Laman

Jumat, 20 Desember 2013

PERCERAIAN DALAM RUMAH TANGGA (Sebagai Patologi Sosial dalam Masyarakat)



Latar Belakang
Tatanan pranata sosial dalam masyarakat akan diawali dari konsepsi dasar ajaran Islam melalui sunnah Nabi Muhammad yang kita sebut dengan perkawinan, perkawinan sebagaimana dalam UU No 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai bentuk hubungan antara laki dan perempuan yang kekal dan abadi untuk tujuan yang mulia,
Tujuan dari perkawinan bisa kita tangkap sebagai bentuk pakta integritas yang sudah membumi dengan empat hal, yakni, sebagai penjagaan diri (Hifdzun Nafs)  dari hal-hal yang bisa menjerumuskan diri kita dalam masalah yang bertentangan dengan ajaran agama dan nilai serta moral yang melingkupi kita, kedua sebagai upaya melestarikan keturunan ( Hifdzun Nasl) dengan perkawinan akan lahir keturunan-keturunan yang bisa menjadi generasi penerus dari aset bangsa dan agama, ketiga sebagai bentuk penjagaan dan pencitraaan nilai-nilai agama (Hifdzun Din).
Perkawinan sebagai bentuk penyatuan dua pribadi yang berbeda dalam banyak hal, tentunya tidak semudah membalikkan telapak tangan untuk meraih kehidupan perkawinan yang sakinah. Perbedaan-perbedaan itu bila tidak disikapi dengan baik, maka akan banyak menimbulkan konflik dalam rumah tangga. Seperti yang dialami oleh seorang istri yang diungkapkan di sebuah blog internet, yaitu:
Saya pikir, kalau kita benar, pasti hal itu akan terhindarkan. Ternyata hal itu terjadi pada saya. Rasanya sangat terkejut dengan makhluk bernama lelaki yang jadi suamiku saat itu. Segala sesuatu yang tidak saya senangi ada di diri suami. Saya sangat kesal. Ditambah lagi suami tidak sensitive, rasanya saat itu saya kaya orang yang salah pilih suami. Maklumlah proses ta’arufnya singkat, karena niat lillahi ta’ala, ya nikah deh.”
Begitupun dengan suamiku, ngotot-ngototan pendapat kerap terjadi dan rasanya masing-masing merasa paling benar. Seiring dengan berjalannya waktu ketika saya berusaha menerima suami apa adanya, mengembalikan niat awala saya menikah dengannya, di kala itu semuanya serba indah dan membahagiakan dan ternyata berhasil. Ketika saya iklas menerima suami apa adanya dan tetap lemah lembut kepadanya subhanalloh, kata-kata saya lebih mudah dicerna oleh suami saya! Dan yang saya inginkan tersampaikan dengan lancar, suamipun lebih mengerti dan mau membuka dirinya tentang apa yang mengganjal di antara kami”.

Pada umumnya kehidupan rumah tangga tidak lepas dari konflik. Dra. Wulandari, Psi dalam sebuah seminar “ manejemen konflik dalam rumah tangga” mengatakan bahwa dalam rumah tangga adalah hal yang biasa kalau kadang terjadi perbedaan dan pertentangan pendapat yang terjadi. Namun ada kecenderungan dalam masyarakat yang menganggap konflik sebagai hal yang kurang baik dan harus dihindari. Konflik sering dituding sebagai penyebab terjadinya hal-hal yang kurang menyenangkan dalam suatu hubungan, seperti perceraian dan perpisahan.
Padahal semestinya ketiadaan konflik dapat menunjukkan adanya sikap apatis dan ketidakterlibatan dalam hubungan, sebaliknya, konflik dapat memberikan nilai positif apabila ditangani dengan baik. Dan tugas suami istri adalah bagaimana mengatasinya jika timbul konflik ( A.Azra, 2002 : 34).
Bahkan, rumah tangga orang-orang sholih juga tidak lepas dari masalah, perselisihan, pertengkaran dan kemarahan. Sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari Sahl Ibn Sa’ad, dia menceritakan, Rosululloh mendatangi rumah fatimah, namun beliau tidak menemukan Ali. Maka beliau bertanya kepada Fatimah “ Mana anak pamanmu (Ali)? Fatimah menjawab, “Kami sedang bertengkar yang membuat aku marah, maka dia keluar dan tidak tidur siang di rumahku
Perkembangan waktu seiring perkembangan zaman dan tehnologi sebagai akibat arus globalisasi dimana nilai-nilai agama dan norma masyarakat mulai pudar mengakibatkan konflik yang ada dalam rumah tangga semakin komplek semakin parah ketika suami istri mempertahankan ego dan kepentingan dan tidak disikapi dengan arif, maka menjadi sangat wajar ketika sekarang angka perceraian dalam rumah tangga semakin meningkat.
Perceraian semestinya, bukan solusi yang tepat bagi rumah tangga yang sedang terjadi konflik, sekalipun agama membolehkan tetapi itu menjadi sesuatu yang dibenci oleh Alloh dan menjadi betuk bagian dari degadensi dan penisbian nilai-nilai moral masyarakat.
Perceraian sebagai bagian dari proses sosiologi dalam rumah juga diatur dalam legislasi hukum positif yang ada di Indonesia, yaitu:
  1. Undang-Undang No 1 Tahun 1974 dalam pasal :
  2. Kompilasi Hukum Islam dalam pasal ;

APAKAH YANG MENJADI PENYEBAB DARI TERJADINYA PERCERAIAN DALAM KEHIDUPAN RUMAH  TANGGA ?”
Sebelum mengurai anteseden dari istilah cerai atau perceraian, terlebih kita kupas secara singkat pemahaman istilah cerai, cerai dalam bahasa arab disamakan dengan kata Tolaq yang berarti lepas, putus, hancur. Dalam konsepsi hukum islam dan hukum positif cerai merupakan bentuk lepasnya ikatan lahir batin antara seorang laki dan perempuan yang mengakibatkan lepasnya bentuk tanggung jawab dan hak antara laki dan perempuan sebagai seorang suami istri.
Perceraian dalam konsepsi hukum positif terbagi menjadi dua perceraian dalam pengertian Gugat cerai dimana istri mengajukan kepada Pengadilan Agama sebagai penggugat, sementara yang lain adalah Cerai Talaq dimana suami mengajukan gugatan kepada pengadilan Agama, apapun jenisnya perceraian sebenarnya merupakan bentuk fenomena dari patologi rumah tangga yang berimplikasi dalam ranah sosial kemasyarakatan.
Munculnya masalah (konflik) dalam rumah tangga yang bisa dikatakan menjadi pemicu dasar dari perceraian merupakan akibat dari adanya masalah sosial yang sudah menggurita (Endemic Social Problem) dan bahkan bisa menjadi bagian dari penacarian jati diri dan trand maker, namun terlepas dari alasan dasar apa yang menjadi pemicu dari perceraian secara umum perceraian sebagai patologi rumah tangga itu disebabkan :
  1. Agama
Konflik atau masalah dalam rumah tangga merupakan bagian yang selalu melekat dan bisa dibilang sunnatulloh karena dalam rumah tangga adalah perpaduan dari dua orang yang memiliki karakter berbeda dan kepentingan berbeda, sadar atau tidak perkawinan adalah tujuan mulia tetapi akan menjadi ternoda ketika niat yang ada dalam awal membangun mahligai rumah tangga semata untuk kepentingan sesaat. Menjadi sangat wajar bila biduk rumah tangga akan mudah terombang ambing jika tidak ada fondasi yang kokoh.
Fondasi agama menjadi prasarat dasar untuk terciptanya mahligai rumah tangga yang bahagia dan sejahtera, perkembangan arus globalisasi, polarisasi budaya, dan penanaman nilai-nilai agama yang berjalan tidak seimbang menjadi bulatan bola salju masalah. Akan tetapi bila kita runut pendidikan agama dalam rumah tangga perlu ditanamkan secara dini kepada anak-anak kita karena mereka pada suatu saat akan mengalami fase dimana mereka akan mengalami membentuk rumah tangga.
Pendidikan agama dalam keluarga saat ini lebih bersifat profan dan tidak bersifat substantif, sehingga elan dasar dari tujuan dan maksud membina rumahtangga yang sesuai dengan ajaran agama menjadi bias dan bersifat kamuflase(Quraisy Syihab, 1998 : 53), masalah yang ada lebih didekati dengan rasionalisasi yang bersifat egosentris.
Bias pemaknaan nilai agama dalam membina rumah tangga bisa teridentifikasi dari munculnya kekerasan dalam rumah tangga, perselingkuhan hilangnya saling menghargai dan menghormati antara suami dan istri, sementara konsepsi agama jelas menunjukkan kepada kita bersama bagaimana membangun mahligai rumah tangga yang ideal yang tidak mudah goyah karena polarisasi budaya yang ada dan terus menggurita dalam sendi-sendi sosial kemasyarakatan.
  1. Ekonomi
Patologi lain yang juga bisa menjadi pemicu perceraian dalam rumah tangga saat ini adalah faktor ekonomi, himpitan sosial karena kemiskinan mengakibatkan banyak orang yang tidak bisa berfikir jernih dan rasional. Menjadi relevan dan reliabiltasnya tinggi ajaran dari nabi untuk mempersiapakan diri secara mapan dalam konteks materi ketika akan menapaki kehidupan baru dalam membentuk rumah tangga.
Pola memenej keuangan dan keterbukaan antara suami dan istri dalam maslah materi atau keuangan menjadi bagian yang terintegrasi dalam menejemen keluarga, sementara saat ini tidak jarang keterbukaan dalam masalah ini berlaku dalam kehidupan rumah tangga, sehingga sering kita dengar dan lihat ada istilah uang laki dan uang perempuan, jika ini terus berlanjut jelas tidak mungkin akan menjadi pemicu awal terjadinya konflik.
Masalah sosial dalam perspektif ekonomi tidak hanya bagi mereka yang berekonomi pas-pasan mereka yang berlimpah pun tidak lepas dari endemic masalah sosial ini jika keterbukaan sebagaimana di atas tidak dijalankan bagi mereka keluarga yang berlimpah. (Budi Atmono, 2004: 43) Namun sebagian besar potret dari akumulasi patologi rumah tangga dalam perspektif ekonomi lebih didominasi oleh keluarga yang kekurangan (miskin).
  1. Budaya
Tatanan sosial kemasyarakatan tidak akan pernah lepas dari nilai budaya, varian budaya pun mampu mempengaruhi cara pandang dan berfikir masyarakat dalam menghadapi masalah termasuk kaitannya dalam hal ini adalah rumah tangga. Pola kehidupan rumah tangga akan langsung merasakan akibat dari munculnya varian budaya, saat sekarang budaya hedonistik, glamoritas, trendsitas seolah menjadi konsumsi masyarakat di semua lapisan dalam strata sosial yang berbeda sekalipun.
Filterisasi yang tidak baik dalam kehidupan rumah tangga menjadikan budaya negatif begitu gampang memepengaruhi kehidupan rumah tangga manapun, apalagi pola pikir masyarakat kita lebih bersifat patronisasi, hampir setiap hari masyarakat mendapat suguhan visualisasi dari media cetak dan elektronik tentang kehidupan rumah tangga artis yang kawin cerai, sedikit atau banyak ini cukup menjadi alasan meningkatnya angka perceraian di Indonesia.
Terlebih munculnya varian budaya lokal yang jelek ambil contoh yang ada di daerah Jawa Barat khususnya derah subang yang punya asumsi semakin sering seorang wanita bercerai maka dia semakin memiliki strata sosial yang lebih.
Lemahnya  kontrol masyarakat terhadap perkembangan budaya juga menjadi alasan pemicu berkembangnya budaya yang tidak sesuai dengan nilai-nilai agama, maraknya prostitusi liar tempat –tempat judi dan maksiat semakin menambah buruknya varian budaya di tengah masyarakat.
E.  Menciptakan Solusi Konflik
Ketika kita menyadari betapa angka perceraian yang semakin hari semakin meningkat dan dampak yang muncul dari perceraian juga bisa menjadi daftar permasalahan sosial, maka perlu dilakukan pendekatan-pendekatan strategis dan komprehensif melalui tiga hal di bawah ini :
  1. Siap dengan hal yang tidak diduga
Dalam rumah tangga bisa jadi pasangan kita tidak sesuai dan seideal yang kita impikan. Oleh karena itu, kita harus siap menerima apabila ternyata dia tidak secantik dan setampan yang kita bayangkan, atau tidak segesit yang kita harapkan. Disinilah kita harus sangat berlapang dada apabila kita menjumpai kekurangan dari pasangan kita.
  1. Memperbanyak pesan diri
Tindak lanjut dan kesiapan kita menghadapi perbedaan yang ada, adalah dengan memperbanyak pesan diri. Sebab, ketika pasangan kita semakin mengetahui tabiat dan kebiasaan kita, maka dia akan lebih siap untuk menghadapi kita. Sebab sangat mungkin seseorang membuat kesalahan akibat dia tidak tahu tata nilai kita yang dampaknya akan banyak muncul ketersinggungan. Maka disinilah perlunya kita belajar memberitahukan apa yang kita inginkan. Inilah esensi dari pesan diri.
Dengan mempertegas pesan diri, diharapkan peluang konflik dalam rumah tangga tidak membesar, karena kita telah mengkondisikan agar orang memahami kita. Sungguh kita tidak perlu malu kepada pasangan kita untuk menyatakan harapan dan keinginan kita dan keberatan kita dalam segala hal, sebab dengan keterbukaan seperti ini pasangan hidup kita dapat lebih mudah dalam menerima diri kita.
  1. Tegakkan peraturan
Dalam menjalani bahtera rumah tangga juga diperlukan adanya aturan-aturan yang disepakati oleh kedua belah pihak.
Program kursus pra nikah (suscatin) sudah sewajarnya wajib diterapkan dan mendapat perhatian semua pihak serta menjadi keharus bagin catin untuk mengikutinya. Dalam kursus itu para calon pengantin akan memperoleh bekal awal dalam menikah, misalnya program kesehatan reproduksi, keluarga berencana dan merencanakan keluarga, hukum perdatan islam, manajemen keuangan agar menjadi keluarga mandiri, hadhonah dan pendidikan anak, pengembangan pengetahuan mengenai UU perkawinan dan KDRT serta pemahaman mengenai fungsi keluarga, ketahanan keluarga, kesejahteraan sosial dan ekonomi.
Suscatin bertujuan memberikan bekal bagi pasangan yang ingin merencanakan membentuk keluarga mengenai segala sesuatu yang dibutuhkan untuk mengarungi bahtera kehidupan berumahtangga beserta persoalan dan pemecahannya, sehingga mampu menjalaninya secara dewasa dan tidak mudah berputus asa.
Ancaman baru keutuhan rumah tangga
Menurut data perceraian yang diperoleh dari Mahkamah Agung, kasus perceraian yang diputus oleh Pengadilan Agama tahun 2007 sebanyak 157.775 kasus, tahun 2009 meningkat menjadi 216.286 kasus dan tahun 2010 sebanyak 285.184 kasus. Selain jumlah yang meningkat sangat drastis, ragam faktor pemicu perceraian juga semakin bertambah. Dulu faktor penyebab perceraian “hanya” terkait masalah klasik yaitu; meninggalkan istri berbulan-bulan, tidak memberi nafkah lahir bathin, menyakiti jasmani, pemabuk/penjudi dan dihukum penjara.
Namun sekarang ini variasinya mulai bertambah karena disebabkan ketidak harmonisan 32.2%, tidak ada tanggungjawab 27.5% ekonomi 23.8%, KDRT 1%, kawin paksa 0.8%, poligami tidak sehat 0.5% cacat badan 0.2% kawin dibawah umur 0.2% dihukum 0.1%, perbedaan politik 0.1%, faktor lain 0.3 % faktor orang ketiga dalam rumah tangga 7.8%, cemburu 3.5%, dan krisisi akhlaq 2.7%.
Yang menarik untuk dikaji lebih lanjut adalah ketiga faktor terakhir tersebut merupakan kategori problem disorientasi tujuan perkawinan yang disebabkan karena lemahnya komitemen pasangan dalam berumah tangga, meningkatknya gangguan eksternal yang berpengaruh pada keutuhan perkawinan serta kesiapan pasangan mengahdapi dan mengatasi persoalan rumah tangga sehingga berakibat pada berkurangnya cinta dan perhatian dari pasangan.

Poligami yang tidak sehat
Nyatanya, sepanjang hayatnya, Nabi lebih lama bermonogami daripada berpoligami. Bayangkan, monogami dilakukan Nabi di tengah masyarakat yang menganggap poligami adalah lumrah. Rumah tangga Nabi SAW bersama istri tunggalnya, Khadijah binti Khuwalid RA, berlangsung selama 28 tahun. Baru kemudian, dua tahun sepeninggal Khadijah, Nabi berpoligami. Itu pun dijalani hanya sekitar delapan tahun dari sisa hidup beliau.
UNGKAPAN "poligami itu sunah" sering digunakan sebagai pembenaran poligami. Namun, berlindung pada pernyataan itu, sebenarnya bentuk lain dari pengalihan tanggung jawab atas tuntutan untuk berlaku adil karena pada kenyataannya, sebagaimana ditegaskan Al Quran, berlaku adil sangat sulit dilakukan (An-Nisa: 129).
DALIL "poligami adalah sunah" biasanya diajukan karena sandaran kepada teks ayat Al Quran (QS An-Nisa, 4: 2-3) lebih mudah dipatahkan. Satu-satunya ayat yang berbicara tentang poligami sebenarnya tidak mengungkapkan hal itu pada konteks memotivasi, apalagi mengapresiasi poligami. Ayat ini meletakkan poligami pada konteks perlindungan terhadap yatim piatu dan janda korban perang.
Dari kedua ayat itu, beberapa ulama kontemporer, seperti Syekh Muhammad Abduh, Syekh Rashid Ridha, dan Syekh Muhammad al-Madan-ketiganya ulama terkemuka Azhar Mesir-lebih memilih memperketat.
Lebih jauh Abduh menyatakan, poligami adalah penyimpangan dari relasi perkawinan yang wajar dan hanya dibenarkan secara syar’i dalam keadaan darurat sosial, seperti perang, dengan syarat tidak menimbulkan kerusakan dan kezaliman (Tafsir al-Manar, 4/287).
Anehnya, ayat tersebut bagi kalangan yang propoligami dipelintir menjadi "hak penuh" laki-laki untuk berpoligami. Dalih mereka, perbuatan itu untuk mengikuti sunah Nabi Muhammad SAW. Menjadi menggelikan ketika praktik poligami bahkan dipakai sebagai tolok ukur keislaman seseorang: semakin aktif berpoligami dianggap semakin baik poisisi keagamaannya. Atau, semakin bersabar seorang istri menerima permaduan, semakin baik kualitas imannya. Slogan-slogan yang sering dimunculkan misalnya, "poligami membawa berkah", atau "poligami itu indah", dan yang lebih populer adalah "poligami itu sunah".
Dalam definisi fikih, sunah berarti tindakan yang baik untuk dilakukan. Umumnya mengacu kepada perilaku Nabi. Namun, amalan poligami, yang dinisbatkan kepada Nabi, ini jelas sangat distorsif. Alasannya, jika memang dianggap sunah, mengapa Nabi tidak melakukannya sejak pertama kali berumah tangga?
Nyatanya, sepanjang hayatnya, Nabi lebih lama bermonogami daripada berpoligami. Bayangkan, monogami dilakukan Nabi di tengah masyarakat yang menganggap poligami adalah lumrah. Rumah tangga Nabi SAW bersama istri tunggalnya, Khadijah binti Khuwalid RA, berlangsung selama 28 tahun. Baru kemudian, dua tahun sepeninggal Khadijah, Nabi berpoligami. Itu pun dijalani hanya sekitar delapan tahun dari sisa hidup beliau. Dari kalkulasi ini, sebenarnya tidak beralasan pernyataan "poligami itu sunah".
Sunah, seperti yang didefinisikan Imam Syafi’i (w. 204 H), adalah penerapan Nabi SAW terhadap wahyu yang diturunkan. Pada kasus poligami Nabi sedang mengejawantahkan Ayat An-Nisa 2-3 mengenai perlindungan terhadap janda mati dan anak-anak yatim. Dengan menelusuri kitab Jami’ al-Ushul (kompilasi dari enam kitab hadis ternama) karya Imam Ibn al-Atsir (544-606H), kita dapat menemukan bukti bahwa poligami Nabi adalah media untuk menyelesaikan persoalan sosial saat itu, ketika lembaga sosial yang ada belum cukup kukuh untuk solusi.
Bukti bahwa perkawinan Nabi untuk penyelesaian problem sosial bisa dilihat pada teks-teks hadis yang membicarakan perkawinan-perkawinan Nabi. Kebanyakan dari mereka adalah janda mati, kecuali Aisyah binti Abu Bakr RA.
Selain itu, sebagai rekaman sejarah jurisprudensi Islam, ungkapan "poligami itu sunah" juga merupakan reduksi yang sangat besar. Nikah saja, menurut fikih, memiliki berbagai predikat hukum, tergantung kondisi calon suami, calon istri, atau kondisi masyarakatnya. Nikah bisa wajib, sunah, mubah (boleh), atau sekadar diizinkan. Bahkan, Imam al-Alusi dalam tafsirnya, Rûh al-Ma’âni, menyatakan, nikah bisa diharamkan ketika calon suami tahu dirinya tidak akan bisa memenuhi hak-hak istri, apalagi sampai menyakiti dan mencelakakannya. Demikian halnya dengan poligami. Karena itu, Muhammad Abduh dengan melihat kondisi Mesir saat itu, lebih memilih mengharamkan poligami.
      Nabi dan larangan poligami
Dalam kitab Ibn al-Atsir, poligami yang dilakukan Nabi adalah upaya transformasi sosial (lihat pada Jâmi’ al-Ushûl, juz XII, 108-179). Mekanisme poligami yang diterapkan Nabi merupakan strategi untuk meningkatkan kedudukan perempuan dalam tradisi feodal Arab pada abad ke-7 Masehi. Saat itu, nilai sosial seorang perempuan dan janda sedemikian rendah sehingga seorang laki-laki dapat beristri sebanyak mereka suka.
Sebaliknya, yang dilakukan Nabi adalah membatasi praktik poligami, mengkritik perilaku sewenang-wenang, dan menegaskan keharusan berlaku adil dalam berpoligami.
Ketika Nabi melihat sebagian sahabat telah mengawini delapan sampai sepuluh perempuan, mereka diminta menceraikan dan menyisakan hanya empat. Itulah yang dilakukan Nabi kepada Ghilan bin Salamah ats-Tsaqafi RA, Wahb al-Asadi, dan Qais bin al-Harits. Dan, inilah pernyataan eksplisit dalam pembatasan terhadap kebiasan poligami yang awalnya tanpa batas sama sekali.
Pada banyak kesempatan, Nabi justru lebih banyak menekankan prinsip keadilan berpoligami. Dalam sebuah ungkapan dinyatakan: "Barang siapa yang mengawini dua perempuan, sedangkan ia tidak bisa berbuat adil kepada keduanya, pada hari akhirat nanti separuh tubuhnya akan lepas dan terputus" (Jâmi’ al-Ushûl, juz XII, 168, nomor hadis: 9049). Bahkan, dalam berbagai kesempatan, Nabi SAW menekankan pentingnya bersikap sabar dan menjaga perasaan istri.
Teks-teks hadis poligami sebenarnya mengarah kepada kritik, pelurusan, dan pengembalian pada prinsip keadilan. Dari sudut ini, pernyataan "poligami itu sunah" sangat bertentangan dengan apa yang disampaikan Nabi. Apalagi dengan melihat pernyataan dan sikap Nabi yang sangat tegas menolak poligami Ali bin Abi Thalib RA. Anehnya, teks hadis ini jarang dimunculkan kalangan propoligami. Padahal, teks ini diriwayatkan para ulama hadis terkemuka: Bukhari, Muslim, Turmudzi, dan Ibn Majah.
Nabi SAW marah besar ketika mendengar putri beliau, Fathimah binti Muhammad SAW, akan dipoligami Ali bin Abi Thalib RA. Ketika mendengar rencana itu, Nabi pun langsung masuk ke masjid dan naik mimbar, lalu berseru: "Beberapa keluarga Bani Hasyim bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan. Sungguh tidak aku izinkan, kecuali Ali bin Abi Thalib menceraikan putriku, kupersilakan mengawini putri mereka. Ketahuilah, putriku itu bagian dariku; apa yang mengganggu perasaannya adalah menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakiti hatiku juga." (Jâmi’ al-Ushûl, juz XII, 162, nomor hadis: 9026).
Sama dengan Nabi yang berbicara tentang Fathimah, hampir setiap orangtua tidak akan rela jika putrinya dimadu. Seperti dikatakan Nabi, poligami akan menyakiti hati perempuan, dan juga menyakiti hati orangtuanya.
Jika pernyataan Nabi ini dijadikan dasar, maka bisa dipastikan yang sunah justru adalah tidak mempraktikkan poligami karena itu yang tidak dikehendaki Nabi. Dan, Ali bin Abi Thalib RA sendiri tetap bermonogami sampai Fathimah RA wafat.
      Poligami tak butuh dukungan teks
Sebenarnya, praktik poligami bukanlah persoalan teks, berkah, apalagi sunah, melainkan persoalan budaya. Dalam pemahaman budaya, praktik poligami dapat dilihat dari tingkatan sosial yang berbeda. Bagi kalangan miskin atau petani dalam tradisi agraris, poligami dianggap sebagai strategi pertahanan hidup untuk penghematan pengelolaan sumber daya. Tanpa susah payah, lewat poligami akan diperoleh tenaga kerja ganda tanpa upah. Kultur ini dibawa migrasi ke kota meskipun stuktur masyarakat telah berubah. Sementara untuk kalangan priayi, poligami tak lain dari bentuk pembendamatian perempuan. Ia disepadankan dengan harta dan takhta yang berguna untuk mendukung penyempurnaan derajat sosial lelaki.
Dari cara pandang budaya memang menjadi jelas bahwa poligami merupakan proses dehumanisasi perempuan. Mengambil pandangan ahli pendidikan Freire, dehumanisasi dalam konteks poligami terlihat mana kala perempuan yang dipoligami mengalami self-depreciation. Mereka membenarkan, bahkan bersetuju dengan tindakan poligami meskipun mengalami penderitaan lahir batin luar biasa. Tak sedikit di antara mereka yang menganggap penderitaan itu adalah pengorbanan yang sudah sepatutnya dijalani, atau poligami itu terjadi karena kesalahannya sendiri.
Dalam kerangka demografi, para pelaku poligami kerap mengemukakan argumen statistik. Bahwa apa yang mereka lakukan hanyalah kerja bakti untuk menutupi kesenjangan jumlah penduduk yang tidak seimbang antara lelaki dan perempuan. Tentu saja argumen ini malah menjadi bahan tertawaan. Sebab, secara statistik, meskipun jumlah perempuan sedikit lebih tinggi, namun itu hanya terjadi pada usia di atas 65 tahun atau di bawah 20 tahun. Bahkan, di dalam kelompok umur 25-29 tahun, 30-34 tahun, dan 45-49 tahun jumlah lelaki lebih tinggi. (Sensus DKI dan Nasional tahun 2000; terima kasih kepada lembaga penelitian IHS yang telah memasok data ini).
Namun, jika argumen agama akan digunakan, maka sebagaimana prinsip yang dikandung dari teks-teks keagamaan itu, dasar poligami seharusnya dilihat sebagai jalan darurat. Dalam kaidah fikih, kedaruratan memang diperkenankan. Ini sama halnya dengan memakan bangkai; suatu tindakan yang dibenarkan manakala tidak ada yang lain yang bisa dimakan kecuali bangkai.
Dalam karakter fikih Islam, sebenarnya pilihan monogami atau poligami dianggap persoalan parsial. Predikat hukumnya akan mengikuti kondisi ruang dan waktu. Perilaku Nabi sendiri menunjukkan betapa persoalan ini bisa berbeda dan berubah dari satu kondisi ke kondisi lain. Karena itu, pilihan monogami-poligami bukanlah sesuatu yang prinsip. Yang prinsip adalah keharusan untuk selalu merujuk pada prinsip-prinsip dasar syariah, yaitu keadilan, membawa kemaslahatan dan tidak mendatangkan mudarat atau kerusakan (mafsadah).
Dan, manakala diterapkan, maka untuk mengidentifikasi nilai-nilai prinsipal dalam kaitannya dengan praktik poligami ini, semestinya perempuan diletakkan sebagai subyek penentu keadilan. Ini prinsip karena merekalah yang secara langsung menerima akibat poligami. Dan, untuk pengujian nilai-nilai ini haruslah dilakukan secara empiris, interdisipliner, dan obyektif dengan melihat efek poligami dalam realitas sosial masyarakat.
Dan, ketika ukuran itu diterapkan, sebagaimaan disaksikan Muhammad Abduh, ternyata yang terjadi lebih banyak menghasilkan keburukan daripada kebaikan. Karena itulah Abduh kemudian meminta pelarangan poligami.
Dalam konteks ini, Abduh menyitir teks hadis Nabi SAW: "Tidak dibenarkan segala bentuk kerusakan (dharar) terhadap diri atau orang lain." (Jâmi’a al-Ushûl, VII, 412, nomor hadis: 4926). Ungkapan ini tentu lebih prinsip dari pernyataan "poligami itu sunah".


Tidak ada komentar:

Posting Komentar