Laman

Jumat, 20 Desember 2013

MAKNA SAKINAH


Istilah “sakinah” digunakan Al-Qur’an untuk menggambarkan kenyamanan keluarga. Istilah ini memiliki akar kata yang sama dengan “sakanun” yang berarti tempat tinggal. Jadi, mudah dipahami memang jika istilah itu digunakan Al-Qur’an untuk menyebut tempat berlabuhnya setiap anggota keluarga dalam suasana yang nyaman dan tenang, sehingga menjadi lahan subur untuk tumbuhnya cinta kasih (mawaddah wa rahmah) di antara sesama anggotanya.
Di Al-Qur’an ada ayat yang memuat kata “sakinah”. Pertama, surah Al-Baqarah ayat 248.

وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ آَيَةَ مُلْكِهِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ التَّابُوتُ فِيهِ سَكِينَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَبَقِيَّةٌ مِمَّا تَرَكَ آَلُ مُوسَى وَآَلُ هَارُونَ تَحْمِلُهُ الْمَلَائِكَةُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَةً لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِي

Dan Nabi mereka mengatakan kepada mereka: “Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja, ialah kembalinya tabut kepadamu, di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun; tabut itu dibawa oleh Malaikat.”
Tabut adalah peti tempat menyimpan Taurat yang membawa ketenangan bagi mereka. ayat di atas menyebut, di dalam peti tersebut terdapat ketenangan –yang dalam bahasa Al-Qur’an disebut sakinah. Jadi, menurut ayat itu sakinah adalah tempat yang tenang, nyaman, aman, kondusif bagi penyimpanan sesuatu, termasuk tempat tinggal yang tenang bagi manusia.
Kedua, al-sakinah disebut dalam surah Al-Fath ayat 4.
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ السَّكِينَةَ فِي قُلُوبِ الْمُؤْمِنِينَ لِيَزْدَادُوا إِيمَانًا مَعَ إِيمَانِهِمْ وَلِلَّهِ جُنُودُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا ح
Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Di ayat itu, kata sakinah diterjemahkan sebagai ketenangan yang sengaja Allah turunkan ke dalam hati orang-orang mukmin. Ketenangan ini merupakan suasana psikologis yang melekat pada setiap individu yang mampu melakukannya. Ketenangan adalah suasana batin yang hanya bisa diciptakan sendiri. Tidak ada jaminan seseorang dapat menciptakan suasana tenang bagi orang lain.
Jadi, kata “sakinah” yang digunakan untuk menyifati kata “keluarga” merupakan tata nilai yang seharusnya menjadi kekuatan penggerak dalam membangun tatanan keluarga yang dapat memberikan kenyamanan dunia sekaligus memberikan jaminan keselamatan akhirat. Rumah tangga seharusnya menjadi tempat yang tenang bagi setiap anggota keluarga. Keluarga menjadi tempat kembali ke mana pun anggotanya pergi. Mereka merasa nyaman di dalamnya, dan penuh percaya diri ketika berinteraksi dengan keluarga yang lainnya dalam masyarakat.
Dengan cara pandang itu, kita bisa pastikan bahwa akar kasus-kasus yang banyak melilit kehidupan keluarga di masyarakat kita adalah karena rumah sudah tidak lagi nyaman untuk dijadikan tempat kembali. Suami tidak lagi menemukan suasana nyaman di dalam rumah, demikian pula istri. Bahkan, anak-anak sekarang lebih mudah menemukan suasana nyaman di luar rumah. Maka, sakinah menjadi hajat kita semua. Sebab, sakinah adalah konsep keluarga yang dapat memberikan kenyamanan psikologis –meski kadang secara fisik tampak jauh di bawah standar nyaman.
Membangun Kenyamanan Keluarga
Kenyamanan dalam keluarga hanya dapat dibangun secara bersama-sama. Tidak bisa bertepuk sebelah tangan. Melalui proses panjang, setiap anggota keluarga saling menemukan kekurangan dan kelebihan masing-masing. Penemuan itulah yang harus menjadi ruang untuk saling mencari keseimbangan. Makanya, keluarga sekolah yang tiada batas waktu. Di sama terjadi proses pembelajaran secara terus menerus untuk menemukan formula yang lebih tepat bagi kedua belah pihak, baik suami-istri, maupun anak-orangtua.
Proses belajar itu akan mengungkap berbagai misteri keluarga. Lebih-lebih ketika kita akan belajar tentang baik-buruk kehidupan keluarga dan rumah tangga. Tidak banyak buku yang memberi solusi jitu atas problema keluarga. Sebab, ilmu membina keluarga lebih banyak diperoleh dari pengalaman. Maka tak heran jika keluarga sering diilustrasikan sebagai perahu yang berlayar melawan badai samudra. Kita dapat belajar dari pengalaman siapa pun. Pengalaman pribadi untuk tidak mengulangi kegagalan, atau juga pengalaman orang lain selama tidak merugikan pelaku pengalaman itu.
Masalah demi masalah yang dilalui dalam perjalanan sejak pertama kali menikah adalah pelajaran berharga. Kita dapat belajar dari pengalaman orang tentang memilih pasangan ideal, menelusuri kewajiban-kewajiban yang mengikat suami-istri, atau tentang penyelesaian masalah yang biasa dihadapi keluarga. Semuanya sulit kita dapat dari buku. Hanya kita temukan pada buku kehidupan. Bagaimana kita dapat memahami istri yang gemar buka rahasia, atau menghadapi suami yang berkemampuan seksual tidak biasa. Dan masih banyak lagi masalah keluarga yang seringkali sulit ditemukan jalan penyelesaiannya. Jadi, memang tepat jika rumah tangga itu diibaratkan perahu, sebab tak henti-hentinya menghadapi badai di tengah samudra luas kehidupan.
Rumah tangga juga dua sisi dari keping uang yang sama: bisa menjadi tambang derita yang menyengsarakan, sekaligus menjadi taman surga yang mencerahkan. Kedua sisi itu rapat berhimpitan satu sama lain. Sisi yang satu datang pada waktu tertentu, sedang sisi lainnya datang menyusul kemudian. Yang satu membawa petaka, yang lainnya mengajak tertawa. Tentu saja, siapa pun berharap rumah tangga yang dijalani adalah rumah tangga yang memancarkan pantulan cinta kasih dari setiap sudutnya. Rumah tangga yang benar-benar menghadirkan atmosfir surga: keindahan, kedamaian, dan keagungan. Ini adalah rumah tangga dengan seorang nakhoda yang pandai menyiasati perubahan.
Rumah menjadi panggung yang menyenangkan untuk sebuah pentas cinta kasih yang diperankan oleh setiap penghuninya. Rumah juga menjadi tempat sentral kembalinya setiap anggota keluarga setelah melalui pengembaraan panjang di tempat mengadu nasibnya masing-masing. Hanya ada satu tempat kembali, baik bagi anak, ibu, maupun bapak, yaitu rumah yang mereka rasakan sebagai surga. Bayangkan, setiap hari jatuh cinta. Anak selalu merindukan orang tua, demikian pula sebaliknya. Betapa indahnya taman rumah tangga itu. Sebab, yang ada hanya cinta dan kebaikan. Kebaikan inilah yang sejatinya menjadi pakaian sehari-hari keluarga. Dengan pakaian ini pula rumah tangga akan melaju menempuh badai sebesar apapun. Betapa indahnya kehidupan ketika ia hanya berwajah kebaikan. Betapa bahagianya keluarga ketika ia hanya berwajah kebahagiaan.
Tetapi, kehidupan rumah tangga acapkali menghadirkan hal yang sebaliknya. Bukan kebaikan yang datang berkunjung, melainkan malapetaka yang kerap merundung. Suami menjadi bahan gunjingan istri, demikian pula sebaliknya. Anak tidak lagi merindukan orang tua, dan orang tua pun tidak lagi peduli akan masa depan anaknya. Bila sudah demikian halnya, bukan surga lagi yang datang, melainkan neraka yang siap untuk membakar. Benar, orang tua tidak punya hak membesarkan jiwa anak-anaknya, dan mereka hanya boleh membesarkan raganya. Tapi raga adalah cermin keharmonisan komunikasi yang akan berpengaruh pada masa depan jiwa dan kepribadian mereka.
Lunturnya Semangat Sakinah
Membangun sakinah dalam keluarga, memang tidak mudah. Ia merupakan bentangan proses yang sering menemui badai. Untuk menemukan formulanya pun bukan hal yang sederhana. Kasus-kasus keluarga yang terjadi di sekitar kita dapat menjadi pelajaran penting dan menjadi motif bagi kita untuk berusaha keras mewujudkan indahnya keluarga sakinah di rumah kita.
Ketika seseorang tersedu mengeluhkan sepenggal kalimat, “Suami saya akhir-akhir ini jarang pulang”, tidak sulit kita cerna maksud utama kalimatnya. Sebab, kita menemukan banyak kasus yang hampir sama, atau bahkan persis sama, dengan kasus yang menimpa wanita pengungkap penggalan kalimat tadi.
Penggalan kalimat di atas bukan satu-satunya masalah yang banyak dikeluhkan istri. Masih banyak. Tapi kalau ditelusuri akar masalahnya sama: “tidak tahan menghadapi godaan”. Godaan itu bisa datang kepada suami, bisa juga menggedor jagat batin istri. Karena godaan itu pula, siapa pun bisa membuat seribu satu alasan. Ada yang mengatakannya sudah tidak harmonis, tidak bisa saling memahami, ingin mendapat keturunan, atau tidak pernah cinta.
Payahnya, semakin hari godaan akibat pergeseran nilai sosial semakin menggelombang dan menghantam. Sementara, ketahanan keluarga semakin rapuh karena ketidakpastian pegangan. Maka, kita dapati kasus-kasus di mana seorang ibu kehilangan kepercayaan anak dan suaminya. Seorang bapak yang tidak lagi berwibawa di hadapan anak dan istrinya. Anak yang lebih erat dengan ikatan komunitas sebayanya. Bapak berebut otoritas dalam keluarga dengan istrinya, serta istri yang tidak berhenti memperjuangkan hak kesetaraan di hadapan suami. Semua punya argumentasi untuk membenarkan posisinya. Semua tidak merasa ada yang salah dengan semua kenyataan yang semakin memprihatinkan itu.
Tapi benarkah perubahan zaman menjadi sebab utama terjadinya pergeseran nilai dalam rumah tangga? Lalu, mengapa keluarga kita tidak lagi sanggup bertahan dengan norma-norma dan jati diri keluarga kita yang asli? Bukankah orang tua-orang tua kita telah membuktikan bahwa norma-norma yang mereka anut telah berhasil mengantarkan mereka membentuk keluarga normal dan berbudaya, bahkan berhasil membentuk diri kita yang seperti sekarang ini? Lantas, kenapa kita harus larut dengan segala riuh-gelisah perubahan zaman yang kadang membingungkan?
Transformasi budaya memang tidak mudah, bahkan tidak mungkin, kita hindari. Arusnya deras masuk ke rumah kita lewat media informasi dan komunikasi. Kini, setiap sajian budaya yang kita konsumsi dari waktu ke waktu, diam-diam telah menjadi standar nilai masyarakat kita. Ukuran baik-buruk tidak lagi bersumber pada moralitas universal yang berlandaskan agama, tapi lebih banyak ditentukan oleh nilai-nilai artifisial yang dibentuk untuk tujuan pragmatis dan bahkan hedonis. Tanpa kita sadari, nilai-nilai itu kini telah membentuk perilaku sosial dan menjadi anutan keluarga dan masyarakat kita. Banyak problema keluarga yang muncul di sekitar kita umumnya menggambarkan kegelisahan yang diwarnai oleh semakin lunturnya nilai-nilai agama dan budaya masyarakat. Masyarakat kini seolah telah berubah menjadi “masyarakat baru” dengan wujud yang semakin kabur.
Gaya hidup remaja yang berujung pada fenomena MBA (married by accident) telah jadi model terbaru yang digemari banyak pasangan. Pernikahan yang dianjurkan Nabi menjadi jalan terakhir setelah menemukan jalan buntu. Sementara perceraian yang dibenci Nabi justru menjadi pilihan yang banyak ditempuh untuk menemukan solusi singkat. Kenyataan ini merupakan bagian kecil dari proses modernisasi kehidupan yang berlangsung tanpa kendali etika. Akibatnya, struktur fungsi yang sejatinya diperankan oleh masing-masing anggota keluarga tampak semakin kabur.
Seorang anak kehilangan pegangan. Ibu-bapaknya terlalu sibuk untuk sekadar menyapa anak-anaknya. Anak pun dewasa dengan harus menemukan jalan hidupnya sendiri. Mencari sendiri ke mana harus memperoleh pengetahuan, dan harus mendiskusikan sendiri siapa calon pendampingnya. Semuanya berjalan sendiri-sendiri. Padahal, jika sendi-sendi keluarga itu telah kehilangan daya perekatnya dan masing-masing telah menemukan jalan hidupnya yang berbeda-beda, maka bangunan “baiti jannati”, rumahku adalah surgaku, akan semakin menjauh dari kenyataan. Itu menjadi mimpi yang semakin sulit terwujud. Bahkan, menjadi mimpi yang tidak pernah terpikirkan. Yang ada hanyalah “neraka” yang tidak henti-hentinya membakar suasana rumah tangga.
Satu lagi yang sering menjadi akar bencana keluarga, yaitu anak. Dunia anak adalah dunia yang lebih banyak diwarnai oleh proses pencarian untuk menemukan apa-apa yang menurut perasaan dan pikirannya ideal. Dunia ideal sendiri, baginya, adalah dunia yang ada di depan matanya, yang karenanya ia akan melakukan pengejaran atas dasar kehendak pribadi. Akan tetapi, di sisi lain, perkembangan psikologis yang sedang dilaluinya juga masih belum mampu memberikan alternatif secara matang terutama berkaitan dengan standar nilai yang dikehendakinya. Karena itu, selama proses yang dilaluinya, hampir selalu ditemukan berbagai perubahan sesuai dengan tuntutan lingkungan tempat di mana anak itu berkembang. Di sinilah proses bimbingan itu diperlukan, terutama dalam ikut menemukan apa yang sesungguhnya mereka butuhkan.
Guru di sekolah ataupun orang tua di rumah, secara tidak sadar, seringkali menjadi sosok yang begitu dominan dalam menentukan masa depan anak. Padahal, guru ataupun orang tua bukanlah segala-galanya bagi perkembangan dan masa depan anak. Proses pendidikan, dengan demikian, pada dasarnya merupakan proses bimbingan yang memerdekakan sekaligus mencerahkan. Proses seperti itu berlangsung alamiah dalam kehidupan yang bebas dari ikatan-ikatan yang justru tidak mendidik. Dalam kerangka seperti inilah, maka keluarga bisa berperan sebagai lembaga yang membimbing dan mencerahkan, atau juga sebaliknya. Jika tidak tepat memainkan peran yang sesungguhnya, bisa saja berfungsi sebagai penjara yang hanya mampu menanamkan disiplin semu. Anak-anak bisa menjadi manusia yang paling shalih di rumah, tetapi menjadi binatang liar ketika keluar dari dinding-dinding rumah dan terbebas dari pengawasan orang tua.
Dalam situasi seperti inilah, anak mulai mencari kesempatan untuk memenuhi kebuntuan komunikasi yang dirasakannya semakin kering dan terbatas. Sebab berkomunikasi untuk saling menyambungkan rasa antar anggota keluarga merupakan kebutuhan dasar yang menuntut untuk selalu dipenuhi. Konsekuensinya, ketidaktersediaan aspek ini dalam keluarga dapat berakibat pada munculnya ketidakseimbangan psikologi yang pada gilirannya dapat saja mengakibatkan terjadinya penyimpangan-penyimpangan sosial seperti apa yang terjadi di masyarakat sekitar kita. Inilah di antara kerusakan akibat lunturnya atmosfir sakinah dalam keluarga.

MEMBENTUK KELUARGA SAKINAH WA RAHMAH


Memasuki dunia baru bagi pasangan baru, atau lebih dikenal dengan pengantin baru memang merupakan suatu yang membahagiakan. Tetapi bukan berarti tanpa kesulitan. Dari pertama kali melangkah ke pelaminan, semuanya sudah akan terasa lain. Lepas dari ketergantungan terhadap orang tua, teman, saudara, untuk kemudian mencoba hidup bersama orang – yang mungkin – belum pernah kenal sebelumnya. Semua ini memerlukan persiapan khusus (walaupun sebelumnya sudah kenal), agar tidak terjebak dalam sebuah dilema rumah tangga yang dapat mendatangkan penyesalan di kemudian hari. Diantara persiapan yang harus dilakukan oleh pasangan baru yang akan mengarungi bahtera rumah tangga:
Persiapan mental.
Perpindahan dari dunia remaja memasuki fase dewasa – di bawah naungan perkawinan – akan sangat berpengaruh terhadap psikologis, sehingga diperlukan persiapan mental dalam menyandang jabatan baru, sebagai ibu rumah tangga atau kepala rumah tangga. Kalaupun sekarang anda telah terlanjur menyandang predikat tersebut sebelum anda sempat berpikir sebelumnya, anda belum terlambat. Anda bisa memulainya dari sekarang, menyiapkan mental anda lewat buku-buku bacaan tentang cara-cara berumah tangga, atau anda dapat belajar dari orang-orang terdekat, yang dapat memberikan nasehat bagi rumah tangga anda
Mengenali Pasangan.
Kalau dulu orang dekat anda adalah ibu, teman, atau saudara anda yang telah anda kenal sejak kecil, tetapi sekarang orang yang nomor satu bagi anda adalah pasangan anda. Walaupun pasangan anda adalah orang yang telah anda kenal sebelumnya, katakanlah dalam masa pacaran, tetapi hal ini belumlah menjamin bahwa anda telah benar-benar mengenal kepribadiannya. Keadaannya lain. Masa pacaran dengan lingkungan rumah tangga jauh berbeda. Apalagi jika pasangan anda adalah orang yang belum pernah anda kenal sebelumnya. Disini perlu adanya penyesuaian-penyesuaian. Anda harus mengenal lebih jauh bagi pasangan anda, segala kekurangan dan kelebihannya, untuk kemudian anda pahami bagaimana sebaiknya anda bersikap, tanpa harus mempersoalkan semuanya. Karena sesungguhnya anda bersama pasangan anda hidup dalam rumah tangga untuk saling melengkapi satu dengan yang lainnya, sehingga tercipta keharmonisan.
Menyusun agenda Kegiatan.
Kesibukan anda sebagai ibu rumah tangga atau kepala rumah tangga tentunya akan lebih banyak menyita waktu di banding ketika anda masih sendiri. Hari-hari kemarin bisa saja anda mengikuti segala macam kegiatan yang anda sukai kapan saja anda mau. Persoalannya sekarang adalah anda tidak sendiri, kehadiran pasangan anda disamping anda tidak boleh anda abaikan. Tetapi anda tak perlu menarik diri dari aktifitas atau kegiatan yang anda butuhkan. Anda dapat membuat agenda untuk efektifitas kerja, anda pilah, dan anda pilih kegiatan apa yang sekiranya dapat anda ikuti sesuai dengan waktu yang anda miliki dengan tanpa mengganggu tugas anda sebagai ibu rumah tangga atau kepala rumah tangga.
Mempelajari kesenangan pasangan.
Perhatian-perhatian kecil akan mempunyai nilai tersendiri bagi pasangan anda, apalagi di awal perkawinan anda. Anda dapat melakukannya dengan mempelajari kesenangan pasangan anda, mulai dari selera makan, kebiasaan, hobi yang tersimpan dan lainnya. Tidak menjadi masalah jika ternyata apa yang disenanginya tidak anda senangi. Anda bisa mempersiapkan kopi dan makanan kesukaannya disaat pasangan anda yang punya hobi membaca sedang membuka-buka buku. Atau anda bisa sekali-kali menyisihkan waktu untuk sekedar mengantar pasangan anda berbelanja, untuk menyenangkan hatinya. Atau kalau mungkin anda bisa memadukan hobi anda yang ternyata sama, dengan demikian anda telah memasang saham kasih sayang di hati pasangan anda sebagai kesan pertama, karena kesan pertama akan selalu diingatnya. Kesan pertama begitu menggoda, selanjutnya terserah anda (kayak iklan saja). Dan anda bisa menjadikannya sebagai kebiasaan yang istimewa dalam rumah tangga anda.
Adaptasi lingkungan.
Lingkungan keluarga, famili dan masyarakat baru sudah pasti akan anda hadapi. Anda harus bisa membawa diri untuk masuk dalam kebiasaan-kebiasaan (adat) yang ada di dalamnya. Kalau anda siap menerima kehadiran pasangan anda, berarti pula anda harus siap menerimanya bersama keluarga dan masyarakat disekitarnya. Awalnya mungkin anda akan merasa asing, kaku, tapi semuanya akan terbiasa jika anda mau membuka diri untuk bergaul dengan mereka, mengikuti adat yang ada, walaupun anda kurang menyukainya. Sehingga akan terjalin keakraban antara anda dengan keluarga, famili dan lingkungan masyarakat yang baru. Karena hakekat pernikahan bukan perkawinan antara anda dan pasangan anda, tetapi, lebih luas lagi antara keluarga anda dan keluarga pasangan anda, antara desa anda dengan desa pasangan anda, antara bahasa anda dengan bahasa pasangan anda, antara kebiasaan (adat) anda dengan kebiasaan pasangan anda. Dst.
Menanamkan rasa saling percaya.
Tidak salah jika suatu saat anda merasa curiga dan cemburu. Tetapi harus anda ingat, faktor apa yang membuat anda cemburu dan seberapa besar porsinya. Tidak lucu jika anda melakukannya hanya dengan berdasar perasaan. Hal itu boleh saja untuk sekedar mengungkapkan rasa cinta, tetapi tidak baik juga kalau terlalu berlebihan. Sebaiknya anda menanamkan sikap saling percaya, sehingga anda akan merasa tenang, tidak diperbudak oleh perasaan sendiri. Yakinkan, bahwa pasangan anda adalah orang terbaik yang anda kenal, yang sangat anda cintai dan buktikan juga bahwa anda sangat membutuhkan kehadirannya, kemudian bersikaplah secara terbuka.
Musyawarah.
Persoalan-persoalan yang timbul dalam rumah tangga harus dihadapi secara dewasa. Upayakan dalam memecahkan persoalan anda mengajak pasangan anda untuk bermusyawarah. Demikian juga dalam mengatur perencanaan-perencanaan dalam rumah tangga, sekecil apapun masalah yang anda hadapi, semudah apapun rencana yang anda susun. Anda bisa memilih waktu-waktu yang tepat untuk saling tukar pikiran, bisa di saat santai, nonton atau dimana saja sekiranya pasangan anda sedang dalam keadaan bugar.
Menciptakan suasana Islami.
Suasana Islami ini bisa anda bentuk melalui penataan ruang, gerak, tingkah laku keseharian anda dan lain-lain. Sholat berjama’ah bersama pasangan anda, ngaji bersama (tidak perlu setiap waktu, cukup habis maghrib atau shubuh), mendatangi majlis ta’lim bersama dan memnbuat kegiatan yang Islami dalam rumah tangga anda. Hal ini akan menambah eratnya ikatan bathin antara anda dan pasangan anda. Dari sini akan terbentuk suasana Islami, Sakinah, Mawaddah wa Rahmah. Insya’allah. (assyarif/mus)
Kita saat ini ada di tengah arus deras pergeseran nilai sosial dalam masyarakat kita. Pergeseran nilai sosial tampak pada kecenderungan makin permisifnya keluarga-keluarga di masyarakat kita. Keluarga tidak lagi dilihat sebagai ikatan spiritual yang menjadi medium ibadah kepada Sang Pencipta. Kawin-cerai hanya dilihat sebatas proses formal sebagai kontrak sosial antara dua insan yang berbeda jenis. Perkawinan kehilangan makna sakral dimana Allah menjadi saksi atas ijab-kabul yang terjadi.
Ini bertolak belakang dengan adagium yang menyatakan keluarga adalah garda terdepan dalam membangun masa depan bangsa peradaban dunia. Dari rahim keluarga lahir berbagai gagasan perubahan dalam menata tatanan masyarakat yang lebih baik. Tidak ada satu bangsa pun yang maju dalam kondisi sosial keluarga yang kering spiritual, atau bahkan sama sekali sudah tidak lagi mengindahkan makna religiusitas dalam hidupnya. Karena itu, Al-Qur’an memuat ajaran tentang keluarga begitu komprehensif, mulai dari urusan komunikasi antar individu dalam keluarga hingga relasi sosial antar keluarga dalam masyarakat.
Banyak memang problema yang biasa dihadapi keluarga. Tidak sedikit keluarga yang menyerah atas “derita” yang sebetulnya diciptakannya sendiri. Di antaranya memilih perceraian sebagai penyelesaian. Kasus-kasus faktual tentang itu ada semua di masyarakat kita. Dan, masih banyak lagi kegelisahan yang melilit keluarga-keluarga di masyarakat kita. Namun, umumnya kegelisahan itu diakibatkan oleh menurunnya kemampuan mereka menemukan alternatif ketika menghadapi masalah yang tidak dikehendaki. Karena itu, menjadi penting bagi kita untuk mencari kunci yang bisa mengokohkan bangun keluarga kita dari hempasan arus zaman yang serba menggelisahkan. Dan, kata kunci itu adalah sakinah.

KHITBAH DAN NIKAH



KHITBAH/PEMINANGAN
Sabar dalam penantian
Merindukan pendamping hidup adalah fitrah setiap insan. Wanita, sebagai makhluk Allah SWT yang cenderung ingin diayomi atau dilindungi, tentu wajar berharap pula akan kehadiran seorang ikhwan dalam hidupnya. Dan saat menanti adalah ujian berat bagi seorang gadis. Sebagai bunga yang sedang mekar atau yang mungkin telah mekar sekian lama, seringkali ia terlena dengan tawaran manis si kumbang yang datang mempesonanya. Sayang, kebanyakan kumbang–kumbang itu sekedar ingin menggoda saja. Malah ada pula yang sekedar ingin menghisap madunya tanpa mau bertanggung jawab. Na’udzubillah! Begitulah fakta di masa kini.
Realita fitnah syahwat yang terjadi di mana–mana hingga banyak wanita kehilangan kehormatannya. Karena itu, setiap gadis muslimah hendaknya pandai–pandai menjaga diri dan selalu berhati–hati, jangan sampai tertipu. Lalu, apa yang sebaiknya dilakukan oleh seorang gadis muslimah dalam penantian?
Memperbanyak amal ibadah
Seorang muslimah dalam masa penantian hendaknya semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT. Pendekatan diri kepada Allah SWT dengan memperbanyak amal ibadah, khususnya ibadah sunnah. Karena ia bisa menjadi perisai diri dari berbagai godaan.
Do’a dan tawakal
Rezeki, maut, termasuk jodoh manusia sudah diatur oleh Allah SWT, dan Dia maha mengetahui yang terbaik bagi hambaNya, yang bisa kita lakukan adalah berikhtiar dan berdoa, kemudian bertawakal kepadaNya. Hanya kepada Allah SWT kita berserah diri dan mohon pertolongan. Berdoalah agar segera dikaruniai jodoh yang shalih, yang baik agamanya, dan bisa membawa kebahagiaan bagi kita di dunia dan akhirat. Yakinlah Allah SWT akan memberikan yang terbaik. Bukankah Dia akan mengikuti persangkaan hambaNya? Karena itu jangan pernah berburuk sangka terhadap Allah SWT.
Mempersiapkan diri, membekali diri dengan ilmu
Bekali diri dengan ilmu, khususnya ilmu agama, terutama yang berkaitan dengan kerumah tanggaan. Lalu, bekali diri dengan keterampilan berumah tangga. Seorang suami tentu saja akan senang bila istrinya terampil dan cekatan. Terakhir, persiapkan diri menjadi istri shalihah dan sebaik–baik perhiasan bagi suami. Jangan lupa untuk merawat diri agar selalu tampil cantik dan segar. Tapi ingat, kecantikan itu tidak untuk diumbar sembarangan, persembahkan hanya untuk suami tercinta kelak.
Kepada para ikhwan
Bagi para pemuda, ketahuilah sesungguhnya telah banyak pemudi yang siap untuk mengarungi bahtera pernikahan. Mereka menunggu pinanganmu. Mereka menunggu keberanianmu. Tunggu apalagi jika engkau pun sudah siap menikah dan merindukan seorang istri? Ayolah, jangan ikhlaskan wanita–wanita shalihah itu dinikahkan dengan laki – laki yang tak baik agamanya. Ingat bahwa Allah SWT akan menolong seorang pemuda yang berniat menikah demi menyelamatkan agamanya. Karena itu, bersegeralah mencari pendamping yang bisa membantumu bertaqwa kepada Allah SWT.

Khitbah, kata bahasa arab yang berarti peenyataan akan keinginan seorang pria menikahi seorang wanita tertentu yang kemudian dijawab oleh wanita tersebut atau keluarganya. Masyarakat Indonesia mengenalnya dengan istilah lamaran, tunangan dan pinangan
Pernyataan tersebut bias dilakukan oleh pelamar sendiri atau melalui perwakilannya dengan menggunakan redaksi bersifat langsung atau tidak langsng tetapi dipahami oleh pihak wanita yang hendak dilamar.
Terlepas dari adapt yang melingkupi tindakan tersebut, penerimaan terhadap lamaran yang diajukan akan menutup pintu bagi lamaran pria muslim lainnya atas wanita tersebut. Konsekuensi tersebut disabdakan sendiri oleh Nabi Muhammad SAW dalam sebuah hadits:
‘… dan janganlah kamu meminang pinangan saudaramu..” (HR ahmad dan muslim dari Ibnu Umar).
Walaupun demikian, ikatan ini bukan berarti kedua calon mempelai pria dan wanita tersebut telah menikah, dan tidak berarti pula keduanya sudah “halal” dan bebas melakukan apa saja sebab keduanya masih terikat larangan syar’i terkait dengan pergaulan pria dan wanita serta belum terbebani kewajban dan hak sebagai pasangan suami istri.

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.
Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata." (Al Ahzab: 36).

NIKAH
Secara bahasa, kata nikah dalam bahasa arab yang merupakan bahasa aslinya berarti bersatu, atau berkumpul. Sedangkan secara terminology hokum islam, walaupun diuraikan dalam beragam redaksi oleh para pakar hokum, tetapi semua redaksi tersbeut mengarah pada satu hal yaitu akad yang memberikan legalitas kepada pria dan wanita untk melakukan hubungan suami istri. Dan konsekuensi hokum bagi mereka yang terikat didalamnya adalah : sejak akad nikah tersbeut dinayatakan sah, maka sejak itu berlaku pula hak dan kewajiban sebagai sepasang suami istri, serta orang tua bagi anak keturunan mereka kelak.
Mayoritas madzhab fiqh menetapkan rukun nikah alah adanya calon mempelai perempuan, calonmempelai laki-laki, wali nikah dan ijab qabul, sedangkan syaratnya adalah adanya dua orang saksi yang adil dan mahar (maskawin).
Khususnya di Indonesia, terdapat istilah “nikah siri”. Istilah ini dipergunakan untuk menyebut perniakahan yang dilakukan dengan syarat dan rkun yang lengkap menurut syariat tapi dilakkan secara diam-diam tanpa kehadiran undanagn atau tidak dicatatkan karena alas an-alasan tertentu (nikah bawah tangan). Sebagian ulama menyatakan pernikahan model ini sah secara hokum islam tetapi para pelajkuunya dianggap melakukan perbuatan dosa karena telah menghadirkan potensi kemudaharatn hokum bagi wanita dan anak yang lahir dari hubungan tersbeut. Nikah siri ini menurut hokum positif disebut dengan nikah bawah tangan.


Adzan untuk Bayi yang Baru Dilahirkan




Anak merupakan karunia yang diberikan Allah SWT kepada sebuah keluarga. Namun anak juga merupakan amanah yang mesti dijaga, dirawat serta dididik oleh kedua orang tuanya. Mendidik anak sudah harus dimulai sebelum anak itu lahir kedunia, tidak hanya dilakukan setelah ia besar.

Salah satu bentuk pendidikan terhadap anak yang sering dilakukan dalam tradisi masyarakat kita adalah membacakan adzan dan iqamah ketika anak tersebut baru saja dilahirkan. Bagaimana hukumnya melakukan hal tersebut? Apakah pernah diajarkan Rasulullah SAW?

Para ulama sepakat bahwa sunnah hukumnya mengumandangkan adzan dan iqamah pada saat seorang bayi terlahir ke dunia.

Dalam Al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, juz I, hal 61 dinyatakan bahwa adzan juga disunnahkan untuk perkara selain shalat. Di antaranya adalah adzan di telinga anak yang baru dilahirkan. Seperti halnya sunnnah untuk melakukan iqamah di telinga kirinya.

Kesunnahan ini dapat diketahui dari sabda Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Abi Rafi’ :

عَنْ أبِي رَافِعٍ أنَّهُ قَالَ, رَأيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أذَّنَ فِيْ أذُنِ الحُسَيْنِ حِيْنَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ بِالصَّلاَةِ --سنن أبي داود

Dari Ubaidillah bin Abi Rafi’ ia berkata: Aku melihat Rasulullah SAW mengumandangkan Adzan di telinga Husain ketika siti fatimah melahirkannya. (Yakni) dengan Adzan shalat. (HR Abi Dawud).

Lalu tentang fadhilah dan keutamaannya, Sayyid Alawi al-Maliki dalam Majmu’ Fatawa wa Rasa’il menyatakan bahwa mengumandangkan adzan di telinga kanan dan iqamah di telinga kiri hukumnya sunnah. Para ulama telah mengamalkan hal tersebut tanpa seorangpun mengingkarinya.

Sayyid Alawi menyatakan, perbuatan itu ada relevansinya untuk mengusir syaitan dari anak yang baru lahir tersebut. Karena syaitan akan lari terbirit-birit ketika mereka mendengar adzan sebagai mana yang keterangan yang ada dalam hadits.

Dengan demikian jelaslah hukun dan fungsi mengumandangkan adzan dan iqamah untuk anak yang bari lahir.


FATWA HALAL SEBAGAI DASAR HUKUM JAMINAN HALAL


[1]


  1. Latar Belakang Masalah
a.    Dalam sebuah hadis populer yang diriwayatkan Imam Muslim dinyatakan bahwa yang halal itu sudah jelas, dan yang haram juga sudah jelas, sedangkan diantara keduanya terdapat samar-samar (Syubhat). Kita Menduga dengan kuat bahwa makanan dan minuman olahan yang beredar dan dikonsumsi masyarakat itu termasuk yang syubhat. Maka memerlukan adanya fatwa halal sebagai jaminan kehalalan.
b.    Ketika kita menyaksikan dan merasa prihatin akan maraknya kejahatan dan angkara murka, maka ada asumsi yang menyatakan adanya korelasi antara maraknya kejahatan itu dengan faktor keharaman mengkonsumsi makanan dan minuman. Patut diduga makanan haram akan mendorong perilaku yang diharamkan pula.[3]
c.    Berdasarkan pengamatan, sesungguhnya umat islam Indonesia cukup fanatik dan berkomitmen untuk menjauhi konsumsi barang haram, tetapi tidak mempunyai tradisi kritis untuk meneliti kehalalan makanan dan minuman yang dikonsumsi. Kasus-kasus bumbu masak Ajinomoto dan sabun mandi yang mengandung lemak babi, menjadi bukti bahwa begitu isu tersebut merebak, umat Islam langsung bereaksi menjauh.[4]
  1. Urgensi Makanan & Minuman Halal
a. Dasar Hukum
   - QS. Al-Baqarah : 168
   - QS. Al-Ma’idah : 88
   - H.R. Ibn Mas’ud
b. Tujuan Sertifikasi halal
Dengan sertifikasi halal, maka tujuan dasarnya ialah (1) memberikan perlindungan dan kepastian hukum pada konsumen muslim, (2) dapat menguntungkan produsen dengan meningkatakan daya saing dan omset produksi dan penjualan, dan (3) meningkatkan pendapatan nasional yang menguntungkan pemerintah dengan mendapatkan tambahan pemasukan kas Negara. Dengan demikian misi yang dituju oleh sertifikasi halal adalah (1) meningkatkan kesadaran pelaku usaha untuk memproduksi halal, (2) meningkatkan kesadaran umat islam untuk mengkonsumsi halal, (3) menjadikan halalan toyyiba untuk menciptakan keunggulan kompetisi ditingkat regional maupun global, dan (4) mendorong pemerintah mendukung sistim produksi halal.[5]
c. Jaminan halal, Tanggung jawab siapa?
Melihat dari segi kewajiban konsumsi halal atau menjauhi yang haram adalah kewajiban individu setiap umat islam, maka jaminan halal pada awalnya merupakan kewajiban individu setiap muslim. Kemudian karena menyangkut kehidupan umum dalam masyarakat, maka menjadi kewajiban kolektif para pemimpin agama atau ulama. Sedangkan Negara Indonesia sebagai Negara yang wajib memberikan jaminan pelaksanaan ajaran agama kepada pemeluknya, maka jaminan halal pada ujungnya menjadi kewajiban pemerintah.[6]
  1. Fatwa Halal
    1. Arti Fatwa
Fatwa dapat didefinisikan sebagai usaha memberikan penjelasan hukum syara’ oleh ahlinya kepada orang yang belum mengetahuinya. Aktivitas itu dilakukan oleh mufti untuk memberikan jawaban kepada si penanya atau mustafti, sedangkan produknya disebut fatwa.[7] Pada hakekatnya fatwa merupakan putusan hukum para ulama terhadap persoalan hidup yang praktis dan aktual.[8] Dengan demikian fatwa halal berarti putusan hukum tersebut mengenai kehalalan suatu produk. 
    1. Otoritas Fatwa
Fatwa tidak mungkin dilakukan kecuali oleh mufti, sedangkan mufti adalah ulama yang memiliki kemampuan khusus bahkan ada yang mensyaratkan harus mujtahid. Mufti pada dasarnya bisa dalam bentuk perorangan dan bisa dalam bentuk lembaga, tetapi dalam prakteknya pemberian fatwa di Indonesia cenderung oleh lembaga. Adapun lembaga yang dikenal sebagai lembaga pemberi fatwa ialah seperti Majelis Tarjih Muhammadiyah, Bahts Al-Masa’il Syuriyah NU, komisi fatwa MUI, Dewan Hisbah Persis dsb.
    1. Kebutuhan Umat Pada Fatwa
Manusia bila dihubungkan dengan kemampuan atau kesanggupannya memahami hukum syara’ berupa ayat Al-Quran dan sunnah Nabi terbagi menjadi dua kelompok. Pertama, kelompok orang-orang yang memiliki kesanggupan ijtihad, merekalah yang disebut mujtahidin. Kedua, kelompok orang-orang yang tidak memiliki kesanggupan ijtihad, yang merupakan kelompok terbesar, mereka itulah yang disebut orang awam.[9]
Sejalan dengan QS. Al-Anbiya : 7.
“maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu jika kamu tidak mengetahui”.
Perintah bertanya kepada orang ahli yang bersifat umum ini mencakup perintah meminta fatwa  kepada mufti. Maka Al Ghozali mewajibkan orang awam meminta fatwa kepada mufti dan mengikuti pendapatnya.[10] Begitu juga ketika kehalalan suatu produk tidak diketahui, maka wajib meminta fatwa halal sebagai jaminan kehalalanya kepada yang mengetahui hukumnya.
    1. Prosedur dan Mekanisme Penetapan Fatwa Halal
1)      MUI memberikan pembekalan pengetahuan kepada para auditor LP POM tentang benda-benda haram menurut syari’at Islam. Dengan arti kata para auditor harus mempunyai pengetahuan memadai tentang benda-benda haram tersebut.
2)      Para auditor melakukan penelitian dan audit  ke perusahaan yang meminta sertifikasi halal.
3)      Bahan-bahan tersebut kemudian diperiksa di laboratorium, terutama bahan-bahan yang dicurigai sebagai benda haram atau mengandung haram untuk mendapat kepastian.
4)      Pemeriksaan terhadap suatu perusahaan tidak jarang dilakukan lebih dari satu kali, dan tidak jarang pula auditor menyarankan bahkan mengharuskan agar mengganti suatu bahan yang dicurigai atau diduga mengandung bahan haram dengan bahan yang diyakini kehalalannya atau sudah bersertifikat halal dari MUI atau lembaga lain yang dipandang kompeten, jika perusahaan tersebut tetap menginginkan mendapat sertifikat halal.
5)      Hasil pemeriksaan audit LP POM tersebut kemudian dituangkan dalam sebuah berita acara untuk diajukan ke komisi fatwa MUI untuk disidangkan.
6)      Dalam sidang komisi fatwa, LP POM menyampaikan dan menjelaskan isi berita acara, dan kemudian dibahas secara teliti dan mendalam oleh sidang komisi.
7)      Suatu produk yang masih mengandung bahan yang diragukan kehalalannya, atau terdapat bukti-bukti pembelian bahan produk yang dipandang tidak transparan oleh sidang komisi, dikembalikan kepada LP POM untuk diteliti atau diaudit ulang ke perusahaan bersangkutan.
8)      Produk yang telah diyakini kehalalannya oleh sidang komisi, diputuskanlah fatwa halalnya.
9)      Hasil sidang komisi yang berupa fatwa halal. Kemudian dilaporkan kepada Dewan Pimpinan MUI untuk di tanfizdkan dan dikeluarkan surat keputuan fatwa halal dalam bentuk sertifikat halal.[11]


[1] Disampaikan pada Pembinaan dan Sosialisasi Produk Halal pada P3N Se-Kec. Sulang 27 Agust 2012 Di KUA Kec. Sulang
[2] Penulis adalah Penghulu Muda pada KUA Kec. Sulang
[3] Thobib Al-Asyhar, 2003, h : 188 – 189.
[4] Laporan penelitian Muhyiddin, 2006, h : 3.
[5] Tanya Jawab Seputar Produksi Halal, 2003, h : 8.
[6] Modul Pelatihan Auditor Halal, 2003, h : 62.
[7] Amir Syarifuddin, 1999, h : 429 – 430.
[8] Muhyiddin, 2006, h : 64.
[9] Badran Abu Al ‘Aynayn, 1984, h : 494.
[10] Abuhamid Muhammad bin Muhammad Al Ghazali, tt, h : 389.
[11] Sistem dan Prosedur Penetapan Fatwa Produk Halal, 2003, h : 18 – 19.