Bagi masyakarat muslim, nikah siri atau nikah bawahtangan sering diasumsikan oleh masyarakat umum sebagai pernikahan yang sah secara agama
namun tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan negara (dalam hal ini KUA). Nikah Sirri adalah pernikahan yang dirahasiakan karena
pertimbangan-pertimbangan tertentu; misalnya karena takut mendapatkan stigma
negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu pernikahan siri; atau
karena pertimbangan-pertimbangan rumit yang memaksa seseorang untuk
merahasiakan pernikahannya.
Banyak faktor yang menyebabkan
seseorang tidak mencatatkan pernikahannya di Kantor Urusan Agama. Ada yang
karena faktor biaya, alias tidak mampu membayar administrasi pencatatan, karena
terdapat kekurangan persyaratan/halangan untuk menikah, namun tidak jarang pula nikah
sirri tersebut dilakukan karena takut ketahuan melanggar
aturan yang melarangnya, contohnya saja poligami tanpa ijin Pengadilan Agama atau bahkan
dilakukan oleh PNS
yang menikah lebih dari satu; dan lain
sebagainya.
Dalam realitanya, pernikahan sirri tersebut kerap
terjadi tanpa
dihadiri wali. Pernikahan semacam ini
dilakukan secara rahasia (siri) dikarenakan pihak wali perempuan tidak setuju (mogok/adhol), atau karena menganggap tetap sah sebuah pernikahan meski tanpa dihadiri oleh wali nikah, atau hanya karena ingin memuaskan
nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi ketentuan-ketentuan syariat.
Nikah
Tanpa Dicatatkan di Kantor Urusan Agama
Pernikahan
Siri mungkin saja dilaksanakan dengan kriteria sebagai pernikahan yang sah
menurut ketentuan syariat namun tidak dicatatkan pada Kantor Urusan Agama.
Dalam menyikapi hal ini, ada dua hukum yang harus dipenuhi kriteria keabsahannya
secara berbeda, yaitu hukum keabsahan pernikahan menurut agama yang dianut
(agama islam) dan hukum keabsahan pernikahan sebagai akibat tidak mencatatkan
pernikahan tersebut di lembaga yang diberi wewenang oleh negara.
Dari aspek pernikahannya, mungkin saja nikah siri tetap sah menurut
ketentuan syariat, yaitu bila syarat rukun pernikahan menurut agama islam
sudah terpenuhi semua, dan pelakunya tidak boleh dianggap melakukan tindakan maksiat sehingga berhak dijatuhi sanksi hukum agama. Hal ini disebabkan karena suatu perbuatan baru dianggap maksiat dan diberi label dosa ketika perbuatan tersebut
terkategori ”mengerjakan yang haram” dan ”meninggalkan yang wajib”. Seseorang layak disebut
berdosa dan melanggar syariat islam ketika ia telah mengerjakan perbuatan yang haram, atau
meninggalkan kewajiban yang telah ditetapkan oleh syariat.
Begitu pula orang yang meninggalkan
atau mengerjakan perbuatan-perbuatan yang berhukum sunnah, mubah, dan makruh,
maka orang tersebut tidak boleh dinyatakan telah melakukan maksiat. Untuk itu, menurut fiqh, seorang qadliy (hakim dalam
sistem hukum islam)
tidak boleh menjatuhkan sanksi kepada orang-orang yang meninggalkan perbuatan
sunnah, dan mubah, atau mengerjakan perbuatan mubah atau makruh.
Menurut fiqh, seseorang baru berhak dijatuhi sanksi
hukum di dunia ketika orang tersebut; Pertama, meninggalkan kewajiban, seperti
meninggalkan sholat, jihad, dan lain sebagainya; kedua, mengerjakan tindak haram, seperti
minum khamer dan mencaci Rasul saw, dan lain sebagainya; ketiga, melanggar aturan-aturan
administrasi negara, seperti melanggar peraturan lalu lintas, perijinan
mendirikan bangunan, dan aturan-aturan lain yang telah ditetapkan oleh negara.
Berdasarkan keterangan dapat
disimpulkan; pernikahan yang tidak dicatatkan di lembaga pencatatan negara
tidak boleh dianggap sebagai tindakan kriminal sehingga pelakunya berhak
mendapatkan dosa dan sanksi di dunia. Pasalnya, pernikahan yang ia lakukan
telah memenuhi rukun-rukun pernikahan yang digariskan oleh Allah swt. Adapun
rukun-rukun pernikahan adalah sebagai berikut; (1) wali, (2) dua orang saksi,
dan (3) ijab qabul. Jika tiga hal ini telah dipenuhi, maka pernikahan seseorang
dianggap sah secara syariat walaupun tidak dicatatkan dalam Kantor Urusan
Agama.
Adapun berkaitan hukum tidak
mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara, maka kasus ini dapat
dirinci sebagai berikut.
Pertama, pada dasarnya, fungsi pencatatan
pernikahan pada Kantor Urusan Agama adalah agar seseorang memiliki alat bukti
(bayyinah) untuk membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah melakukan
pernikahan dengan orang lain. Sebab, salah bukti yang dianggap absah sebagai
bukti syar’iy (bayyinah syar’iyyah) adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh
negara. Ketika pernikahan dicatatkan pada lembaga Kantor Urusan Agama, tentunya
seseorang telah memiliki sebuah dokumen resmi yang bisa ia dijadikan sebagai
alat bukti (bayyinah) di hadapan majelis peradilan, ketika ada sengketa
yang berkaitan dengan pernikahan, maupun sengketa yang lahir akibat pernikahan,
seperti waris, hak asuh anak, perceraian, nafkah, dan lain sebagainya. Hanya
saja, dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara, bukanlah satu-satunya alat
bukti syar’iy. Kesaksian dari saksi-saksi pernikahan atau orang-orang yang
menyaksikan pernikahan, juga absah dan harus diakui oleh negara sebagai alat
bukti syar’iy. Negara tidak boleh menetapkan bahwa satu-satunya alat bukti
untuk membuktikan keabsahan pernikahan seseorang adalah dokumen tertulis.
Pasalnya, syariat telah menetapkan keabsahan alat bukti lain selain dokumen
tertulis, seperti kesaksian saksi, sumpah, pengakuan (iqrar), dan lain
sebagainya. Berdasarkan penjelasan ini dapatlah disimpulkan bahwa, orang yang
menikah siri tetap memiliki hubungan pewarisan yang sah, dan hubungan-hubungan
lain yang lahir dari pernikahan. Selain itu, kesaksian dari saksi-saksi yang
menghadiri pernikahan siri tersebut sah dan harus diakui sebagai alat bukti
syar’iy. Negara tidak boleh menolak kesaksian mereka hanya karena pernikahan
tersebut tidak dicatatkan pada lembaga Kantor Urusan Agama; atau tidak mengakui
hubungan pewarisan, nasab, dan hubungan-hubungan lain yang lahir dari pernikahan
siri tersebut.
Kedua, pada era keemasan Islam, di mana
sistem pencatatan telah berkembang dengan pesat dan maju, tidak pernah kita
jumpai satupun pemerintahan Islam yang mempidanakan orang-orang yang melakukan
pernikahan yang tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan resmi negara. Lebih
dari itu, kebanyakan masyarakat pada saat itu, melakukan pernikahan tanpa
dicatat di lembaga Kantor Urusan Agama. Tidak bisa dinyatakan bahwa pada saat
itu lembaga pencatatan belum berkembang, dan keadaan masyarakat saat itu
belumnya sekompleks keadaan masyarakat sekarang. Pasalnya, para penguasa dan
ulama-ulama kaum Muslim saat itu memahami bahwa hukum asal pencatatan
pernikahan bukanlah wajib, akan tetapi mubah. Mereka juga memahami bahwa
pembuktian syar’iy bukan hanya dokumen tertulis.
Nabi saw sendiri melakukan
pernikahan, namun kita tidak pernah menemukan riwayat bahwa melakukan
pencatatan atas pernikahan beliau, atau beliau mewajibkan para shahabat untuk
mencatatkan pernikahan mereka; walaupun perintah untuk menulis (mencatat)
beberapa muamalah telah disebutkan di dalam al-Quran, misalnya firman Allah
swt;
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى
فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ
أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي
عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا
فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا
يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ
وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ
فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ
إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ
إِذَا مَا دُعُوا وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى
أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى
أَلَّا تَرْتَابُوا إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا
بَيْنَكُمْ تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا
تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا
شَهِيدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ
وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
”Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan,
hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu
menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya
sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan
hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu),
dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi
sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya
atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka
hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua
orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu). Jika tak ada dua orang lelaki,
maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu
ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah
saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan
janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas
waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat
menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu,
(Tulislah mu`amalahmu itu), kecuali jika mu`amalah itu perdagangan tunai yang
kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak
menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis
dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka
sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada
Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.[QS AL
Baqarah (2):
Ketiga, dalam khazanah peradilan Islam,
memang benar, negara berhak menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada orang yang
melakukan tindakan mukhalafat. Pasalnya, negara (dalam hal ini seorang
Khalifah dan orang yang diangkatnya) mempunyai hak untuk menetapkan
aturan-aturan tertentu untuk mengatur urusan-urusan rakyat yang belum
ditetapkan ketentuan dan tata cara pengaturannya oleh syariat; seperti urusan
lalu lintas, pembangunan rumah, eksplorasi, dan lain sebagainya. Khalifah
memiliki hak dan berwenang mengatur urusan-urusan semacam ini berdasarkan
ijtihadnya. Aturan yang ditetapkan oleh khalifah atau qadliy dalam
perkara-perkara semacam ini wajib ditaati dan dilaksanakan oleh rakyat. Siapa
saja yang melanggar ketetapan khalifah dalam urusan-urusan tersebut, maka ia
telah terjatuh dalam tindakan mukhalafat dan berhak mendapatkan sanksi mukhalafat.
Misalnya, seorang khalifah berhak menetapkan jarak halaman rumah dan
jalan-jalan umum, dan melarang masyarakat untuk membangun atau menanam di
sampingnya pada jarak sekian meter. Jika seseorang melanggar ketentuan
tersebut, khalifah boleh memberi sanksi kepadanya dengan denda, cambuk,
penjara, dan lain sebagainya.
Khalifah juga memiliki kewenangan
untuk menetapkan takaran, timbangan, serta ukuran-ukuran khusus untuk
pengaturan urusan jual beli dan perdagangan. Ia berhak untuk menjatuhkan sanksi
bagi orang yang melanggar perintahnya dalam hal tersebut. Khalifah juga
memiliki kewenangan untuk menetapkan aturan-aturan tertentu untuk kafe-kafe,
hotel-hotel, tempat penyewaan permainan, dan tempat-tempat umum lainnya; dan ia
berhak memberi sanksi bagi orang yang melanggar aturan-aturan tersebut.
Demikian juga dalam hal pengaturan
urusan pernikahan. Khalifah boleh saja menetapkan aturan-aturan administrasi
tertentu untuk mengatur urusan pernikahan; misalnya, aturan yang mengharuskan
orang-orang yang menikah untuk mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan
resmi negara, dan lain sebagainya. Aturan semacam ini wajib ditaati dan
dilaksanakan oleh rakyat. Untuk itu, negara berhak memberikan sanksi bagi orang
yang tidak mencatatkan pernikahannya ke lembaga pencatatan negara. Pasalnya,
orang yang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan negara --
padahal negara telah menetapkan aturan tersebut—telah terjatuh pada tindakan mukhalafat.
Bentuk dan kadar sanksi mukhalafat diserahkan sepenuhnya kepada khalifah dan
orang yang diberinya kewenangan.
Yang menjadi catatan di sini adalah,
pihak yang secara syar’iy absah menjatuhkan sanksi mukhalafat hanyalah
seorang khalifah yang dibai’at oleh kaum Muslim, dan orang yang ditunjuk oleh
khalifah. Selain khalifah, atau orang-orang yang ditunjuknya, tidak memiliki
hak dan kewenangan untuk menjatuhkan sanksi mukhalafat. Atas dasar itu, kepala
negara yang tidak memiliki aqad bai’at dengan rakyat, maka kepala negara
semacam ini tidak absah menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada rakyatnya. Sebab,
seseorang baru berhak ditaati dan dianggap sebagai kepala negara jika rakyat
telah membai’atnya dengan bai’at in’iqad dan taat. Adapun orang yang
menjadi kepala negara tanpa melalui proses bai’at dari rakyat (in’iqad dan
taat), maka ia bukanlah penguasa yang sah, dan rakyat tidak memiliki kewajiban
untuk mentaati dan mendengarkan perintahnya. Lebih-lebih lagi jika para
penguasa itu adalah para penguasa yang menerapkan sistem kufur alas demokrasi
dan sekulerisme, maka rakyat justru tidak diperkenankan memberikan ketaatan
kepada mereka.
Keempat, jika pernikahan siri dilakukan
karena faktor biaya; maka pada kasus semacam ini negara tidak boleh
mempidanakan dan menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada pelakunya. Pasalnya,
orang tersebut tidak mencatatkan pernikahannya dikarenakan ketidakmampuannya;
sedangkan syariat tidak membebani seseorang di luar batas kemampuannya. Oleh
karena itu, Negara tidak boleh mempidanakan orang tersebut, bahkan wajib
memberikan pelayanan pencatatan gratis kepada orang-orang yang tidak mampu
mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan Negara.
Kelima, pada dasarnya, Nabi saw telah
mendorong umatnya untuk menyebarluaskan pernikahan dengan menyelenggarakan walimatul
‘ursy. Anjuran untuk melakukan walimah, walaupun tidak sampai berhukum
wajib akan tetapi nabi sangat menganjurkan (sunnah muakkadah). Nabi saw
bersabda;
حَدَّثَنَا
أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ
“Adakah walimah walaupun dengan
seekor kambing”.[HR. Imam Bukhari dan Muslim]
Banyak hal-hal positif yang dapat
diraih seseorang dari penyiaran pernikahan; di antaranya adalah ; (1) untuk
mencegah munculnya fitnah di tengah-tengah masyarakat; (2) memudahkan
masyarakat untuk memberikan kesaksiannya, jika kelak ada persoalan-persoalan
yang menyangkut kedua mempelai; (3) memudahkan untuk mengidentifikasi apakah
seseorang sudah menikah atau belum.
Hal semacam ini tentunya berbeda
dengan pernikahan yang tidak disiarkan, atau dirahasiakan (siri). Selain akan
menyebabkan munculnya fitnah; misalnya jika perempuan yang dinikahi siri hamil,
maka akan muncul dugaan-dugaan negatif dari masyarakat terhadap perempuan
tersebut; pernikahan siri juga akan menyulitkan pelakunya ketika dimintai
persaksian mengenai pernikahannya. Jika ia tidak memiliki dokumen resmi, maka
dalam semua kasus yang membutuhkan persaksian, ia harus menghadirkan
saksi-saksi pernikahan sirinya; dan hal ini tentunya akan sangat menyulitkan
dirinya. Atas dasar itu, anjuran untuk mencatatkan pernikahan di lembaga
pencatatan negara menjadi relevan, demi mewujudkan kemudahan-kemudahan bagi
suami isteri dan masyarakat serta untuk mencegah adanya fitnah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar