Laman

Jumat, 20 Desember 2013

FATWA HALAL SEBAGAI DASAR HUKUM JAMINAN HALAL


[1]


  1. Latar Belakang Masalah
a.    Dalam sebuah hadis populer yang diriwayatkan Imam Muslim dinyatakan bahwa yang halal itu sudah jelas, dan yang haram juga sudah jelas, sedangkan diantara keduanya terdapat samar-samar (Syubhat). Kita Menduga dengan kuat bahwa makanan dan minuman olahan yang beredar dan dikonsumsi masyarakat itu termasuk yang syubhat. Maka memerlukan adanya fatwa halal sebagai jaminan kehalalan.
b.    Ketika kita menyaksikan dan merasa prihatin akan maraknya kejahatan dan angkara murka, maka ada asumsi yang menyatakan adanya korelasi antara maraknya kejahatan itu dengan faktor keharaman mengkonsumsi makanan dan minuman. Patut diduga makanan haram akan mendorong perilaku yang diharamkan pula.[3]
c.    Berdasarkan pengamatan, sesungguhnya umat islam Indonesia cukup fanatik dan berkomitmen untuk menjauhi konsumsi barang haram, tetapi tidak mempunyai tradisi kritis untuk meneliti kehalalan makanan dan minuman yang dikonsumsi. Kasus-kasus bumbu masak Ajinomoto dan sabun mandi yang mengandung lemak babi, menjadi bukti bahwa begitu isu tersebut merebak, umat Islam langsung bereaksi menjauh.[4]
  1. Urgensi Makanan & Minuman Halal
a. Dasar Hukum
   - QS. Al-Baqarah : 168
   - QS. Al-Ma’idah : 88
   - H.R. Ibn Mas’ud
b. Tujuan Sertifikasi halal
Dengan sertifikasi halal, maka tujuan dasarnya ialah (1) memberikan perlindungan dan kepastian hukum pada konsumen muslim, (2) dapat menguntungkan produsen dengan meningkatakan daya saing dan omset produksi dan penjualan, dan (3) meningkatkan pendapatan nasional yang menguntungkan pemerintah dengan mendapatkan tambahan pemasukan kas Negara. Dengan demikian misi yang dituju oleh sertifikasi halal adalah (1) meningkatkan kesadaran pelaku usaha untuk memproduksi halal, (2) meningkatkan kesadaran umat islam untuk mengkonsumsi halal, (3) menjadikan halalan toyyiba untuk menciptakan keunggulan kompetisi ditingkat regional maupun global, dan (4) mendorong pemerintah mendukung sistim produksi halal.[5]
c. Jaminan halal, Tanggung jawab siapa?
Melihat dari segi kewajiban konsumsi halal atau menjauhi yang haram adalah kewajiban individu setiap umat islam, maka jaminan halal pada awalnya merupakan kewajiban individu setiap muslim. Kemudian karena menyangkut kehidupan umum dalam masyarakat, maka menjadi kewajiban kolektif para pemimpin agama atau ulama. Sedangkan Negara Indonesia sebagai Negara yang wajib memberikan jaminan pelaksanaan ajaran agama kepada pemeluknya, maka jaminan halal pada ujungnya menjadi kewajiban pemerintah.[6]
  1. Fatwa Halal
    1. Arti Fatwa
Fatwa dapat didefinisikan sebagai usaha memberikan penjelasan hukum syara’ oleh ahlinya kepada orang yang belum mengetahuinya. Aktivitas itu dilakukan oleh mufti untuk memberikan jawaban kepada si penanya atau mustafti, sedangkan produknya disebut fatwa.[7] Pada hakekatnya fatwa merupakan putusan hukum para ulama terhadap persoalan hidup yang praktis dan aktual.[8] Dengan demikian fatwa halal berarti putusan hukum tersebut mengenai kehalalan suatu produk. 
    1. Otoritas Fatwa
Fatwa tidak mungkin dilakukan kecuali oleh mufti, sedangkan mufti adalah ulama yang memiliki kemampuan khusus bahkan ada yang mensyaratkan harus mujtahid. Mufti pada dasarnya bisa dalam bentuk perorangan dan bisa dalam bentuk lembaga, tetapi dalam prakteknya pemberian fatwa di Indonesia cenderung oleh lembaga. Adapun lembaga yang dikenal sebagai lembaga pemberi fatwa ialah seperti Majelis Tarjih Muhammadiyah, Bahts Al-Masa’il Syuriyah NU, komisi fatwa MUI, Dewan Hisbah Persis dsb.
    1. Kebutuhan Umat Pada Fatwa
Manusia bila dihubungkan dengan kemampuan atau kesanggupannya memahami hukum syara’ berupa ayat Al-Quran dan sunnah Nabi terbagi menjadi dua kelompok. Pertama, kelompok orang-orang yang memiliki kesanggupan ijtihad, merekalah yang disebut mujtahidin. Kedua, kelompok orang-orang yang tidak memiliki kesanggupan ijtihad, yang merupakan kelompok terbesar, mereka itulah yang disebut orang awam.[9]
Sejalan dengan QS. Al-Anbiya : 7.
“maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu jika kamu tidak mengetahui”.
Perintah bertanya kepada orang ahli yang bersifat umum ini mencakup perintah meminta fatwa  kepada mufti. Maka Al Ghozali mewajibkan orang awam meminta fatwa kepada mufti dan mengikuti pendapatnya.[10] Begitu juga ketika kehalalan suatu produk tidak diketahui, maka wajib meminta fatwa halal sebagai jaminan kehalalanya kepada yang mengetahui hukumnya.
    1. Prosedur dan Mekanisme Penetapan Fatwa Halal
1)      MUI memberikan pembekalan pengetahuan kepada para auditor LP POM tentang benda-benda haram menurut syari’at Islam. Dengan arti kata para auditor harus mempunyai pengetahuan memadai tentang benda-benda haram tersebut.
2)      Para auditor melakukan penelitian dan audit  ke perusahaan yang meminta sertifikasi halal.
3)      Bahan-bahan tersebut kemudian diperiksa di laboratorium, terutama bahan-bahan yang dicurigai sebagai benda haram atau mengandung haram untuk mendapat kepastian.
4)      Pemeriksaan terhadap suatu perusahaan tidak jarang dilakukan lebih dari satu kali, dan tidak jarang pula auditor menyarankan bahkan mengharuskan agar mengganti suatu bahan yang dicurigai atau diduga mengandung bahan haram dengan bahan yang diyakini kehalalannya atau sudah bersertifikat halal dari MUI atau lembaga lain yang dipandang kompeten, jika perusahaan tersebut tetap menginginkan mendapat sertifikat halal.
5)      Hasil pemeriksaan audit LP POM tersebut kemudian dituangkan dalam sebuah berita acara untuk diajukan ke komisi fatwa MUI untuk disidangkan.
6)      Dalam sidang komisi fatwa, LP POM menyampaikan dan menjelaskan isi berita acara, dan kemudian dibahas secara teliti dan mendalam oleh sidang komisi.
7)      Suatu produk yang masih mengandung bahan yang diragukan kehalalannya, atau terdapat bukti-bukti pembelian bahan produk yang dipandang tidak transparan oleh sidang komisi, dikembalikan kepada LP POM untuk diteliti atau diaudit ulang ke perusahaan bersangkutan.
8)      Produk yang telah diyakini kehalalannya oleh sidang komisi, diputuskanlah fatwa halalnya.
9)      Hasil sidang komisi yang berupa fatwa halal. Kemudian dilaporkan kepada Dewan Pimpinan MUI untuk di tanfizdkan dan dikeluarkan surat keputuan fatwa halal dalam bentuk sertifikat halal.[11]


[1] Disampaikan pada Pembinaan dan Sosialisasi Produk Halal pada P3N Se-Kec. Sulang 27 Agust 2012 Di KUA Kec. Sulang
[2] Penulis adalah Penghulu Muda pada KUA Kec. Sulang
[3] Thobib Al-Asyhar, 2003, h : 188 – 189.
[4] Laporan penelitian Muhyiddin, 2006, h : 3.
[5] Tanya Jawab Seputar Produksi Halal, 2003, h : 8.
[6] Modul Pelatihan Auditor Halal, 2003, h : 62.
[7] Amir Syarifuddin, 1999, h : 429 – 430.
[8] Muhyiddin, 2006, h : 64.
[9] Badran Abu Al ‘Aynayn, 1984, h : 494.
[10] Abuhamid Muhammad bin Muhammad Al Ghazali, tt, h : 389.
[11] Sistem dan Prosedur Penetapan Fatwa Produk Halal, 2003, h : 18 – 19.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar