[1]
- Latar Belakang Masalah
a.
Dalam sebuah hadis populer yang
diriwayatkan Imam Muslim dinyatakan bahwa yang halal itu sudah jelas, dan yang
haram juga sudah jelas, sedangkan diantara keduanya terdapat samar-samar
(Syubhat). Kita Menduga
dengan kuat bahwa makanan dan minuman olahan yang beredar dan dikonsumsi
masyarakat itu termasuk yang syubhat. Maka memerlukan
adanya fatwa halal sebagai jaminan kehalalan.
b. Ketika kita menyaksikan dan merasa
prihatin akan maraknya kejahatan dan angkara murka, maka ada asumsi yang
menyatakan adanya korelasi antara maraknya kejahatan itu dengan faktor
keharaman mengkonsumsi makanan dan minuman. Patut diduga makanan haram akan
mendorong perilaku yang diharamkan pula.[3]
c. Berdasarkan pengamatan, sesungguhnya umat
islam Indonesia cukup fanatik dan berkomitmen untuk menjauhi konsumsi barang
haram, tetapi tidak mempunyai tradisi kritis untuk meneliti kehalalan makanan
dan minuman yang dikonsumsi. Kasus-kasus bumbu masak Ajinomoto dan sabun mandi
yang mengandung lemak babi, menjadi bukti bahwa begitu isu tersebut merebak,
umat Islam langsung bereaksi menjauh.[4]
- Urgensi Makanan & Minuman Halal
a. Dasar Hukum
- QS. Al-Baqarah : 168
- QS. Al-Ma’idah : 88
- H.R. Ibn Mas’ud
b. Tujuan Sertifikasi halal
Dengan sertifikasi halal, maka
tujuan dasarnya ialah (1) memberikan perlindungan dan kepastian hukum pada
konsumen muslim, (2) dapat menguntungkan produsen dengan meningkatakan daya
saing dan omset produksi dan penjualan, dan (3) meningkatkan pendapatan
nasional yang menguntungkan pemerintah dengan mendapatkan tambahan pemasukan
kas Negara. Dengan demikian misi yang dituju oleh sertifikasi halal adalah (1)
meningkatkan kesadaran pelaku usaha untuk memproduksi halal, (2) meningkatkan
kesadaran umat islam untuk mengkonsumsi halal, (3) menjadikan halalan toyyiba
untuk menciptakan keunggulan kompetisi ditingkat regional maupun global, dan
(4) mendorong pemerintah mendukung sistim produksi halal.[5]
c. Jaminan halal, Tanggung jawab siapa?
Melihat dari segi kewajiban konsumsi halal atau menjauhi
yang haram adalah kewajiban individu setiap umat islam, maka jaminan halal pada
awalnya merupakan kewajiban individu setiap muslim. Kemudian karena menyangkut kehidupan umum dalam
masyarakat, maka menjadi kewajiban kolektif para pemimpin agama atau ulama.
Sedangkan Negara Indonesia sebagai Negara yang wajib memberikan jaminan
pelaksanaan ajaran agama kepada pemeluknya, maka jaminan halal pada ujungnya
menjadi kewajiban pemerintah.[6]
- Fatwa Halal
- Arti Fatwa
Fatwa dapat didefinisikan
sebagai usaha memberikan penjelasan hukum syara’ oleh ahlinya kepada orang yang
belum mengetahuinya. Aktivitas itu dilakukan oleh mufti untuk memberikan
jawaban kepada si penanya atau mustafti, sedangkan produknya disebut fatwa.[7] Pada hakekatnya fatwa merupakan putusan
hukum para ulama terhadap persoalan hidup yang praktis dan aktual.[8] Dengan demikian fatwa halal berarti
putusan hukum tersebut mengenai kehalalan suatu produk.
- Otoritas Fatwa
Fatwa tidak mungkin dilakukan kecuali oleh mufti,
sedangkan mufti adalah ulama yang memiliki kemampuan khusus bahkan ada yang mensyaratkan
harus mujtahid. Mufti pada
dasarnya bisa dalam bentuk perorangan dan bisa dalam bentuk lembaga, tetapi
dalam prakteknya pemberian fatwa di Indonesia cenderung oleh lembaga. Adapun
lembaga yang dikenal sebagai lembaga pemberi fatwa ialah seperti Majelis Tarjih
Muhammadiyah, Bahts Al-Masa’il Syuriyah NU, komisi fatwa MUI, Dewan Hisbah
Persis dsb.
- Kebutuhan Umat Pada Fatwa
Manusia bila dihubungkan dengan kemampuan atau
kesanggupannya memahami hukum syara’ berupa ayat Al-Quran dan sunnah Nabi
terbagi menjadi dua kelompok. Pertama, kelompok orang-orang yang memiliki
kesanggupan ijtihad, merekalah yang disebut mujtahidin. Kedua, kelompok
orang-orang yang tidak memiliki kesanggupan ijtihad, yang merupakan kelompok
terbesar, mereka itulah yang disebut orang awam.[9]
Sejalan dengan QS. Al-Anbiya :
7.
“maka tanyakanlah olehmu
kepada orang-orang yang berilmu jika kamu tidak mengetahui”.
Perintah bertanya kepada orang
ahli yang bersifat umum ini mencakup perintah meminta fatwa kepada mufti. Maka Al Ghozali mewajibkan
orang awam meminta fatwa kepada mufti dan mengikuti pendapatnya.[10] Begitu juga ketika kehalalan suatu produk
tidak diketahui, maka wajib meminta fatwa halal sebagai jaminan kehalalanya
kepada yang mengetahui hukumnya.
- Prosedur dan Mekanisme Penetapan Fatwa Halal
1) MUI memberikan pembekalan pengetahuan
kepada para auditor LP POM tentang benda-benda haram menurut syari’at Islam.
Dengan arti kata para auditor harus mempunyai pengetahuan memadai tentang
benda-benda haram tersebut.
2)
Para auditor melakukan penelitian dan audit ke perusahaan yang meminta sertifikasi halal.
3) Bahan-bahan tersebut kemudian diperiksa di
laboratorium, terutama bahan-bahan yang dicurigai sebagai benda haram atau
mengandung haram untuk mendapat kepastian.
4) Pemeriksaan terhadap suatu perusahaan
tidak jarang dilakukan lebih dari satu kali, dan tidak jarang pula auditor
menyarankan bahkan mengharuskan agar mengganti suatu bahan yang dicurigai atau
diduga mengandung bahan haram dengan bahan yang diyakini kehalalannya atau
sudah bersertifikat halal dari MUI atau lembaga lain yang dipandang kompeten,
jika perusahaan tersebut tetap menginginkan mendapat sertifikat halal.
5) Hasil pemeriksaan audit LP POM tersebut
kemudian dituangkan dalam sebuah berita acara untuk diajukan ke komisi fatwa
MUI untuk disidangkan.
6) Dalam sidang komisi fatwa, LP POM
menyampaikan dan menjelaskan isi berita acara, dan kemudian dibahas secara
teliti dan mendalam oleh sidang komisi.
7) Suatu produk yang masih mengandung bahan
yang diragukan kehalalannya, atau terdapat bukti-bukti pembelian bahan produk
yang dipandang tidak transparan oleh sidang komisi, dikembalikan kepada LP POM
untuk diteliti atau diaudit ulang ke perusahaan bersangkutan.
8) Produk yang telah diyakini kehalalannya
oleh sidang komisi, diputuskanlah fatwa halalnya.
9) Hasil sidang komisi yang berupa fatwa
halal. Kemudian dilaporkan kepada Dewan Pimpinan MUI untuk di tanfizdkan dan
dikeluarkan surat keputuan fatwa halal dalam bentuk sertifikat halal.[11]
[1] Disampaikan pada
Pembinaan dan Sosialisasi Produk Halal pada P3N Se-Kec. Sulang 27 Agust 2012 Di
KUA Kec. Sulang
[2] Penulis adalah Penghulu Muda pada KUA
Kec. Sulang
[3] Thobib Al-Asyhar, 2003, h : 188 – 189.
[4] Laporan penelitian Muhyiddin, 2006, h :
3.
[5] Tanya Jawab Seputar Produksi Halal, 2003,
h : 8.
[6] Modul Pelatihan Auditor Halal, 2003, h : 62.
[7] Amir Syarifuddin, 1999, h : 429 – 430.
[8] Muhyiddin, 2006, h : 64.
[9] Badran Abu Al ‘Aynayn, 1984, h : 494.
[10] Abuhamid Muhammad bin Muhammad Al
Ghazali, tt, h : 389.
[11] Sistem dan Prosedur Penetapan Fatwa Produk Halal, 2003, h : 18 –
19.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar