Latar
Belakang
Tatanan
pranata sosial dalam masyarakat akan diawali dari konsepsi dasar ajaran Islam
melalui sunnah Nabi Muhammad yang kita sebut dengan perkawinan, perkawinan
sebagaimana dalam UU No 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai
bentuk hubungan antara laki dan perempuan yang kekal dan abadi untuk tujuan
yang mulia,
Tujuan
dari perkawinan bisa kita tangkap sebagai bentuk pakta integritas yang sudah
membumi dengan empat hal, yakni, sebagai penjagaan diri (Hifdzun Nafs) dari hal-hal yang bisa menjerumuskan diri
kita dalam masalah yang bertentangan dengan ajaran agama dan nilai serta moral
yang melingkupi kita, kedua sebagai upaya melestarikan keturunan ( Hifdzun
Nasl) dengan perkawinan akan lahir keturunan-keturunan yang bisa menjadi
generasi penerus dari aset bangsa dan agama, ketiga sebagai bentuk penjagaan dan
pencitraaan nilai-nilai agama (Hifdzun Din).
Perkawinan
sebagai bentuk penyatuan dua pribadi yang berbeda dalam banyak hal, tentunya
tidak semudah membalikkan telapak tangan untuk meraih kehidupan perkawinan yang
sakinah. Perbedaan-perbedaan itu bila tidak disikapi dengan baik, maka akan
banyak menimbulkan konflik dalam rumah tangga. Seperti yang dialami oleh
seorang istri yang diungkapkan di sebuah blog internet, yaitu:
“ Saya
pikir, kalau kita benar, pasti hal itu akan terhindarkan. Ternyata hal itu
terjadi pada saya. Rasanya sangat terkejut dengan makhluk bernama lelaki yang
jadi suamiku saat itu. Segala sesuatu yang tidak saya senangi ada di diri suami.
Saya sangat kesal. Ditambah lagi suami tidak sensitive, rasanya saat itu saya
kaya orang yang salah pilih suami. Maklumlah proses ta’arufnya singkat, karena
niat lillahi ta’ala, ya nikah deh.”
“ Begitupun dengan suamiku, ngotot-ngototan pendapat kerap terjadi dan
rasanya masing-masing merasa paling benar. Seiring dengan berjalannya waktu
ketika saya berusaha menerima suami apa adanya, mengembalikan niat awala saya
menikah dengannya, di kala itu semuanya serba indah dan membahagiakan dan
ternyata berhasil. Ketika saya iklas menerima suami apa adanya dan tetap lemah
lembut kepadanya subhanalloh, kata-kata saya lebih mudah dicerna oleh suami
saya! Dan yang saya inginkan tersampaikan dengan lancar, suamipun lebih
mengerti dan mau membuka dirinya tentang apa yang mengganjal di antara kami”.
Pada umumnya kehidupan rumah tangga tidak lepas dari
konflik. Dra. Wulandari, Psi dalam sebuah seminar “ manejemen konflik dalam
rumah tangga” mengatakan bahwa dalam rumah tangga adalah hal yang biasa kalau
kadang terjadi perbedaan dan pertentangan pendapat yang terjadi. Namun ada
kecenderungan dalam masyarakat yang menganggap konflik sebagai hal yang kurang
baik dan harus dihindari. Konflik sering dituding sebagai penyebab terjadinya
hal-hal yang kurang menyenangkan dalam suatu hubungan, seperti perceraian dan
perpisahan.
Padahal semestinya ketiadaan konflik dapat menunjukkan
adanya sikap apatis dan ketidakterlibatan dalam hubungan, sebaliknya, konflik
dapat memberikan nilai positif apabila ditangani dengan baik. Dan tugas suami
istri adalah bagaimana mengatasinya jika timbul konflik ( A.Azra, 2002 : 34).
Bahkan, rumah tangga orang-orang sholih juga tidak lepas
dari masalah, perselisihan, pertengkaran dan kemarahan. Sebagaimana
diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari Sahl Ibn Sa’ad, dia menceritakan,
Rosululloh mendatangi rumah fatimah, namun beliau tidak menemukan Ali. Maka
beliau bertanya kepada Fatimah “ Mana anak pamanmu (Ali)? Fatimah
menjawab, “Kami sedang bertengkar yang membuat aku marah, maka dia keluar
dan tidak tidur siang di rumahku”
Perkembangan waktu seiring perkembangan zaman dan
tehnologi sebagai akibat arus globalisasi dimana nilai-nilai agama dan norma
masyarakat mulai pudar mengakibatkan konflik yang ada dalam rumah tangga
semakin komplek semakin parah ketika suami istri mempertahankan ego dan
kepentingan dan tidak disikapi dengan arif, maka menjadi sangat wajar ketika
sekarang angka perceraian dalam rumah tangga semakin meningkat.
Perceraian semestinya, bukan solusi yang tepat bagi rumah
tangga yang sedang terjadi konflik, sekalipun agama membolehkan tetapi itu
menjadi sesuatu yang dibenci oleh Alloh dan menjadi betuk bagian dari degadensi
dan penisbian nilai-nilai moral masyarakat.
Perceraian sebagai bagian dari proses sosiologi dalam
rumah juga diatur dalam legislasi hukum positif yang ada di Indonesia, yaitu:
- Undang-Undang No 1 Tahun 1974 dalam pasal :
- Kompilasi Hukum Islam dalam pasal ;
APAKAH YANG MENJADI PENYEBAB DARI TERJADINYA PERCERAIAN DALAM KEHIDUPAN
RUMAH TANGGA ?”
Sebelum mengurai anteseden dari istilah cerai atau
perceraian, terlebih kita kupas secara singkat pemahaman istilah cerai, cerai
dalam bahasa arab disamakan dengan kata Tolaq yang berarti lepas, putus,
hancur. Dalam konsepsi hukum islam dan hukum positif cerai merupakan bentuk
lepasnya ikatan lahir batin antara seorang laki dan perempuan yang
mengakibatkan lepasnya bentuk tanggung jawab dan hak antara laki dan perempuan
sebagai seorang suami istri.
Perceraian dalam konsepsi hukum positif terbagi
menjadi dua perceraian dalam pengertian Gugat cerai dimana istri mengajukan
kepada Pengadilan Agama sebagai penggugat, sementara yang lain adalah Cerai
Talaq dimana suami mengajukan gugatan kepada pengadilan Agama, apapun jenisnya
perceraian sebenarnya merupakan bentuk fenomena dari patologi rumah tangga yang
berimplikasi dalam ranah sosial kemasyarakatan.
Munculnya masalah (konflik) dalam rumah tangga yang
bisa dikatakan menjadi pemicu dasar dari perceraian merupakan akibat dari
adanya masalah sosial yang sudah menggurita (Endemic Social Problem)
dan bahkan bisa menjadi bagian dari penacarian jati diri dan trand maker, namun
terlepas dari alasan dasar apa yang menjadi pemicu dari perceraian secara umum
perceraian sebagai patologi rumah tangga itu disebabkan :
- Agama
Konflik atau masalah dalam rumah tangga merupakan
bagian yang selalu melekat dan bisa dibilang sunnatulloh karena dalam rumah
tangga adalah perpaduan dari dua orang yang memiliki karakter berbeda dan
kepentingan berbeda, sadar atau tidak perkawinan adalah tujuan mulia tetapi
akan menjadi ternoda ketika niat yang ada dalam awal membangun mahligai rumah
tangga semata untuk kepentingan sesaat. Menjadi sangat wajar bila biduk rumah
tangga akan mudah terombang ambing jika tidak ada fondasi yang kokoh.
Fondasi agama menjadi prasarat dasar untuk terciptanya
mahligai rumah tangga yang bahagia dan sejahtera, perkembangan arus
globalisasi, polarisasi budaya, dan penanaman nilai-nilai agama yang berjalan
tidak seimbang menjadi bulatan bola salju masalah. Akan tetapi bila kita runut
pendidikan agama dalam rumah tangga perlu ditanamkan secara dini kepada
anak-anak kita karena mereka pada suatu saat akan mengalami fase dimana mereka
akan mengalami membentuk rumah tangga.
Pendidikan agama dalam keluarga saat ini lebih
bersifat profan dan tidak bersifat substantif, sehingga elan dasar dari tujuan
dan maksud membina rumahtangga yang sesuai dengan ajaran agama menjadi bias dan
bersifat kamuflase(Quraisy Syihab, 1998 : 53), masalah yang ada lebih didekati
dengan rasionalisasi yang bersifat egosentris.
Bias pemaknaan nilai agama dalam membina rumah tangga
bisa teridentifikasi dari munculnya kekerasan dalam rumah tangga,
perselingkuhan hilangnya saling menghargai dan menghormati antara suami dan
istri, sementara konsepsi agama jelas menunjukkan kepada kita bersama bagaimana
membangun mahligai rumah tangga yang ideal yang tidak mudah goyah karena
polarisasi budaya yang ada dan terus menggurita dalam sendi-sendi sosial
kemasyarakatan.
- Ekonomi
Patologi lain yang juga bisa menjadi pemicu perceraian
dalam rumah tangga saat ini adalah faktor ekonomi, himpitan sosial karena
kemiskinan mengakibatkan banyak orang yang tidak bisa berfikir jernih dan
rasional. Menjadi relevan dan reliabiltasnya tinggi ajaran dari nabi untuk
mempersiapakan diri secara mapan dalam konteks materi ketika akan menapaki
kehidupan baru dalam membentuk rumah tangga.
Pola memenej keuangan dan keterbukaan antara suami dan
istri dalam maslah materi atau keuangan menjadi bagian yang terintegrasi dalam
menejemen keluarga, sementara saat ini tidak jarang keterbukaan dalam masalah
ini berlaku dalam kehidupan rumah tangga, sehingga sering kita dengar dan lihat
ada istilah uang laki dan uang perempuan, jika ini terus berlanjut jelas tidak
mungkin akan menjadi pemicu awal terjadinya konflik.
Masalah sosial dalam perspektif ekonomi tidak hanya
bagi mereka yang berekonomi pas-pasan mereka yang berlimpah pun tidak lepas
dari endemic masalah sosial ini jika keterbukaan sebagaimana di atas tidak
dijalankan bagi mereka keluarga yang berlimpah. (Budi Atmono, 2004: 43) Namun
sebagian besar potret dari akumulasi patologi rumah tangga dalam perspektif
ekonomi lebih didominasi oleh keluarga yang kekurangan (miskin).
- Budaya
Tatanan sosial kemasyarakatan tidak akan pernah lepas
dari nilai budaya, varian budaya pun mampu mempengaruhi cara pandang dan
berfikir masyarakat dalam menghadapi masalah termasuk kaitannya dalam hal ini adalah
rumah tangga. Pola kehidupan rumah tangga akan langsung merasakan akibat dari
munculnya varian budaya, saat sekarang budaya hedonistik, glamoritas,
trendsitas seolah menjadi konsumsi masyarakat di semua lapisan dalam strata
sosial yang berbeda sekalipun.
Filterisasi yang tidak baik dalam kehidupan rumah
tangga menjadikan budaya negatif begitu gampang memepengaruhi kehidupan rumah
tangga manapun, apalagi pola pikir masyarakat kita lebih bersifat patronisasi,
hampir setiap hari masyarakat mendapat suguhan visualisasi dari media cetak dan
elektronik tentang kehidupan rumah tangga artis yang kawin cerai, sedikit atau
banyak ini cukup menjadi alasan meningkatnya angka perceraian di Indonesia.
Terlebih munculnya varian budaya lokal yang jelek
ambil contoh yang ada di daerah Jawa Barat khususnya derah subang yang punya
asumsi semakin sering seorang wanita bercerai maka dia semakin memiliki strata
sosial yang lebih.
Lemahnya
kontrol masyarakat terhadap perkembangan budaya juga menjadi alasan
pemicu berkembangnya budaya yang tidak sesuai dengan nilai-nilai agama,
maraknya prostitusi liar tempat –tempat judi dan maksiat semakin menambah
buruknya varian budaya di tengah masyarakat.
E. Menciptakan
Solusi Konflik
Ketika kita menyadari betapa angka perceraian yang
semakin hari semakin meningkat dan dampak yang muncul dari perceraian juga bisa
menjadi daftar permasalahan sosial, maka perlu dilakukan pendekatan-pendekatan
strategis dan komprehensif melalui tiga hal di bawah ini :
- Siap dengan hal yang tidak diduga
Dalam rumah tangga bisa jadi pasangan kita tidak sesuai
dan seideal yang kita impikan. Oleh karena itu, kita harus siap menerima
apabila ternyata dia tidak secantik dan setampan yang kita bayangkan, atau
tidak segesit yang kita harapkan. Disinilah kita harus sangat berlapang dada
apabila kita menjumpai kekurangan dari pasangan kita.
- Memperbanyak pesan diri
Tindak lanjut dan kesiapan kita menghadapi perbedaan yang
ada, adalah dengan memperbanyak pesan diri. Sebab, ketika pasangan kita semakin
mengetahui tabiat dan kebiasaan kita, maka dia akan lebih siap untuk menghadapi
kita. Sebab sangat mungkin seseorang membuat kesalahan akibat dia tidak tahu
tata nilai kita yang dampaknya akan banyak muncul ketersinggungan. Maka
disinilah perlunya kita belajar memberitahukan apa yang kita inginkan. Inilah
esensi dari pesan diri.
Dengan mempertegas pesan diri, diharapkan peluang konflik
dalam rumah tangga tidak membesar, karena kita telah mengkondisikan agar orang
memahami kita. Sungguh kita tidak perlu malu kepada pasangan kita untuk
menyatakan harapan dan keinginan kita dan keberatan kita dalam segala hal,
sebab dengan keterbukaan seperti ini pasangan hidup kita dapat lebih mudah
dalam menerima diri kita.
- Tegakkan peraturan
Dalam menjalani bahtera rumah tangga juga diperlukan
adanya aturan-aturan yang disepakati oleh kedua belah pihak.
Program kursus
pra nikah (suscatin) sudah sewajarnya wajib diterapkan dan mendapat perhatian
semua pihak serta menjadi keharus bagin catin untuk mengikutinya. Dalam kursus
itu para calon pengantin akan memperoleh bekal awal dalam menikah, misalnya
program kesehatan reproduksi, keluarga berencana dan merencanakan keluarga,
hukum perdatan islam, manajemen keuangan agar menjadi keluarga mandiri,
hadhonah dan pendidikan anak, pengembangan pengetahuan mengenai UU perkawinan
dan KDRT serta pemahaman mengenai fungsi keluarga, ketahanan keluarga,
kesejahteraan sosial dan ekonomi.
Suscatin
bertujuan memberikan bekal bagi pasangan yang ingin merencanakan membentuk keluarga
mengenai segala sesuatu yang dibutuhkan untuk mengarungi bahtera kehidupan
berumahtangga beserta persoalan dan pemecahannya, sehingga mampu menjalaninya
secara dewasa dan tidak mudah berputus asa.
Ancaman
baru keutuhan rumah tangga
Menurut data perceraian yang diperoleh dari Mahkamah Agung,
kasus perceraian yang diputus oleh Pengadilan Agama tahun 2007 sebanyak 157.775
kasus, tahun 2009 meningkat menjadi 216.286 kasus dan tahun 2010 sebanyak
285.184 kasus. Selain jumlah yang meningkat sangat drastis, ragam faktor pemicu
perceraian juga semakin bertambah. Dulu faktor penyebab perceraian “hanya”
terkait masalah klasik yaitu; meninggalkan istri berbulan-bulan, tidak memberi
nafkah lahir bathin, menyakiti jasmani, pemabuk/penjudi dan dihukum penjara.
Namun sekarang ini variasinya mulai bertambah karena
disebabkan ketidak harmonisan 32.2%, tidak ada tanggungjawab 27.5% ekonomi
23.8%, KDRT 1%, kawin paksa 0.8%, poligami tidak sehat 0.5% cacat badan 0.2%
kawin dibawah umur 0.2% dihukum 0.1%, perbedaan politik 0.1%, faktor lain 0.3 %
faktor orang ketiga dalam rumah tangga 7.8%, cemburu 3.5%, dan krisisi akhlaq
2.7%.
Yang menarik untuk dikaji lebih lanjut adalah ketiga
faktor terakhir tersebut merupakan kategori problem disorientasi tujuan
perkawinan yang disebabkan karena lemahnya komitemen pasangan dalam berumah
tangga, meningkatknya gangguan eksternal yang berpengaruh pada keutuhan
perkawinan serta kesiapan pasangan mengahdapi dan mengatasi persoalan rumah
tangga sehingga berakibat pada berkurangnya cinta dan perhatian dari pasangan.
Poligami
yang tidak sehat
Nyatanya, sepanjang hayatnya, Nabi lebih lama
bermonogami daripada berpoligami. Bayangkan, monogami dilakukan Nabi di tengah
masyarakat yang menganggap poligami adalah lumrah. Rumah tangga Nabi SAW
bersama istri tunggalnya, Khadijah binti Khuwalid RA, berlangsung selama 28
tahun. Baru kemudian, dua tahun sepeninggal Khadijah, Nabi berpoligami. Itu pun
dijalani hanya sekitar delapan tahun dari sisa hidup beliau.
UNGKAPAN "poligami itu sunah" sering digunakan
sebagai pembenaran poligami. Namun, berlindung pada pernyataan itu, sebenarnya
bentuk lain dari pengalihan tanggung jawab atas tuntutan untuk berlaku adil
karena pada kenyataannya, sebagaimana ditegaskan Al Quran, berlaku adil sangat
sulit dilakukan (An-Nisa: 129).
DALIL "poligami adalah sunah" biasanya
diajukan karena sandaran kepada teks ayat Al Quran (QS An-Nisa, 4: 2-3) lebih
mudah dipatahkan. Satu-satunya ayat yang berbicara tentang poligami sebenarnya
tidak mengungkapkan hal itu pada konteks memotivasi, apalagi mengapresiasi
poligami. Ayat ini meletakkan poligami pada konteks perlindungan terhadap yatim
piatu dan janda korban perang.
Dari kedua ayat itu, beberapa ulama kontemporer,
seperti Syekh Muhammad Abduh, Syekh Rashid Ridha, dan Syekh Muhammad
al-Madan-ketiganya ulama terkemuka Azhar Mesir-lebih memilih memperketat.
Lebih jauh Abduh menyatakan, poligami adalah
penyimpangan dari relasi perkawinan yang wajar dan hanya dibenarkan secara
syar’i dalam keadaan darurat sosial, seperti perang, dengan syarat tidak
menimbulkan kerusakan dan kezaliman (Tafsir al-Manar, 4/287).
Anehnya, ayat tersebut bagi kalangan yang propoligami
dipelintir menjadi "hak penuh" laki-laki untuk berpoligami. Dalih
mereka, perbuatan itu untuk mengikuti sunah Nabi Muhammad SAW. Menjadi
menggelikan ketika praktik poligami bahkan dipakai sebagai tolok ukur keislaman
seseorang: semakin aktif berpoligami dianggap semakin baik poisisi
keagamaannya. Atau, semakin bersabar seorang istri menerima permaduan, semakin
baik kualitas imannya. Slogan-slogan yang sering dimunculkan misalnya,
"poligami membawa berkah", atau "poligami itu indah", dan
yang lebih populer adalah "poligami itu sunah".
Dalam definisi fikih, sunah berarti tindakan yang baik
untuk dilakukan. Umumnya mengacu kepada perilaku Nabi. Namun, amalan poligami,
yang dinisbatkan kepada Nabi, ini jelas sangat distorsif. Alasannya, jika
memang dianggap sunah, mengapa Nabi tidak melakukannya sejak pertama kali
berumah tangga?
Nyatanya, sepanjang hayatnya, Nabi lebih lama
bermonogami daripada berpoligami. Bayangkan, monogami dilakukan Nabi di tengah
masyarakat yang menganggap poligami adalah lumrah. Rumah tangga Nabi SAW
bersama istri tunggalnya, Khadijah binti Khuwalid RA, berlangsung selama 28
tahun. Baru kemudian, dua tahun sepeninggal Khadijah, Nabi berpoligami. Itu pun
dijalani hanya sekitar delapan tahun dari sisa hidup beliau. Dari kalkulasi
ini, sebenarnya tidak beralasan pernyataan "poligami itu sunah".
Sunah, seperti yang didefinisikan Imam Syafi’i (w. 204
H), adalah penerapan Nabi SAW terhadap wahyu yang diturunkan. Pada kasus
poligami Nabi sedang mengejawantahkan Ayat An-Nisa 2-3 mengenai perlindungan
terhadap janda mati dan anak-anak yatim. Dengan menelusuri kitab Jami’ al-Ushul
(kompilasi dari enam kitab hadis ternama) karya Imam Ibn al-Atsir (544-606H),
kita dapat menemukan bukti bahwa poligami Nabi adalah media untuk menyelesaikan
persoalan sosial saat itu, ketika lembaga sosial yang ada belum cukup kukuh
untuk solusi.
Bukti bahwa perkawinan Nabi untuk penyelesaian problem
sosial bisa dilihat pada teks-teks hadis yang membicarakan
perkawinan-perkawinan Nabi. Kebanyakan dari mereka adalah janda mati, kecuali
Aisyah binti Abu Bakr RA.
Selain itu, sebagai rekaman sejarah jurisprudensi
Islam, ungkapan "poligami itu sunah" juga merupakan reduksi yang
sangat besar. Nikah saja, menurut fikih, memiliki berbagai predikat hukum,
tergantung kondisi calon suami, calon istri, atau kondisi masyarakatnya. Nikah
bisa wajib, sunah, mubah (boleh), atau sekadar diizinkan. Bahkan, Imam al-Alusi
dalam tafsirnya, Rûh al-Ma’âni, menyatakan, nikah bisa diharamkan ketika calon
suami tahu dirinya tidak akan bisa memenuhi hak-hak istri, apalagi sampai
menyakiti dan mencelakakannya. Demikian halnya dengan poligami. Karena itu,
Muhammad Abduh dengan melihat kondisi Mesir saat itu, lebih memilih
mengharamkan poligami.
Nabi dan larangan poligami
Dalam kitab Ibn al-Atsir, poligami yang dilakukan Nabi
adalah upaya transformasi sosial (lihat pada Jâmi’ al-Ushûl, juz XII, 108-179).
Mekanisme poligami yang diterapkan Nabi merupakan strategi untuk meningkatkan
kedudukan perempuan dalam tradisi feodal Arab pada abad ke-7 Masehi. Saat itu,
nilai sosial seorang perempuan dan janda sedemikian rendah sehingga seorang
laki-laki dapat beristri sebanyak mereka suka.
Sebaliknya, yang dilakukan Nabi adalah membatasi
praktik poligami, mengkritik perilaku sewenang-wenang, dan menegaskan keharusan
berlaku adil dalam berpoligami.
Ketika Nabi melihat sebagian sahabat telah mengawini
delapan sampai sepuluh perempuan, mereka diminta menceraikan dan menyisakan
hanya empat. Itulah yang dilakukan Nabi kepada Ghilan bin Salamah ats-Tsaqafi RA,
Wahb al-Asadi, dan Qais bin al-Harits. Dan, inilah pernyataan eksplisit dalam
pembatasan terhadap kebiasan poligami yang awalnya tanpa batas sama sekali.
Pada banyak kesempatan, Nabi justru lebih banyak
menekankan prinsip keadilan berpoligami. Dalam sebuah ungkapan dinyatakan:
"Barang siapa yang mengawini dua perempuan, sedangkan ia tidak bisa
berbuat adil kepada keduanya, pada hari akhirat nanti separuh tubuhnya akan
lepas dan terputus" (Jâmi’ al-Ushûl, juz XII, 168, nomor hadis: 9049).
Bahkan, dalam berbagai kesempatan, Nabi SAW menekankan pentingnya bersikap
sabar dan menjaga perasaan istri.
Teks-teks hadis poligami sebenarnya mengarah kepada
kritik, pelurusan, dan pengembalian pada prinsip keadilan. Dari sudut ini,
pernyataan "poligami itu sunah" sangat bertentangan dengan apa yang
disampaikan Nabi. Apalagi dengan melihat pernyataan dan sikap Nabi yang sangat
tegas menolak poligami Ali bin Abi Thalib RA. Anehnya, teks hadis ini jarang
dimunculkan kalangan propoligami. Padahal, teks ini diriwayatkan para ulama
hadis terkemuka: Bukhari, Muslim, Turmudzi, dan Ibn Majah.
Nabi SAW marah besar ketika mendengar putri beliau,
Fathimah binti Muhammad SAW, akan dipoligami Ali bin Abi Thalib RA. Ketika
mendengar rencana itu, Nabi pun langsung masuk ke masjid dan naik mimbar, lalu
berseru: "Beberapa keluarga Bani Hasyim bin al-Mughirah meminta izin
kepadaku untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Ketahuilah,
aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan. Sungguh tidak
aku izinkan, kecuali Ali bin Abi Thalib menceraikan putriku, kupersilakan
mengawini putri mereka. Ketahuilah, putriku itu bagian dariku; apa yang
mengganggu perasaannya adalah menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya
adalah menyakiti hatiku juga." (Jâmi’ al-Ushûl, juz XII, 162, nomor hadis:
9026).
Sama dengan Nabi yang berbicara tentang Fathimah,
hampir setiap orangtua tidak akan rela jika putrinya dimadu. Seperti dikatakan
Nabi, poligami akan menyakiti hati perempuan, dan juga menyakiti hati
orangtuanya.
Jika pernyataan Nabi ini dijadikan dasar, maka bisa
dipastikan yang sunah justru adalah tidak mempraktikkan poligami karena itu
yang tidak dikehendaki Nabi. Dan, Ali bin Abi Thalib RA sendiri tetap
bermonogami sampai Fathimah RA wafat.
Poligami tak butuh dukungan teks
Sebenarnya, praktik poligami bukanlah persoalan teks,
berkah, apalagi sunah, melainkan persoalan budaya. Dalam pemahaman budaya,
praktik poligami dapat dilihat dari tingkatan sosial yang berbeda. Bagi
kalangan miskin atau petani dalam tradisi agraris, poligami dianggap sebagai
strategi pertahanan hidup untuk penghematan pengelolaan sumber daya. Tanpa
susah payah, lewat poligami akan diperoleh tenaga kerja ganda tanpa upah.
Kultur ini dibawa migrasi ke kota meskipun stuktur masyarakat telah berubah.
Sementara untuk kalangan priayi, poligami tak lain dari bentuk pembendamatian
perempuan. Ia disepadankan dengan harta dan takhta yang berguna untuk mendukung
penyempurnaan derajat sosial lelaki.
Dari cara pandang budaya memang menjadi jelas bahwa
poligami merupakan proses dehumanisasi perempuan. Mengambil pandangan ahli
pendidikan Freire, dehumanisasi dalam konteks poligami terlihat mana kala
perempuan yang dipoligami mengalami self-depreciation. Mereka membenarkan,
bahkan bersetuju dengan tindakan poligami meskipun mengalami penderitaan lahir
batin luar biasa. Tak sedikit di antara mereka yang menganggap penderitaan itu
adalah pengorbanan yang sudah sepatutnya dijalani, atau poligami itu terjadi
karena kesalahannya sendiri.
Dalam kerangka demografi, para pelaku poligami kerap
mengemukakan argumen statistik. Bahwa apa yang mereka lakukan hanyalah kerja
bakti untuk menutupi kesenjangan jumlah penduduk yang tidak seimbang antara
lelaki dan perempuan. Tentu saja argumen ini malah menjadi bahan tertawaan. Sebab,
secara statistik, meskipun jumlah perempuan sedikit lebih tinggi, namun itu
hanya terjadi pada usia di atas 65 tahun atau di bawah 20 tahun. Bahkan, di
dalam kelompok umur 25-29 tahun, 30-34 tahun, dan 45-49 tahun jumlah lelaki
lebih tinggi. (Sensus DKI dan Nasional tahun 2000; terima kasih kepada lembaga
penelitian IHS yang telah memasok data ini).
Namun, jika argumen agama akan digunakan, maka
sebagaimana prinsip yang dikandung dari teks-teks keagamaan itu, dasar poligami
seharusnya dilihat sebagai jalan darurat. Dalam kaidah fikih, kedaruratan
memang diperkenankan. Ini sama halnya dengan memakan bangkai; suatu tindakan
yang dibenarkan manakala tidak ada yang lain yang bisa dimakan kecuali bangkai.
Dalam karakter fikih Islam, sebenarnya pilihan
monogami atau poligami dianggap persoalan parsial. Predikat hukumnya akan
mengikuti kondisi ruang dan waktu. Perilaku Nabi sendiri menunjukkan betapa
persoalan ini bisa berbeda dan berubah dari satu kondisi ke kondisi lain.
Karena itu, pilihan monogami-poligami bukanlah sesuatu yang prinsip. Yang
prinsip adalah keharusan untuk selalu merujuk pada prinsip-prinsip dasar
syariah, yaitu keadilan, membawa kemaslahatan dan tidak mendatangkan mudarat
atau kerusakan (mafsadah).
Dan, manakala diterapkan, maka untuk mengidentifikasi
nilai-nilai prinsipal dalam kaitannya dengan praktik poligami ini, semestinya
perempuan diletakkan sebagai subyek penentu keadilan. Ini prinsip karena
merekalah yang secara langsung menerima akibat poligami. Dan, untuk pengujian
nilai-nilai ini haruslah dilakukan secara empiris, interdisipliner, dan
obyektif dengan melihat efek poligami dalam realitas sosial masyarakat.
Dan, ketika ukuran itu diterapkan, sebagaimaan
disaksikan Muhammad Abduh, ternyata yang terjadi lebih banyak menghasilkan
keburukan daripada kebaikan. Karena itulah Abduh kemudian meminta pelarangan
poligami.
Dalam konteks ini, Abduh menyitir teks hadis Nabi SAW:
"Tidak dibenarkan segala bentuk kerusakan (dharar) terhadap diri atau
orang lain." (Jâmi’a al-Ushûl, VII, 412, nomor hadis: 4926). Ungkapan ini
tentu lebih prinsip dari pernyataan "poligami itu sunah".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar