Laman

Jumat, 20 Desember 2013

INDAHNYA PERNIKAHAN


Oleh : H. Nur Khamid, SHI


            Seorang kawan pernah berkelakar, betapa ia sangat menyesal setelah menikah. Bukan karena salah memilih pasangan. Atau  disebabkan status barunya sebagai suami membuatnya ”kikuk” dan ”tersiksa”. Bukan pula berbagai kebiasaan dan tanggung jawab baru yang butuh penyesuaian ini dan itu. Yang ia sesali mengapa ia baru menikah sekarang. Mengapa tidak sedari dulu. ”kalau tahu menikah begini indah”, ucap kawan tersebut, ”aku pasti telah menikahinya semenjak dulu”.
            Ada banyak keindahan yang bisa disemai dalam pernikahan. Ada banyak kebaikan yang bisa tumbuh di situ. Bila seorang perjaka sedang kasmaran dan sang gadis pujaan pun dilanda hal yang sama, betapa mudahnya mereka berdua tergelincir untuk melakukan dosa. Apalagi iblis dan antek-anteknya begitu giat menghembuskan bujuk rayu. Tapi bila dua sejoli itu  menikah, hal-hal yang semula terlarang (haram) menjadi boleh (halal) bahkan bisa bernilai ibadah. Rasa rindu dan ingin dirindukan, rasa ingin menyayangi dan ingin disayang, rasa cinta dan rasa ingin memiliki, rasa takut kehilangan, rasa ingin bahagia dan membahagiakan menemukan salurannya secara tepat dan bertanggung-jawab.
            Berkait dengan hal tersebut Rasulullah Saw menyabdakan dalam sebuah hadits:
            ”Sesunguhnya ketika seorang suami memperhatikan istrinya dan istrinya memperhatikan suaminya, maka Allah memperhatikan mereka berdua dengan rahmat. Manakala suaminya merengkuh telapak tangannya(diremas remas), berguguranlah dosa-dosa suami istri itu dari sela-sela jari jemarinya.(HR Maisarah bin Ali dari ar Rafi’i dan Abu Said al Khudri ra).

            Dalam hadits yang lain Rasululullah juga bersabda:
            ”Jika seorang menyalurkan syahwatnya (bersetubuh) pada apa (tempat) yang dihalalkan, niscaya baginya mendapat mendapat pahala.(HR Muslim dan an Nasa’i dari Abu dzar ra).
            Seorang laki-laki yang masih sendiri, akan mudah dihinggapi rasa kesepian. Mungkin saat berada di sekeliling kawan sepergaulan rasa itu bisa terobati sementara. Namun pada saat-sat tertentu jelas dia tak bisa mengingkari fitrah itu. Bahwa dia merindukan pasangan. Bahwa dia ingin bersanding dengan wanita pujaan hati. Bahwa dia merindukan pernikahan. Manusia normal, lelaki dan perempuan, pastinya merindukan ikatan suci itu. Dengan pernikahan manusia menemukan ketenangan dan ketenteraman batin. Allah SWT berfirman dalam al Qur’an surat ar Ruum ayat 21:
            ”Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir (QS:30:21).
            Pernikahan adalah satu-satunya pintu untuk membangun rumah tangga. Pernikahanlah satu-satunya cara yang syah bagi manusia berlainan jenis untuk mengikatkan diri menjadi sepasang suami-istri. Alangkah indahnya, dua orang yang semula adalah orang lain, bisa jadi bahkan tidak saling mengenal sebelumnya, oleh agama dituntun untuk saling berbagi. Oleh agama mereka diikat dalam sebuah perjanjian yang kokoh (mitsaqan ghalidza) agar mampu mengarungi samudera kehidupan ini bersama-sama, dalam suka maupun duka. Mereka didekatkan dan diberi amanat berupa hak dan kewajiban. Bila dalam mujahadah (perjuangan) itu mereka masih memegang teguh iman kepada Allah SWT, oleh Allah dijanjikan jannatun na’im.

            Langkah – langkah yang dibutuhkan
            Dalam beberapa kasus bayangan indah seputar pernikahan sama sekali tak menjadi kenyataan. Yang hadir justru percekcokan demi percekcokan, ketidak-harmonisan, saling menyalahkan, serta hal-hal menyiksa yang lain. Suami merasa tak memperoleh kenyamanan hubungan atas istrinya. Sang istripun merasakan hal yang sama. Ibarat pernikahan adalah sebuah keberangkatan menuju pengembaraan yang panjang, suami istri tak lagi memiliki arah dan tujuan yang sama. Kalaupun masih searah dan setujuan mereka tak lagi bisa bekerja sama.
            Mengapa hal ini bisa terjadi? Kemana perginya komitmen dan janji-janji manis di awal pernikahan itu? Kemana rasa cinta yang sering diagung-agungkan itu kini bersembunyi? Gagalnya suami istri membangun keindahan rumah tangga bisa karena aneka ragam sebab dan alasan. Mungkin karena salah memilih pasangan semenjak awal. Mungkin karena minimnya energi untuk melanggengkan kebersamaan. Mungkin karena kualitas komunikasi yang kurang baik. Mungkin karena ketidak-mampuan mensinergikan dua ego sehingga gagal membangun kecocokan. Mungkin karena faktor-faktor eksternal, atau masih banyak lagi.
            Namun dari semua alasan di atas sebenarnya saat menentukan pendamping hidup, calon suami istri, seyogyanya memperhatikan dua hal berikut. Pertama, menikahlah dengan orang yang tepat. Amat bisa dimengerti mengapa seseorang harus memilih orang yang tepat saat menentukan pasangan hidup. Pernikahan adalah peristiwa sakral, sebuah peristiwa agung, sebuah episode penting dalam sejarah hidup seseorang. Salah satu momen yang menentukan sukses atau gagalnya kisah hidup seseorang setelah itu.  Tepat memilih ”surga” menunggu. Salah memilih ”neraka” bagiannya. Anda bayangkan dengan pernikahan seseorang saling mendampingi untuk waktu yang lama. Karena tak ada orang yang menikah hanya untuk sementara. Maka bila pilihannya keliru betapa tersiksanya. Dia telah membagi hidupnya dengan orang yang salah.
            Lalu siapa orang yang tepat itu? Saat pertanyaan itu diajukan kepada Imam al Hasan, beliau menjawab: ”Kamu harus memilih calon suami (putrimu) yang taat beragama. Sebab jika dia mencintai putrimu dia akan memulyakannya. Dan jika dia kurang menyukai (memarahinya), dia tak akan menghinakannya”.
            Rasulullah Saw bersabda: ”Wanita itu dinikahi karena empat perkara, karena kecantikannya atau karena keturunannya atau karena hartanya atau karena agamanya. Tapi pilihlah yang beragama agar dirimu selamat” (HR. Buchari dan Muslim).
            Memilih pasangan karena kuatnya agama sang calon, itulah masalah yang banyak terjadi hari ini. Sebagian orang mencukupkan diri sebatas pada asal satu iman, satu agama. Yang penting islam. Yang lain mencoba berdalih, banyak orang yang tampak kuat agamanya namun kurang bijak dalam memperlakukan pasangan. Sementara ada orang yang tidak begitu taat beragama namun sayang keluarga. Memulyakan anak dan istri. Ala lagi yang melihat, kuatnya agama seseorang dilihat dari tinggi rendahnya pengetahuan agama yang dimiliki. Ada lagi yang sama sekali tak peduli dengan agama. Yang penting cantik, kaya, ganteng, populer, dan cinta.
            Lalu siapa orang yang agamanya baik itu? Kalau kita menilai baik-buruk agama seseorang semata mata karena kemampuan pengetahuannya: luas, tinggi, sempit atau rendah, bisa-bisa kita terjebak pada kenyataan yang tak mengenakkan. Bicara kemampuan pengetahuan tentang Islam, para orientalis, orang-orang Barat yang belajar islam, bisa jadi lebih lebih banyak pengetahuannya dibanding kebanyakan kita saat ini penulis kamus bahasa Arab yang saat ini menjadi pegangan standar, al Munjid, adalah karya seorang orientalis. Louis Ma’luf.
            Maka ada baiknya perhatikanlah sabda Nabi Saw berikut: ”orang mu’;min yang paling sempurna imannya ialah yang paling baik akhlaknya”. (HR Ahmad dan Abu Daud).
            Agama meliputi tauhid yang merupakan inti dan syariat yang lebih bersifat dzahir. Taihid hidup dalam iman. Dan iman adalah urusan hati. Sulit melihat dewrajat keimanan seseorang. Tapi keyakianan hati mempengaruhi sikap dan perilaku. Dengan begitu keagamaan seseorangh akan tercermin dari perbuatannya.
            Bila agama dujadikan rujukan utama saat memilih pasangan, besar harapan keluarga tersebut memiliki daya tahan yang baik. Hal itu berkait dengan manajemen konflik yang dikembangkan. Ibarat rumah tangga adalah sebuah bangunan, maka tiada pondasi yan g lebih baik dan kkoh selain iman. Seseorang yang beriman akan mengembalikan setiap persoalan yang dialaminya kepada kekuasaan  Allah SWT. Katakanlah misalnya rumah tangga sedang diuji dengan berbagai penderitaan, maka tetap saja kesadaran imannya menuntun bahwa semua itu adalah kehendak Allah. Dia akan berusaha mencari hikmah dari peristiwa-peristiwa tersebut. Dia yakin bahwa yang diberikan Allah pastilah yang terbaik. Maka segeralah muncul sikap sabar.
            Sebaliknya, saat diberi berbagai kenikmatan, kesadaran imannya menuntun bahwa itupun semua dari Allah. Tak ada yang terjadi tanpa kehendak-Nya. Dia perlakukan kenikmatan-kenikmatan sebagai amanat yang pasti akan dipertanggung-jawabkan di hadapan-Nya. Maka muncullah rasa dan sikap bersyukur. Bersyukur atas segaala karunia yang diterimanya itu.  Bukankah hidup  sebenarnya hanyalah perguliran antara  penderitaan dan kebahagiaan? Bila saat menderita bisa bersabar dan saat bahagia bisa bersyukur, maka artinya selamatlah orang yang seperti itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar