Oleh : H. Nur Khamid, SHI
Seorang
kawan pernah berkelakar, betapa ia sangat menyesal setelah menikah. Bukan karena
salah memilih pasangan. Atau disebabkan
status barunya sebagai suami membuatnya ”kikuk” dan ”tersiksa”. Bukan pula berbagai
kebiasaan dan tanggung jawab baru yang butuh penyesuaian ini dan itu. Yang ia
sesali mengapa ia baru menikah sekarang. Mengapa tidak sedari dulu. ”kalau tahu
menikah begini indah”, ucap kawan tersebut, ”aku pasti telah menikahinya
semenjak dulu”.
Ada
banyak keindahan yang bisa disemai dalam pernikahan. Ada banyak kebaikan yang
bisa tumbuh di situ. Bila seorang perjaka sedang kasmaran dan sang gadis
pujaan pun dilanda hal yang sama, betapa mudahnya mereka berdua tergelincir
untuk melakukan dosa. Apalagi iblis dan antek-anteknya begitu giat
menghembuskan bujuk rayu. Tapi bila dua sejoli itu menikah, hal-hal yang semula terlarang (haram)
menjadi boleh (halal) bahkan bisa bernilai ibadah. Rasa rindu dan ingin
dirindukan, rasa ingin menyayangi dan ingin disayang, rasa cinta dan rasa ingin
memiliki, rasa takut kehilangan, rasa ingin bahagia dan membahagiakan menemukan
salurannya secara tepat dan bertanggung-jawab.
Berkait
dengan hal tersebut Rasulullah Saw menyabdakan dalam sebuah hadits:
”Sesunguhnya ketika seorang suami
memperhatikan istrinya dan istrinya memperhatikan suaminya, maka Allah
memperhatikan mereka berdua dengan rahmat. Manakala suaminya merengkuh telapak
tangannya(diremas remas), berguguranlah dosa-dosa suami istri itu dari
sela-sela jari jemarinya.(HR Maisarah bin Ali dari ar Rafi’i dan Abu Said al
Khudri ra).
Dalam
hadits yang lain Rasululullah juga bersabda:
”Jika seorang menyalurkan
syahwatnya (bersetubuh) pada apa (tempat) yang dihalalkan, niscaya baginya
mendapat mendapat pahala.(HR Muslim dan an Nasa’i dari Abu dzar ra).
Seorang laki-laki yang masih sendiri, akan
mudah dihinggapi rasa kesepian. Mungkin saat berada di sekeliling kawan
sepergaulan rasa itu bisa terobati sementara. Namun pada saat-sat tertentu
jelas dia tak bisa mengingkari fitrah itu. Bahwa dia merindukan pasangan. Bahwa dia ingin
bersanding dengan wanita pujaan hati. Bahwa dia merindukan pernikahan. Manusia
normal, lelaki dan perempuan, pastinya merindukan ikatan suci itu. Dengan
pernikahan manusia menemukan ketenangan dan ketenteraman batin. Allah SWT
berfirman dalam al Qur’an surat ar Ruum ayat 21:
”Dan diantara tanda-tanda
kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri,
supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di
antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir (QS:30:21).
Pernikahan adalah satu-satunya pintu untuk
membangun rumah tangga. Pernikahanlah satu-satunya cara yang syah bagi manusia
berlainan jenis untuk mengikatkan diri menjadi sepasang suami-istri. Alangkah
indahnya, dua orang yang semula adalah orang lain, bisa jadi bahkan tidak
saling mengenal sebelumnya, oleh agama dituntun untuk saling berbagi. Oleh
agama mereka diikat dalam sebuah perjanjian yang kokoh (mitsaqan ghalidza)
agar mampu mengarungi samudera kehidupan ini bersama-sama, dalam suka maupun
duka. Mereka didekatkan dan diberi amanat berupa hak dan kewajiban. Bila dalam mujahadah
(perjuangan) itu mereka masih memegang teguh iman kepada Allah SWT, oleh Allah
dijanjikan jannatun na’im.
Langkah
– langkah yang dibutuhkan
Dalam
beberapa kasus bayangan indah seputar pernikahan sama sekali tak menjadi
kenyataan. Yang hadir justru percekcokan demi percekcokan, ketidak-harmonisan,
saling menyalahkan, serta hal-hal menyiksa yang lain. Suami merasa tak memperoleh kenyamanan hubungan
atas istrinya. Sang istripun merasakan hal yang sama. Ibarat pernikahan adalah
sebuah keberangkatan menuju pengembaraan yang panjang, suami istri tak lagi
memiliki arah dan tujuan yang sama. Kalaupun masih searah dan setujuan mereka tak lagi bisa bekerja sama.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Kemana perginya komitmen dan janji-janji
manis di awal pernikahan itu? Kemana rasa cinta yang sering diagung-agungkan itu kini bersembunyi? Gagalnya
suami istri membangun keindahan rumah tangga bisa karena aneka ragam sebab dan
alasan. Mungkin karena salah memilih pasangan semenjak awal. Mungkin karena
minimnya energi untuk melanggengkan kebersamaan. Mungkin karena kualitas
komunikasi yang kurang baik. Mungkin karena ketidak-mampuan mensinergikan dua
ego sehingga gagal membangun kecocokan. Mungkin karena faktor-faktor eksternal,
atau masih banyak lagi.
Namun
dari semua alasan di atas sebenarnya saat menentukan pendamping hidup, calon
suami istri, seyogyanya memperhatikan dua hal berikut. Pertama, menikahlah
dengan orang yang tepat. Amat bisa dimengerti mengapa seseorang harus
memilih orang yang tepat saat menentukan pasangan hidup. Pernikahan adalah
peristiwa sakral, sebuah peristiwa agung, sebuah episode penting dalam sejarah
hidup seseorang. Salah satu momen yang menentukan sukses atau gagalnya kisah
hidup seseorang setelah itu. Tepat
memilih ”surga” menunggu. Salah memilih ”neraka” bagiannya. Anda bayangkan
dengan pernikahan seseorang saling mendampingi untuk waktu yang lama. Karena
tak ada orang yang menikah hanya untuk sementara. Maka bila pilihannya keliru
betapa tersiksanya. Dia telah membagi hidupnya dengan orang yang salah.
Lalu
siapa orang yang tepat itu? Saat pertanyaan itu diajukan kepada Imam al Hasan,
beliau menjawab: ”Kamu harus memilih calon suami (putrimu) yang taat beragama.
Sebab jika dia mencintai putrimu dia akan memulyakannya. Dan jika dia kurang
menyukai (memarahinya), dia tak akan menghinakannya”.
Rasulullah
Saw bersabda: ”Wanita itu dinikahi karena empat perkara, karena kecantikannya
atau karena keturunannya atau karena hartanya atau karena agamanya. Tapi
pilihlah yang beragama agar dirimu selamat” (HR. Buchari dan Muslim).
Memilih
pasangan karena kuatnya agama sang calon, itulah masalah yang banyak terjadi
hari ini. Sebagian orang mencukupkan diri sebatas pada asal satu iman, satu
agama. Yang penting islam. Yang lain mencoba berdalih, banyak orang yang tampak
kuat agamanya namun kurang bijak dalam memperlakukan pasangan. Sementara ada
orang yang tidak begitu taat beragama namun sayang keluarga. Memulyakan anak
dan istri. Ala lagi yang melihat, kuatnya agama seseorang dilihat dari tinggi
rendahnya pengetahuan agama yang dimiliki. Ada lagi yang sama sekali tak peduli
dengan agama. Yang penting cantik, kaya, ganteng, populer, dan cinta.
Lalu
siapa orang yang agamanya baik itu? Kalau kita menilai baik-buruk agama
seseorang semata mata karena kemampuan pengetahuannya: luas, tinggi, sempit atau
rendah, bisa-bisa kita terjebak pada kenyataan yang tak mengenakkan. Bicara
kemampuan pengetahuan tentang Islam, para orientalis, orang-orang Barat yang
belajar islam, bisa jadi lebih lebih banyak pengetahuannya dibanding kebanyakan
kita saat ini penulis kamus bahasa Arab yang saat ini menjadi pegangan standar,
al Munjid, adalah karya seorang orientalis. Louis Ma’luf.
Maka
ada baiknya perhatikanlah sabda Nabi Saw berikut: ”orang mu’;min yang paling
sempurna imannya ialah yang paling baik akhlaknya”. (HR Ahmad dan Abu Daud).
Agama
meliputi tauhid yang merupakan inti dan syariat yang lebih bersifat dzahir.
Taihid hidup dalam iman. Dan iman adalah urusan hati. Sulit melihat dewrajat
keimanan seseorang. Tapi keyakianan hati mempengaruhi sikap dan perilaku.
Dengan begitu keagamaan seseorangh akan tercermin dari perbuatannya.
Bila agama dujadikan rujukan utama saat
memilih pasangan, besar harapan keluarga tersebut memiliki daya tahan yang
baik. Hal itu berkait dengan manajemen konflik yang dikembangkan. Ibarat rumah
tangga adalah sebuah bangunan, maka tiada pondasi yan g lebih baik dan kkoh
selain iman. Seseorang yang beriman akan mengembalikan setiap persoalan yang
dialaminya kepada kekuasaan Allah SWT. Katakanlah
misalnya rumah tangga sedang diuji dengan berbagai penderitaan, maka tetap saja
kesadaran imannya menuntun bahwa semua itu adalah kehendak Allah. Dia akan
berusaha mencari hikmah dari peristiwa-peristiwa tersebut. Dia yakin bahwa yang
diberikan Allah pastilah yang terbaik. Maka segeralah muncul sikap sabar.
Sebaliknya,
saat diberi berbagai kenikmatan, kesadaran imannya menuntun bahwa itupun semua
dari Allah. Tak ada yang terjadi tanpa kehendak-Nya. Dia perlakukan
kenikmatan-kenikmatan sebagai amanat yang pasti akan dipertanggung-jawabkan di
hadapan-Nya. Maka muncullah rasa dan sikap bersyukur. Bersyukur atas segaala
karunia yang diterimanya itu. Bukankah
hidup sebenarnya hanyalah perguliran
antara penderitaan dan kebahagiaan? Bila
saat menderita bisa bersabar dan saat bahagia bisa bersyukur, maka artinya
selamatlah orang yang seperti itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar