tidak boleh diceraikan manusia"(Matius:19;06 )
[19] Dikutip Turmudzi dalam menjelaskan hadits no. 1027
[20] Rahmad Hakim, Op.Cit, h. 60; Sayyid Sabiq, Opcit, h.25- 26
[21] Muslim 2546; Turmudzi, Nikah, 1026; Nasai, Nikah 3208, 3209, 3210, 3211, 3212; Abu Dawud, Nikah, 1795, 1796; Ibnu Majah, Nikah 1860; Ahmad, Musnad Bani Hasyim, 1790, 2055, 2351, 2924, 3053, 3172, 3246; Malik, Nikah, 967; Darimi, Nikah, 2092, 2093, 2094.
[22] Turmudzi, Nikah, 1026; Muslim, Nikah, 2545, 2546; Nasai, Nikah, 3208- 3212; Abu Dawud, Nikah, 1795, 1796; Ibnu Majah, Nikah, 1860; Ahmad, Musnad Bani Hasyim, 1790, 2055, 2247, 2351, 2924, 3053, 3172, 3246; Malik, Nikah, 967; Darimi, Nikah, 2092-2094
[23] Muhammad Al Ghazali, Loccit.
[24] Rahmad Hakim, Op.Cit, h. 65; Sayyid Sabiq, Loccit.
[25] Sayyid Sabiq, Op.Cit, h.26
[26] Sayyid Sabiq, Op.Cit, h.28
[27] Ibid, h. 23
[28] Ibn Rusyd al Hafid, Op.Cit, j.2, h.
[29] Ibid, h.
[30] Taisir Fiqh 2/828
[31] Al-Mughny 6/455
[32] Taudlihul Ahkam 5/104
[33]  Karena tersohornya Syafi'i sebagai mujtahid empiris yang senantiasa melakukan survei lapangan, pemahaman seperti ini timbul.
[34] M. Abdul Aziz al Hallawi, Loc.Cit.
[35] Pendapat ini merupakan pendapat dhahir nash yang bisa kita lihat kelemahannya dari penjelasan Hanafiyyah atas tsayyib dan bikr.
[36] Ibn Rusyd al Hafid, Op.Cit, j.2, h. 
[37] Beliau adalah ulama hadits terkemuka yang murid-muridnya menjadi perawi utama dari Bukhori dan Muslim. Bukhori meriwayatkan dari murid tingkat pertama dan sedikit dari tingkat kedua, sedang Muslim dari tingkat kedua dan sedikit dari tingkat ketiga. M.M. Abu Suhbah, Fi Rihab as-Sunnah al-Kutub as-Shihah as-Sittah, terj. Kutubus Sittah, Pustaka Progressif, h. 48-50
[38] Ibn Lahiah dan Hajjaj dhoif disamping pada sanad yang lain Ibn Juraij menanyakannya pada Az-Zuhri dan beliau memungkiri bahwa hadits ini berasal darinya dan mendhoifkannya sebagaimana penjelasan Turmudzi dalam sunannya, karenanya hadits ini dianggap munqathi oleh Mahmud Syaltut disamping telah dinukil Thahawi dalam Mani' al-Atsaar dan Ibnu Hajar dalam ad-Diraayah, lihat Mahmud Syaltut, Op.Cit.
[39] terlepas dari subyektifitas ataupun bias paternalisme arab, penilaian terhadap wanita yang seperti ini telah lazim dikalangan kaum muslimin selama beberapa generasi hingga sekarang.
[40] Muslim 2546; Turmudzi, Nikah, 1026; Nasai, Nikah 3208, 3209, 3210, 3211, 3212; Abu Dawud, Nikah, 1795, 1796; Ibnu Majah, Nikah 1860; Ahmad, Musnad Bani Hasyim, 1790, 2055, 2351, 2924, 3053, 3172, 3246; Malik, Nikah, 967; Darimi, Nikah, 2092, 2093, 2094.
[41] Lihat hadits-hadits semakna yang telah kami sebutkan di atas dalam sub-Mujbirnya wali, lihat juga: Mahmud Syaltut dan Ali As-Sayis, Perbandingan Madzhab Dalam Masalah Fikih, Bandung:Al-Ma'arif, 1973, h.114-131.
[42] Taushiyah ke-6 dari Ushul 'Isyrin Hassan al-Banna
[43] Taushiyah ke-7
[44] Dalam kajian ini teks terbagi menjadi tiga dimensi yaitu ; dunia teks itu sendiri, dunia penulis yang meliputi paradigma pemikiran, tujuan serta kondisi sosial budaya dan dunia pembaca.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar