Selasa, 26 November 2013
TAQWA PADA ALLAH
A. MAKNA TAQWA
Para ulama telah menjelaskan apa yang dimaksud dengan taqwa. Di antaranya, Imam Ar-Raghib Al-Ashfahani mendefinisikan: "Taqwa yaitu menjaga jiwa dari perbuatan yang membuatnya berdosa, dan itu dengan meninggalkan apa yang dilarang, menjadi sempurna dengan meninggalkan sebagian yang dihalalkan".
Sedangkan Imam An-Nawawi mendefinisikan taqwa dengan "Mentaati perintah dan laranganNya." Maksudnya, menjaga diri dari kemurkaan dan adzab Allah . Hal itu sebagaimana didefinisikan oleh Imam Al-Jurjani "Taqwa yaitu menjaga diri dari pekerjaan yang mengakibatkan siksa, baik dengan melakukan perbuatan atau meninggalkannya."
Karena itu, siapa yang tidak menjaga dirinya, dari perbuatan dosa, berarti dia bukanlah orang bertaqwa. Maka orang yang melihat dengan kedua matanya apa yang diharamkan Allah, atau mendengarkan dengan kedua telinganya apa yang dimurkai Allah, atau mengambil dengan kedua tangan-nya apa yang tidak diridhai Allah, atau berjalan ke tempat yang dikutuk Allah, berarti tidak menjaga dirinya dari dosa. Jadi, orang yang membangkang perintah Allah serta me-lakukan apa yang dilarangNya, dia bukanlah termasuk orang-orang yang bertaqwa. Orang yang menceburkan diri ke dalam maksiat sehingga ia pantas mendapat murka dan siksa dari Allah, maka ia telah mengeluarkan dirinya dari barisan orang-orang yang bertaqwa.
B. TAQWA TERMASUK KUNCI RIZKI
Beberapa nash yang menunjukkan bahwa taqwa termasuk di antara sebab rizki, Di antaranya:
1. Firman Allah: "Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan jalan keluar baginya. Dan memberi-nya rizki dari arah yang tiada disangka-sangkanya." (Ath-Thalaq: 2-3).
Dalam ayat di atas, Allah menjelaskan bahwa orang yang merealisasikan taqwa akan dibalas Allah dengan dua hal. Pertama, "Allah akan mengadakan jalan keluar baginya." Artinya, Allah akan menyelamatkannya –sebagaimana dikatakan Ibnu Abbas Radhiallaahu anhu – dari setiap kesusahan dunia maupun akhirat. Kedua, "Allah akan memberinya rizki dari arah yang tidak disangka-sangka." Artinya, Allah akan memberi-nya rizki yang tak pernah ia harapkan dan angankan.
Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan: "Maknanya, barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah de-ngan melakukan apa yang diperintahkanNya dan meninggalkan apa yang dilarangNya, niscaya Allah akan memberinya jalan keluar serta rizki dari arah yang tidak disangka-sangka, yakni dari arah yang tidak pernah terlintas dalam benaknya,"
2. Ayat lainnya adalah firman Allah: "Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada me-reka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendus-takan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka di-sebabkan perbuatan mereka sendiri". (Al-A'raf: 96).
Dalam ayat yang mulia ini Allah menjelaskan, seandainya penduduk negeri-negeri merealisasikan dua hal, yakni iman dan taqwa, niscaya Allah akan melapangkan kebaikan (kekayaan) untuk mereka dan memudahkan mereka menda-patkannya dari segala arah.
Janji Allah yang terdapat dalam ayat yang mulia tersebut terhadap orang-orang beriman dan bertaqwa mengandung beberapa hal, di antaranya:
a. Janji Allah untuk membuka " " (keberkahan) bagi mereka. "" adalah bentuk jama' dari " " Imam Al-Baghawi berkata, Ia berarti mengerjakan sesuatu secara terus menerus. Atau seperti kata Imam Al-Khazin, "Tetapnya suatu kebaikan Tuhan atas sesuatu."
Jadi, yang dapat disimpulkan dari makna kalimat " " adalah bahwa apa yang diberikan Allah disebabkan oleh keimanan dan ketaqwaan mereka merupakan kebaikan yang terus menerus, tidak ada keburukan atau konsekuensi apa pun atas mereka sesudahnya.
Tentang hal ini, Sayid Muhammad Rasyid Ridha berkata: "Adapun orang-orang beriman maka apa yang dibukakan untuk mereka adalah berupa berkah dan kenikmatan. Dan untuk hal itu, mereka senantiasa bersyukur kepada Allah, ridha terhadapNya dan mengharapkan karuniaNya. Lalu mereka menggunakannya di jalan kebaikan, bukan jalan keburukan, untuk perbaikan bukan untuk merusak. Sehingga balasan bagi mereka dari Allah adalah ditambahnya berbagai kenikmatan di dunia dan pahala yang baik di akhirat."
b. Kata berkah disebutkan dalam bentuk jama' sebagai-mana firman Allah:
"Pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berbagai berkah." Ayat ini, sebagaimana disebutkan Syaikh Ibnu Asyur untuk menunjukan banyaknya berkah sesuai dengan banyaknya sesuatu yang diberkahi.
c. Allah berfirman: "Berbagai keberkahan dari langit dan bumi". Menurut Imam Ar-Razi, maksudnya adalah keberkahan langit dengan turunnya hujan, keberkahan bumi dengan tumbuhnya berba-gai tanaman dan buah-buahan, banyaknya hewan ternak dan gembalaan serta diperolehnya keamanan dan keselamatan. Hal ini karena langit adalah laksana ayah, dan bumi laksana Ibu. Dari keduanya diperoleh semua bentuk manfaat dan kebaikan berdasarkan penciptaan dan pengurusan Allah ."
3. Ayat lainnya adalah firman Allah: "Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat, Injil dan (Al-Qur'an) yang diturunkan kepada mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas mereka dan dari bawah kaki mereka. Diantara mereka ada golongan pertengah-an. Dan alangkah buruknya apa yang dikerjakan oleh kebanyakan mereka". (Al-Ma'idah: 66).
Allah mengabarkan tentang Ahli Kitab, 'Bahwa seandainya mereka mengamalkan apa yang ada di dalam Taurat, Injil dan Al-Qur'an –demikian seperti dikatakan oleh Abdullah bin Abbas c dalam menafsirkan ayat terse-but,– niscaya Allah memperbanyak rizki yang diturunkan kepada mereka dari langit dan yang tumbuh untuk mereka dari bumi.
Syaikh Yahya bin Umar Al-Andalusi berkata: "Allah menghendaki –wallahu a'lam– bahwa seandainya mereka mengamalkan apa yang diturunkan di dalam Taurat, Injil dan Al-Qur'an, niscaya mereka memakan dari atas dan dari bawah kaki mereka. Maknanya –wallahu'alam–, niscaya mereka diberi kelapangan dan kesempurnaan nikmat du-nia,"
Sebagaimana disebutkan dalam ayat-ayat di atas, Allah menjadikan ketaqwaan di antara sebab-sebab rizki dan men-janjikan untuk menambahnya bagi orang yang bersyukur.
Allah berfirman:
"Jika kalian bersyukur, niscaya Aku tambahkan nikmat-Ku atasmu." (Ibrahim: 7).
Karena itu, setiap orang yang menginginkan keluasan rizki dan kemakmuran hidup, hendaknya ia menjaga dirinya dari segala dosa. Hendaknya ia menta'ati perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-laranganNya. Juga hendaknya ia menjaga diri dari yang menyebabkan berhak mendapat siksa, seperti melakukan kemungkaran atau meninggalkan kebaikan.
ISTIGHFAR DAN TAUBAT
A. Hakikat Istighfar dan Taubat
Sebagian besar orang menyangka bahwa istighfar dan taubat hanyalah cukup dengan lisan semata. Sebagian mere-ka mengucapkan, "Aku memohon ampunan kepada Allah dan bertaubat ke-padaNya" Tetapi kalimat-kalimat di atas tidak membekas di dalam hati, juga tidak berpengaruh dalam perbuatan anggota badan. Sesungguhnya istighfar dan taubat jenis ini adalah perbuatan orang-orang dusta. Imam Ar-Raghib Al-Ashfahani menerangkan: "Dalam istilah syara', taubat adalah meninggalkan dosa karena ke-burukannya, menyesali dosa yang telah dilakukan, berkeinginan kuat untuk tidak mengulanginya dan berusaha mela-kukan apa yang bisa diulangi (diganti). Jika keempat hal itu telah terpenuhi berarti syarat taubatnya telah sempurna"
Imam An-Nawawi dengan redaksionalnya sendiri menjelaskan: "Para ulama berkata, 'Bertaubat dari setiap dosa hukumnya adalah wajib. Jika maksiat (dosa) itu antara hamba dengan Allah, yang tidak ada sangkut pautnya dengan hak manusia maka syaratnya ada tiga. Pertama, hendaknya ia menjauhi maksiat tersebut. Kedua, ia harus menyesali perbuatan (maksiat)nya. Ketiga, ia harus berkeinginan untuk tidak mengulanginya lagi. Jika salah satunya hilang, maka taubatnya tidak sah. Jika taubat itu berkaitan dengan manusia maka syaratnya ada empat. Ketiga syarat di atas dan keempat, hendaknya ia membebaskan diri (memenuhi) hak orang tersebut. Jika berbentuk harta benda atau sejenisnya maka ia harus mengembalikannya. Jika berupa had (hukuman) tuduhan atau seje-nisnya maka ia harus memberinya kesempatan untuk membalasnya atau meminta maaf kepadanya. Jika berupa ghibah (menggunjing), maka ia harus meminta maaf."
Adapun istighfar, sebagaimana diterangkan Imam Ar-Raghib Al-Ashfahani adalah "Meminta (ampunan) dengan ucapan dan perbuatan. Dan firman Allah: "Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia Maha Pengampun." (Nuh: 10). Tidaklah berarti bahwa mereka diperintahkan meminta ampun hanya dengan lisan semata, tetapi dengan lisan dan perbuatan. Bahkan hingga dikatakan, memohon ampun (istighfar) hanya dengan lisan saja tanpa disertai perbuatan adalah pekerjaan para pendusta.
B. Dalil Syar'i Bahwa Istighfar dan Taubat Termasuk Kunci Rizki
1. Apa yang disebutkan Allah tentang Nuh yang berkata kepada kaumnya :
"Maka aku katakan kepada mereka, 'Mohonlah ampun kepada Tuhanmu', sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai'." (Nuh: 10-12).
Ayat-ayat di atas menerangkan cara mendapatkan hal-hal berikut dengan istighfar.
a. Ampunan Allah terhadap dosa-dosanya. Berdasarkan fir-manNya: "Sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun."
b. Diturunkannya hujan yang lebat oleh Allah. Ibnu Abbas radhiallaahu anhu berkata " " adalah (hujan) yang turun dengan deras.
c. Allah akan membanyakkan harta dan anak-anak. Dalam menafsirkan ayat:Atha' berkata: "Niscaya Allah akan membanyakkan harta dan anak-anak kalian".
d. Allah akan menjadikan untuknya kebun-kebun.
e. Allah akan menjadikan untuknya sungai-sungai. Imam Al-Qurthubi berkata: "Dalam ayat ini, juga disebutkan dalam (surat Hud) adalah dalil yang menunjukkan bah-wa istighfar merupakan salah satu sarana meminta ditu-runkannya rizki dan hujan."
Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam Tafsirnya berkata: "Makna-nya, jika kalian bertaubat kepada Allah, meminta ampun kepadaNya dan kalian senantiasa mentaatiNya niscaya Ia akan membanyakkan rizki kalian dan menurunkan air hujan serta keberkahan dari langit, mengeluarkan untuk kalian berkah dari bumi, menumbuhkan tumbuh-tumbuhan untuk kalian, melimpahkan air susu perahan untuk kalian, mem-banyakkan harta dan anak-anak untuk kalian, menjadikan kebun-kebun yang di dalamnya bermacam-macam buah-buahan untuk kalian serta mengalirkan sungai-sungai di antara kebun-kebun itu (untuk kalian)."
2. Ayat lain adalah firman Allah yang menceritakan tentang seruan Hud kepada kaumnya agar beristighfar.
"Dan (Hud berkata), 'Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertaubatlah kepadaNya, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat lebat atasmu dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa'." (Hud:52).
Al-Hafizh Ibnu katsir dalam menafsirkan ayat yang mulia di atas menyatakan: "Kemudian Hud memerintahkan kaumnya untuk beristighfar yang dengannya dosa-dosa yang lalu dapat dihapuskan, kemudian memerintahkan mereka bertaubat untuk masa yang akan mereka hadapi. Barangsiapa memiliki sifat seperti ini, niscaya Allah akan memudahkan rizkinya, melancarkan urusannya dan menjaga keadaannya. Karena itu Allah berfirman: "Niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat lebat atas-mu".
Ya Allah, jadikanlah kami termasuk orang-orang yang memiliki sifat taubat dan istighfar, dan mudahkanlah rizki-rizki kami, lancarkanlah urusan-urusan kami serta jagalah keadaan kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan doa. Amin, wahai Dzat Yang Memiliki keagungan dan kemuliaan.
3. Ayat yang lain adalah firman Allah:
"Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepadaNya. (jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan, dan Dia akan memberi kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa siksa hari Kiamat." (Hud: 3).
Pada ayat yang mulia di atas, terdapat janji dari Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Menentukan berupa kenikmatan yang baik kepada orang yang beristighfar dan bertaubat. Dan maksud dari firmanNya:
"Niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus-menerus) kepadamu." Sebagaimana dikatakan oleh Abdullah bin Abbas adalah, "Ia akan menganugerahi rizki dan kelapangan kepada kalian".
Sedangkan Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya mengatakan: "Inilah buah dari istighfar dan taubat. Yakni Allah akan memberi kenikmatan kepada kalian dengan berbagai manfaat berupa kelapangan rizki dan kemakmuran hidup serta Ia tidak akan menyiksa kalian sebagaimana yang dilakukanNya terhadap orang-orang yang dibinasakan sebelum kalian.
Dan janji Tuhan Yang Maha Mulia itu diutarakan dalam bentuk pemberian balasan sesuai dengan syaratnya. Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi berkata: "Ayat yang mulia tersebut menunjukkan bahwa beristighfar dan ber-taubat kepada Allah dari dosa-dosa adalah sebab sehingga Allah menganugerahkan kenikmatan yang baik kepada orang yang melakukannya sampai pada waktu yang ditentu-kan. Allah memberikan balasan (yang baik) atas istighfar dan taubat itu dengan balasan berdasarkan syarat yang ditetapkan".
QURBAN DAN HIKMAHNYA
TA’RIF
Berasal dari kata AL UDHIYYAH atau ADHIYYAH, yakni nama binatang sembelihan, seperti Unta, Sapi, Kambing dan Kerbau yang disembelih pada Idul Adha dan hari-hari Tasyriq, dengan niat taqorrub kepada Allah SWT.
SEJARAH
1. Zaman Nabi Adam A.S., Surat Al Maidah/5 : 27-32.
2. Zaman Nabi Ibrahim A.S., Surat Ash Shoffaat/37 : 100-113.
DASAR HUKUM
a. Surat Al Kautsar/108 dan Surat Al Hajj/22 : 36.
b. Sabda Rasulullah SAW., :
“Tidak ada suatu amalanpun yang dilakukan oleh manusia pada Hari Raya Qurban lebih dicintai Allah selain menyembelih Hewan Qurban. Sesungguhnya hewan itu kelak di Hari Kiamat akan datang beserta tanduk-tanduknya, bulu-bulunya dan kuku-kukunya, dan sesunguhnya sebelum darah itu menyentuh tanah, ia (pahalanya) telah diterima di sisi Allah, maka beruntunglah kalian semua dengan pahala Qurban itu” (H.R. Turmudzi dari Aisyah r.a.).
HUKUM QURBAN
Ulama berbeda pendapat dalam menentukan hukum Qurban, sebagian menyatakan bahwa hukum Qurban itu wajib, berdasarkan Firman Allah SWT., : “Sesungguhnya Kami telah memberi engkau (Muhammad) akan kebaikan yang banyak. Oleh karena itu, shalatlah dan sembelihlah Qurbanmu” (Al Kautsar/108 : 2).
Dalam ayat tersebut, terdapat kalimat WANHAR yang bentuknya AMAR = perintah. Qo’idah Ushul Fikih menyetakan : “Pada asalnya perintah itu menunjukkan pada hukum wajib”.
Ulama yang lain berpendapat bahwa hukum Qurban adalah sunnah, berdasarkan pada hadits Rasulullah SAW., : “Ditetapkan kepadaku berqurban, tetapi tidak wajib bagi kalian” (H.R. Daro Quthni).
BINATANG YANG LAIK UNTUK QURBAN
Dilihat dari segi fisiknya, binatang itu sehat. Rasulullah SAW., bersabda :
أَرْبَعٌ لاَتَجْزِئُ فِيْ الْاَضَاحِيْ : اَلْعُوْرَاءُ الْبَيِّنُ عُوْرُهَا، وَالْمَرِيْضَةُ الْبَيِّنَةُ مَرَضُهَا، وَالْعَرْجَاءُ عَرَجُهَا، وَالْعُجْفَاءُ الَّتِيْ لاَتُنْقِيْ (رواه احمد والترمذي)
Artinya : “Dari Barra’ Bin Azib, Rasulullah SAW., bersabda : “Empat macam binatang tidak layak dijadikan Qurban, yakni : 1. Binatang yang rusak matanya, 2. Sakit, 3. Pincang, dan 4. Kurus dan tidak bergajih lagi” (H.R. Ahmad dishohihkan oleh Turmudzi)..
Dari segi umurnya, jenis binatang : berdasarkan hadits dari sahabat Jabir riwayat Imam Muslim :
1. Kambing MUSINNAH (yang telah berganti gigi) atau JADZ’AH, kambing biri-biri berumur satu tahun lebih.
2. Unta dan Sapi
“Kami telah menyembelih binatang Qurban bersama Rasulullah SAW., pada tahun Hudaibiyah, seekor Unta untuk tujuh orang dan seekor sapi untuk tujuh orang” (HR. Muslim). Kerbau dianalogkan dengan Sapi dan Unta.
WAKTU MENYEMBELIH
Rasulullah SAW., bersabda :
مَنْ ذَبَحَ قَبْلَ الصَّلاَةِ فَإِنَّمَا يَذْبَحُ لِنَفْسِهِ، وَمَنْ ذَبَحَ بَعدَ الصَّلاَةِ وَالْخُطْبَيْنِ فَقَدْ تَمَّ نُسُكَهُ وَأَصَابَ سُنَّةَ الْمُسْلِمِيْنَ (رواه البخاري)
Artinya : “Barangsiapa menyembelih Qurban sebelum shalat (Idul Adha), maka sesungguhnya ia menyembelih untuk dirinya sendiri, dan barangsiapa menyembelih Qurban setelah shalat Hari Raya Idul Adha dan Dua Khutbah, maka sesungguhnya ia telah menyempurnakan ibadahnya dan telah menjalani aturan Islam” (H.R. Bukhori).
Dan
كُلُّ أَيَّامِ التَّشْرِيْقِ ذَيْحٌ (رواه احمد)
Artinya : “Semua Hari Tasyriq adalah waktu menyembelih Qurban” (H.R. Ahmad).
SUNNAH KETIKA MENYEMBELIH
1. Membaca Basmalah
2. Membaca shalawat atas Nabi Muhammad SAW.
3. Membaca Takbir.
4. Menyebutkan nama orang yang berqurban.
5. Mendo’akan orang yang berqurban.
أَللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَاَلِ مُحَمَّدٍ وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ (رواه احمد ومسلم)
Artinya : “Ketika Rasulullah SAW., berqurban membaca : “Ya Allah, terimalah qurban dari Muhammad, keluarga Muhammad dan umat Muhammad” (H.R. Ahmad-Muslim).
6. Binatang yang disembelih dihadapkan ke arah kiblat.
MENJUAL DAGING QURBAN
Rasulullah SAW bersabda :
لاَتَبِيْعُوْا الْحُوْمَ الْهَدْيِ وَالْأَضَاحِيْ وَكُلُوْا وَتَصَدَّقُوْاوَسْتَمْتِعُوْا بِجُلُوْدِهَا وَلاَ تَبِيْعُوْهَا (رواه احمد)
Artinya : “Janganlah kamu jual daging denda (dam) dan daging qurban, makanlah dan sedekahkanlah dagingnya itu, ambillah manfaat kulitnya, jangan dijual” (H.R. Ahmad).
HIKMAH
Dari ibadah qurban, banyak sekali hikmah yang dapat kita gali, antara lain :
1. Agar manusia secara berangsur-angsur mengurangi cinta dunia (Surat At Taubah/9 : 24).
2. Agar manusia mengendalikan nafsu (Surat Yusuf/12 : 53).
3. Pemerataan gizi terhadap sesama umat manusia.
4. Agar manusia memposisikan diri sebagai orang yang berqurban, bukan menjadi obyek qurban.
5. Agar manusia senantiasa rela menyerahkan apa saja yang menjadi miliknya, karena memenuhi perintah Allah SWT.
PANDUAN SHALAT BERJAMA’AH
I. DASAR HUKUM
Firman Allah SWT., : (النسأء/4 : 102)
Artinya : “Apabila engkau (Rasulullah SAW.) beserta mereka dalam perjalanan, sedang engkau bermaksud akan shalat dengan mereka, maka hendaklah sebagian dari mereka berdiri untuk shalat beserta engkau” (QS. An Nisa’/4 : 102).
Sabda Rasulullah SAW., :
صَلاَةُ الْجَمَاعَةَ تَفْضُلُ عََلَي صَلاَةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِيْنَ دَرَجَةً (رواه البخاري و مسلم)
Artinya : “Shalat berjama’ah itu lebih utama daripada shalat sendirian sebanyak 27 derajat” (HR. Bukhori-Muslim).
II. SIAPA YANG BERHAK MENJADI IMAM?
Dalam sebuah hadits yang bersumber dari UQBAH Bin AMAR, diriwayatkan oleh IMAM AHMAD dan IMAM MUSLIM, Rasulullah SAW., bersabda, yang artinya : “Yang jadi imam di antara mereka adalah : Orang yang terbaik bacaan al-Qur’annya”. Bila di antara mereka sama dalam bidang al-Qur’annya, maka mereka yang pandai dalam sunnahnya. Kalau dalam sunnah mereka sama, maka mereka yang paling dulu hijrah. Bila dalam hijrah mereka sama, maka yang paling tua umurnya. Janganlah seorang lelaki diimami lelaki lain di tempat kekuasaannya, janganlah seseorang duduk di rumah orang lain di atas tikarnya, melainkan dengan ijn tuan rumah”.
III. SYARAT SAH BERMAKMUM
1. Berniat menjadi makmum
Sabda Rasulullah SAW., : “Sesungguhnya segala amal tergantung niatnya” (HR. Bukhori). Dalam segala macam jama’ah shalat, makmum wajib berniat makmum, sedangkan imam tidak wajib berniat menjadi imam. Hanya menjadi imam shalat jama’ah saja, imam yang wajib berniat menjadi imam.
2. Makmum hendaklah mengikuti imam dalam segala gerakannya, kecuali gerakan yang salah.
Sabda Rasulullah SAW., : “Imam itu dijadikan untuk diikuti. Bila imam bertakbir, takbirlah kamu, janganlah engkau takbir sebelum imam takbir. Ketika imam ruku’, ruku’lah kamu, janganlah engkau ruku’ sebelum imam ruku’. Bila imam sujud, sujudlah kamu, janganlah engkau sujud sebelum imam sujud” (HR. Ahmad dan Abi Dawud).
3. Mengetahui Gerak-Gerik Imam
Makmum sah mengikuti imam walaupun di antara keduanya terdapat tabir yang menutupi, asal saja makmum dapat mengetahui gerak-gerik imam atau dapat mendengar suaranya. Para ulama sepakat bahwa bermakmum lewat radio tidak sah (Fiqhus Sunnah I/203).
4. Di Belakang Imam
Tempat berdiri makmum harus berada di belakang imam. Tidak sah jama’ahnya bila makmum tempat berdirinya lebih dekat Ka’bah dari imamnya.
5. Sama Teknis Pelaksanaannya
Antara imam dan makmum harus dalam melaksanakan shalat yang teknis pelaksanaannya sama. Misalnya tidak boleh shalat fardhu bermakmum dengan imam Shalat Jenazah, Shalat Gerhana dan lain sebagainya.
IV. SUSUNAN MAKMUM
1. Bila makmum hanya seorang, hendaklah berdiri di kanan imam agak belakang. Bila kemudian datang orang lagi, hendaklah berdiri di sebelah kiri imam agak belakang. Bila kemudian datang orang lagi, berdiri di belakang imam, jaraknya cukup untuk sujud. Kemudian dua orang makmum yang berada di kiri dan kanan mundur meluruskan shafnya dengan orang yang datang paling akhir tadi.
2. Jama’ahnya Banyak.
Bila jama’ahnya banyak, susunannya lelaki paling depan, kemudian anak-anak dan paling belakang wanita.
3. Jenis Kelamin
Sabda Rasulullah SAW., :
لاَ تَؤُمَّنَّ امْرَأَةٌ رَجُلاً
Artinya : “Janganlah perempuan menjadi imam jama’ah pria” (HR. Ibnu Majah).
4. Berkelamin Ganda
Pria atau lelaki tidak boleh bermakmum kepada orang yang kelaminnya ganda. Hal ini bila kedua kelaminnya berfungsi sama. Tetapi bila sudah bisa ditentukan mana yang berfungsi, maka dikembalikan kepada kenyataannya, pria atau wanita.
V. MUWAFIQ DAN MASBUQ
Muwafiq ialah makmum yang dapat menyelesaikan bacaan Fatihah bersama imam pada rakaat pertama. Masbuq adalah makmum yang tidak dapat menyelesaikan bacaan Fatihah bersama imam pada rakaat pertama.
Bila masbuq dapat mendapatkan ruku’ yang sempurna bersama imam, maka itu dinilai mendapat satu rakaat berjama’ah. Tetapi kalau tidak mendapatkan ruku’ yang sempurna bersama imam, ia tidak dihitung satu rakaat.
Rasulullah SAW., bersabda :
اِذَا جَاءَ اَحَدُكُمُ الصَّلاَةَ وَنَحْنُ سُجُوْدٌ فَاسْجُدُوْا وَلاَتَعُدُّوْهَاَشِيْئًا. وَمَنْ اَدْرَكَ الرُّكُوْعَ فَقَدْ اَدْرَكَ الرَّكْعَةَ (رواه ابو داود)
Artinya : “Apabila kalian datang shalat kami sedang sujud, sujudlah kamu tetapi tidak dihitung satu rakaat. Barang siapa mendapatkan ruku’ imam, berarti mendapat satu rakaat” (HR. Abu Dawud).
Bila makmum belum membaca Fatihah kemudian ruku’ bersama imam, bagaimana bacaan Fatihahnya? Rasulullah SAW., memberikan penjelasan :
اَلْاِمَامُ ضَامِنٌ فَاِنْ اَحْسَنَ فَلَهُ وَلَهُمْ، وَاِنْ اَسَاءَ فَعَلَيْهِ : يَعْنِيْ وَلاَ عِلَيْهِمْ (رواه ابن ماجه)
Artinya : “Imam adalah penanggung jawab. Jika yang dilakukan itu betul, maka untungnya baginya dan bagi makmumnya. Tetapi bila ia salah, maka tidak dipikulkan kepadanya. Yakni tidak dipikulkan kepada makmumnya” (HR. Ibnu Majah).
VI. HAL-HAL LAIN
1. Jama’ah semakin banyak semakin tambah baik. (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Nasa’i dari Ubayyi Ka’ab).
2. Sebaiknya imam tidak terlalu cepat atau terlalu lambat dalam mengimami shalat. Kecuali shalat sendiri, lebih panjang dipersilahkan (HR. Bukhori-Muslim).
3. Sebelum memulai shalat, hendaklah imam menghadap ke jama’ah dan menata shaf jama’ah dengan ucapan :
تَرَاصُّوْا وَاعْتَدْلُوْا
Artinya : “Rapatkan barisanmu dan ratakan” (HR. Bukhori-Muslim).
سُوُّوْا صُفُوْفَكُمْ فَاِنَّ تَسْوِيَةَ الصَّفِّ مِنْ تَمَامِ الصَّلاَةِ
Artinya : “Ratakan shaf kalian, sesungguhnya merapatkan shafmu itu bagimu dari menyempurnakan shalat berjama’ah” (HR. Bukhori-Muslim).
4. Membaca AMIN bersama imam
“Barangsiapa ketika membaca Amin bersama imam, berarti membaca Amin bersama malaikat. Barangsiapa membaca Amin bersama malaikat, do’anya dikabulkan Allah “.
Prinsip Produksi Dalam Islam
Prinsip fundamental ekonomi Islam dalam proses produksi adalah terciptanya kesejahteraan ekonomi pada diri individu dan juga masyarakat, terutama untuk skala yang lebih luas menyangkut persoalan moral, pendidikan, agama dan lain sebagainya. Prinsip moral dalam produksi yang diajarkan oleh Islam antara lain:
1. Berproduksi dalam lingkaran halal
Produksi dalam Islam baik dilaksanakan secara individu maupun kolektif, perseorangan maupun oleh badan usaha, pengadaan barang maupun jasa harus berpegang pada semua yang dihalalkan oleh Allah dan tidak melewati batas. Walaupun daerah halal itu luas namun manusia selalu saja merasa kurang puas dengan yang halal sehingga banyak yang melangar hukum Allah dan tergiur pada sesuatu yang haram, padahal ini dibenci oleh Allah dan Islam.
2. Dilarang melakukan usaha produksi yang mengarah kepada kedzaliman
Usaha produksi baik yang menghasikan barang maupun jasa yang mengarah kepada terjadinya unsur kedzaliman pada bidang ekonomi dan kemasyarakatan sangat ditentang keras oleh ajaran Islam. Seperti halnya riba karena akan menghilangkan keadilan ekonomi dan berdampak buruk pada perekonomian umat..
1. Segala bentuk penimbunan (ikhtikar) dan monopoli terhadap barang kebutuhan masyarakat adalah haram.
Penimbunan menjadikan tingkat produksi berkurang, suplai berkurang dan melonjaknya harga pasar. Hal ini bisa dicegah dengan campur tangan pemerintah yang harus secara tegas menghukum para penimbun dan memaksanya untuk menjual barang tersebut sesuai dengan harga yang adil dan layak.
Dalam sejarah Islam pada masa Rasulullah, negara melalui institusi hisbah memiliki kekuasan untuk mengontrol harga atau menetapkan upah buruh. Campur tangan pemerintah ini diberlakukan bila terjadi distorsi pasar (dzulm) yang mengakibatkan harga yang melambung. Rasulullah mengangkat seorang Muhtasib (petugas pengontrol dan pengawas kegiatan bisnis) yang akan menentukan harga yang adil untuk diterima semua pihak, baik produsen, distributor dan konsumen.
1. Memberi perlindungan pada kekayaan alam
Menjaga sumber daya alam juga sangat penting karena alam adalah karunia Allah yang wajib disyukuri dengan menjaga sumber daya alam dari polusi, kehancuran dan kerusakan serta pemanfaatan yang berlebihan. Pemanfaatan sumber daya alam harus diimbangi dengan pemeliharaan kelestarian dan kontinuitas kelangsungan lingkungan hidup. Dalam perspektif ekonomi, Islam memandang manusia sebagai berikut:
1. Setiap manusia adalah produsen yang menghasilkan barang dan jasa yang berkaitan langsung dengan lingkungan hidup.
2. Manusia dididik oleh lingkungan hidup dan bumi untuk senantiasa mengingat kebesaran Allah yang telah mendistribusikan rezeki yang adil diantara manusia.
3. Sebagai produsen, maka manusia tidak boleh melakukan tindakan yang merusak lingkungan hidup
Ekonomi dalam Islam menempatkan self interest (kemaslahatan indivodu) dan sosial interest (kemaslahatan masyarakat luas) sebagai tujuan dan sistem ekonomi mempunyai prinsip fundamental pada keadilan ekonomi (al-’adalah al-iqtisadiyah), jaminan sosial (at-takaful al-’ijtima’i) dan pemanfaatan sumber-sumber daya ekonomi secara efisien. Self interest dalam Islam diperlakukan sebagai kekuatan konstruktif bagi kesejahteraan kolektif. Keadilan ekonomi memiliki hubungan yang kuat dengan keadilan produksi. Keadilan produksi mencakup harga yang adil (as-saman al-’adl) dan laba yang adil pula (al-ajr al-’adl).
Produksi dalam Islam merupakan usaha untuk memenuhi baik secara material dan moral sebagai sarana untuk mencapai tujuan hidup yang hakiki yaitu kebahagiaan dunia akhirat. Sistem ekonomi Islam sangat mendorong majunya produktifitas dan mengembangkannya baik dari sisi kualitas maupun kuantitas. Sudut pandang produksi dalam Al-Qur’an diantaranya terdapat pada surat Al-Mulk ayat 15, Al-Baqarah ayat 22, An-Nahl ayat 14, surat Al-jumu’ah ayat 9, dan masih banyak lagi.
Dalam surat dan ayat-ayat tersebut telah dijelaskan bahwa barangsiapa yang berjalan di penjuru bumi, bertebaran diatasnya dan mencari karunia Allah, maka pasti ia akan makan rizqi Allah. Barangsiapa yang duduk dan berpangku tangan tidak mau bekerja dan berbuat, baik pribadi maupun ummat, maka pasti akan terhalang mendapatkan bagian. Dalam sunatullah tidak sama antara orang yang duduk berpangku tangan dan orang yang bekerja. Islam juga tidak membolehkan seseorang hanya mengandalkan pertolongan orang lain, padahal dia mampu orang yang kuat dan mampu bekerja. Dan sesungguhnya Islam menganggap suci amal duniawi dan memandangnya sebagai bagian dari ibadah dan dipandang sebagai jihad di jalan Allah, bila diikuti dengan niat yang benar disertai keikhlasan dan ketaqwaan.
Dari adanya anjuran produksi untuk memperbanyak harta dan menambah sumber penghasilan. Pekerjaan seseorang yang sesuai dengan ketrampilan yang dimiliki dikategorikan sebagai produksi, begitu juga kesibukan untuk mengelola sumber penghasilan adalah juga produksi. Produksi dalam Islam tidak bisa dipisahkan antara dua hal yaitu pemenuhan kebutuhan ekonomi dan sarana beribadah kepada Allah sehingga semua yang berkaitan dengan produksi haruslah sejalan dengan nilai-nilai syari’at Islam.
Tujuan produksi adalah memenuhi kebutuhan barang dan jasa baik untuk individu maupun untuk masyarakat. Produsen dalam menjalankan aktifitas ekonomi dengan berproduksi dituntut untuk tidak hanya mengejar keuntungan pribadi saja akan tetapi juga harus bisa memenuhi kebutuhan hidup orang banyak dan kesemuanya itu bermuara sebagai jalan untuk beribadah kepada Allah. Sedangkan dalam ekonomi kapitalis para pelaku ekonomi dan produsen mengejar keuntungan pribadi tanpa menghiraukan nilai moral yang ada.
Islam mengklasifikasikan komoditi yang dihasilkan oleh proses produksi (barang dan jasa) menjadi dua bagian besar yaitu:
1. Thayyibat: adalah komoditi yang secara hukum syar’i halal dikonsumsi dan diproduksi
2. Khabaits: adalah komoditi yang secara hukum syar’i haram dikonsumsi dan diproduksi
Sebagaimana Surat al-’A'raf ayat 157 yang berbunyi:
….ويحل لهم الطيبت ويحرم عليهم الخبئث…
Artinya: …dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk…” (al-A’raf: 157).
Tantangan berat bagi ekonom muslim dimasa sekarang adalah banyaknya peluang bisnis yang menjanjikan keuntungan besar justru datang dari usaha-usaha Khabaits (haram diproduksi, diperdagangkan dan dikonsumsi, contoh; narkoba, miras). Padahal ekonomi dalam Islam mengajarkan bahwa aktifitas ekonomi haruslah menghindari hal-hal yang diharamkan supaya individu dan masyarakat terjaga moralnya serta tercipta keadilan ekonomi mencakup harga dan laba yang adil.
http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2012/09/21/prinsip-produksi-dalam-islam-488821.html
Susahnya Menjadi Orang Tua Idaman
Suatu hari di TV tayang sebuah acara reality show untuk remaja. Saat ditanyakan kepada mereka siapa tokoh atau sosok yang dikagumi dan diidolakannya, lalu meluncurlah nama-nama. Yang membuat kita prihatin tak satupun mereka yang mengidolakan orangtuanya. Bagi mereka ternyata figur orangtua tak cukup menarik dan kalah pamor dari para selebritis musik, sinetron, film dan olah raga.
Andai yang mereka sebut adalah tokoh besar peradaban semisal para nabi dan ilmuan, rasanya tidak masalah. Tapi mereka justru lebih memilih idola dari kalangan selebritis yang secara moral layak diragukan. Kenyataan ini menjadi sinyalemen buruk bagi segenap orangtua. Mungkin apa yang tersaji dalam tayangan televisi itu tak menggambarkan keseluruhan anak-anak kita, namun siapa yang bisa menjamin bahwa potret buram ”pengidolaan” itu tidak terjadi dirumah kita, atau jangan–jangan malah sudah ada di dalam rumah kita.
Kesalahan awal para orangtua
Orangtua di zaman modern ini banyak yang hanya menjadikan rumah sekedar sebagai tempat transit dari lalulalang kesibukan yang berjubel. Maka saat berada di rumah kondisi mereka sudah kepayahan karena ide-ide kreatif dan inovasinya telah terkuras di luar rumah. Sehingga, jangankan utk mengajari anak-anaknya mengerjakan PR, menemani tidur, makan bersama atau sekedar ngobrol pun sudah tidak lagi sempat, akibat berikutnya, rumah terasa kering dari siraman cinta kasih dan anak kehilangan guru sejati.
Banyak orangtua beranggapan dengan uang, fasilitas bermain atau sekolah favorit, tanggungjawab mendidik anak sudah tertunaikan secara benar, padahal sesungguhnya anak tak hanya butuh hal yang bersifat materi, tetapi juga kasih sayang, perhatian dan suri tauladan. Fasilitas pendidikan di luar rumah yang terbaik mungin mampu membentuk kepribadian anak, namun tak boleh lupa pendidikan didalam rumahlah penentu sedari awal kepribadian seorang anak.
Orang tua abai bahwa kesuksesan sejati sesungguhnya adalah ketika mereka sukses mendidik anak menuju pembentukan kepribadian yang sehat secara fisik dan mental. Apa artinya menjadi pengusaha sukses, pejabat tinggi, karier cemerlang jika anggota keluarganya ada yang terjerumus dalam tindakan sesat, semisal; narkoba, seks bebas atau yang lainnya. Bila itu terjadi, lalu siapa yang pertama mengalami penderitaan, paling dirugikan dan jadi korban? Jawabannya, tentu saja anak-anak.
Maka penting bagi para orangtua untuk segera introspeksi diri dan mengubah cara mereka dalam hal memperlakukan anak-anak. Apabila tidak, jangan-jangan para orangtua akan makin tidak populer dan ditinggalkan anak. Alangkah menakutkan andai ada pertanyaan tentang siapa tokoh paling di benci para anak? Lalu jawaban mereka adalah ayah dan ibunya. Naudzubillah min dzalik.
Menjadi orangtua, -ayah ibu- di era modern boleh dibilang gampang-gampang susah. Zaman sudah berubah, norma, etika, tata nilai telah bergeser. Orangtua dituntut bisa melakukan multiperan; menjadi teladan, pemimpin, guru, sahabat, bahkan menjadi kakak bagi anak-anaknya. Orangtua harus bersaing merebut perhatian anak dari berbagai hal; televisi, internet, perangkat teknologi baru, kawan sepergaulan, kegiatan sekolah dan banyak hal lain yang tidak semuanya membawa dampak positif. Bahkan, keluarga yang miskin ekonominya, beban tersebut semakin bertambah karena mereka juga harus bersaing dengan kemiskinan itu sendiri.
Kedekatan dengan anak menjadi hal penting, karena bila tidak, orangtua tak lagi memiliki kontrol dan pengetahuan yang cukup terhadap aktifitas anak. Siapa kawan-kawan dekatnya, apa kesibukan-kesibukannya, apa problem yang dihadapi dan lain sebagainya. Kondisi demikian membuat anak tak bisa bebas menyatakan perasaannya, dan menyampaikan berbagai hal tentang dirinya, keinginan atau bahkan problemnya. Bila hal ini berlanjut maka bisa jadi inilah awal bencana bagi keluarga karena orangtua sudah tak peduli dengan anak dan anak akan curhat dan dekat dengan orang lain yang belum tentu membawa pengaruh baik.
Kiat-Kiat
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan agar dapat membangun komunikasi, menjalin kedekatan dengan anak, sekaligus sebagai upaya menjadi orangtua idaman, diantaranya:
1) Mampu merumuskan visi-misi keluarga
Orangtua mampu menjelaskan visi dan misi keluarga kepada anak, sedangkan anak sadar untuk ikut menjaga visi dan misi serta komitmen keluarga yang telah disepakati. Ibarat berlayar dalam satu perahu, seluruh awak kapal baik nahkoda maupun penumpang memiliki tujan yang sama. Nahkoda/imam adalah suami, penumpang yang lain sebagai makmum. Menjadi penting untuk memberikan pemahaman kepada anak tentang pentingnya kesamaan dan kebersamaan dalam hal-hal tertentu yang prinsipiil. Misalnya tentang tujuan, cita-cita dan target keluarga, keyakinan dan agama yang harus diimani dan lain sebagainya.
Para orangtua bisa belajar dari kisah Lukmanul Hakim sebagaimana telah dijelaskan Allah dalam Al-Qur’an tentang hal-hal prinisp apa yang mesti ditanamkan orangtua kepada anak, salah satunya yang paling penting adalah keyakinan akan keesaan Allah SWT (tauhid).
2) Punya kesungguhan untuk berkorban
Orangtua sebagai sosok yang lebih dewasa harus siap untuk mengalah, tidak egois dan tidak bisa semena-mena mengejar kebahagiaannya sendiri tanpa mempedulikan kebahagiaan bersama. Bahkan orangtua pantas berkorban untuk kebahagiaan anak, sekalipun harus ditebus dengan penderiatan. Banyak contoh yang menggambarkan bagaimana orangtua banting tulang memeras keringat demi membiayai pendidikan anak. Penderitaan itu berganti kebahagiaan manakala anak sukses meraih cita-citanya.
Dengan keteladanan orangtua, disertai penjelasan yang mudah diterima, seorang anak akan merekam pengorbanan orangtua dan belajar banyak darinya. Hal tersebut akan membentuk pola pikir, kedewasaan dan kepribadiannya. Rekaman itu akan menuntunnya menjadi orang yang berjiwa pejuang, memiliki semangat berkorban sekaligus menghargai pengorbanan orangtuanya. Banyak kita lihat orangtua yang telah bekerja keras dan berkorban untuk anak, namun anak justru mengabaikan dan kurang menyambut perjuangan dan pengorbanan orangtuanya. Hal ini disebabkan kurangnya komunikasi orangtua dengan anak -secara tepat- tentang apa yang dilakukannya.
3) Menjadi Orangtua Super
Orangtua seharusnya punya pengetahuan yang cukup diberbagai bidang serta selalu menambah ilmu agar anak merasa orangtuanya adalah sosok yang selalu siap saat anak membutuhkan penjelasan dan mampu menjadi guru sejati bagi mereka. Saat ini para anak butuh orangtua yang ”super”. Orangtua yang mampu menuangkan kesejukan dalam setiap jawaban saat anak sedang dahaga pengetahuan. Tentu orangtua yang super tidak harus tahu ilmu matematika, kimia, fisika, komputer yang melebihi sang anak, walaupun sekiranya bisa, hal seperti itu jelas lebih baik.
Orangtua super yang dimaksud adalah orang tua yang mampu membangun motivasi dan semangat anak, menumbuhkan kepedulian, kepekaan pribadi dan sosial mereka serta mampu menuntun dan membimbingnya menjadi manusia yang lebih baik dari waktu ke waktu. Anak perlu diyakinkan bahwa orangtuanya adalah sosok yang membanggakan, yang tidak kalah hebat dengan orangtua lainnya, bahkan lebih hebat. Hal ini mengharuskan orangtua untuk tidak pernah berhenti belajar agar orangtua selalu memiliki hal-hal baru yang bisa dibagi dan disuguhkan kepada anak.
4) Selalu punya waktu
Orangtua diharapkan selalu punya waktu untuk anak dan punya kesungguhan untuk membantu dan mendampingi mereka, yang kesemuanya itu dikomunikasikan dengan anak sehingga anak tahu. Mungkin karena sibuk, orangtua tak selalu punya waktu saat sang anak membutuhkan. Tapi kesungguhan untuk memberi yang terbaik kepada anak benar-benar bisa dirasakan sang anak, karena kualitas komunikasi yang baik. Banyak contoh disekitar kita dimana sebuah keluarga melewati kebersamaan dalam waktu yang panjang, dengan menonton tv bersama, minum teh atau ngobrol ringan, namun durasi waktu tersebut kurang mampu membangun jalinan kesepahaman yang kokoh antar mereka, mengapa ini terjadi? Karena kebersamaan itu hanya mampu mendekatkan mereka secara fisik, hanya tampak dipermukaan saja, dan kurang mampu mendekatkan hati mereka, kurang mampu mengeksplor hal yang tersembunyi, yang berbeda, yang butuh dicarikan ruang untuk saling menyesuaikan.
Anak berhak berbagi persoalan dengan orangtuanya kapan saja selagi hal itu memungkinkan. Kalau orangtua khawatir hal itu akan menjerumuskan anak menjadi manja, kurang dewasa dan semacamnya, maka berikan keyakinan kepada anak tentang pentingnya belajar mandiri tanpa ada kesan membatasi akses anak untuk menyampaikan perasaannya atau untuk berkomunikasi dengan orangtua.
5) Memperlakukan anak secara terhormat dan bermartabat.
Bila orangtua menginginkan anak menjadi terhormat maka perlakukanlah mereka secara terhormat semenjak kecil. Hanya orang-orang yang mengenal kehormatan yang akan hidup secara terhormat. Sebagaimana telah dicontohkan Rasulullah.
”Ummu Fadhl bercerita; suatu ketika aku menimang seorang bayi, Rasul kemudian mengambil bayi itu dan menggendongnya. Tiba-tiba sang bayi pipis dan membasahi pakaian Rasul, segera saja kurenggut secara kasar bayi itu dari Rasul dan Rasulpun menegurku; ”pakaian yang basah ini dapat dibersihkan oleh air, tetapi apa yang dapat menghilangkan kekeruhan dalam jiwa sang anak akibat renggutanmu yang kasar itu?”.
Rasul tidak ingin rasa rendah diri atau berdosa menyentuh jiwa anak yang dibawa hingga ia dewasa. Karena alasan itulah mengapa dalam hal tertentu Rasul tidak membedakan perlakuan kepada anak dan orang dewasa, misalnya dalam mengucapkan salam. Mengucap salam pada seorang anak setidaknya memberi dua dampak positif, yaitu menanamkan rasa rendah hati dan percaya diri. Karena yang banyak terjadi sekarang tidak hanya renggutan kasar namun juga cemoohan, hardikan bahkan kekerasan fisik yang diterima anak-anak kita. Dalam bentuk lain adalah adanya ketidakpedulian, sikap cuek dan egoisme orangtua.
Padahal menurut riset, 90% rasa rendah diri pada orang dewasa disebabkan adanya perlakuan yang dialaminya sebelum dia dewasa. Bila hardikan dan pukulan yang diterima anak, jangan salahkan bila kelak ia menjadi ”preman” dan tidak peduli pada kesantunan. Bila hinaan, cemoohan dan sikap sinis yang biasa mereka dapat, maka jangan salahkan bila kelak mereka tidak memiliki sikap tenggangrasa dan tidak peduli sesama.
Demikianlah beberapa kiat yang bisa dilakukan oleh para orangtua agar bisa menjalin kedekatan dengan anak sekaligus menjadi orangtua idaman bagi mereka. Bila dilakukan dengan sungguh-sungguh dan istiqomah, akan tiba sebuah masa dimana ketika anak-anak menyebut dan menceritakan orangtuanya disertai dengan sikap hormat dan rasa bangga. Bukan sebaliknya, dengan sikap sinis dan penuh rasa benci…mau?!
http://edukasi.kompasiana.com/2012/09/21/susahnya-menjadi-orang-tua-idaman-488856.html
Sudahkah Rumahtangga Kita Punya Tujuan?
”Dan tiadalah kehidupan di dunia ini, melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesunguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan kalau mereka mengetahui” (QS: al-Ankabut : 64)
Seakan telah menjadi bagian yang sangat standar dari skenario kehidupan, bahwa hampir sepanjang usia dunia hingga saat ini, betapa banyak orang yang selama hidupnya disibukkan oleh kerja keras, peras keringat banting tulang dalam mencari penghidupan. Apa yang telah diperolehnya dikumpul-kumpulkan dan ditimbun dengan seksama demi agar anak-anaknya terjamin masa depannya. Ada juga orang yang dalam hidupnya teramat merindukan penghargaan dan penghormatan, sehingga hari-harinya disibukan dengan memperindah rumah, mematut-matut diri, membeli aneka asesori, dan sebagainya, yang semua itu dilakukan semata-mata ingin dihargai orang.
Inilah fenomena kehidupan yang menunjukan betapa manusia dalam kehidupannya berpeluang dekat dengan hawa nafsu yang merugikan. Sekiranya tujuan sebuah rumah tangga hanya duniawi belaka, maka penghuninya akan merasakan letih lahir batin karena energinya lebih banyak terkuras oleh pemikiran tentang taktik dan siasat serta nafsu menggebu untuk mengejar hal duniawi itu terus menerus siang malam. Padahal, apa yang didapatkannya tak lebih dari apa yang telah ditetapkan ALLAH untuknya. Walhasil, hari-harinya akan terjauhkan dari ketenteraman batin dan keindahan hidup yang hakiki karena tak ubahnya seorang budak. Ya, budak dunia !
Berawal dari tujuan
Sebaliknya rumah tangga yang tujuannya hanya ALLAH, ketika mendapatkan karunia duniawi, akan bersimpuh penuh rasa syukur kehadirat-Nya. Sama sekali tidak pernah kecewa dengan seberapa pun yang ALLAH berikan.
Pendek kata adanya hal duniawi di sisinya tidak membuatnya sombong, tiadanya pun tak membuatnya menderita dan sengsara, apalagi jadi merasa rendah diri karenanya. Lebih-lebih lagi dalam hal ikhtiar guna mendapatkan karunia duniawi tersebut, baginya yang penting bukan perkara dapat atau tidak dapat, melainkan bagaimana agar dalam rangka menyongsongnya hati tetap terpelihara, sehingga ALLAH tetap ridha. Jumlah yang didapat tidaklah menjadi masalah, namun kejujuran dalam menyongsongnya inilah yang senantiasa diperhatikan sungguh-sungguh. Karena, nilainya bukanlah dari karunia duniawi yang diperolehnya, melainkan dari sikap terhadapnya.
Oleh karena itu, rumah tangga yang tujuannya ALLAH Azza wa Jalla sama sekali tidak akan silau dan terpedaya oleh ada atau tidak adanya segala perkara duniawi ini. Karena, yang penting baginya, ketika aneka asesoris duniawi itu tergenggam di tangan, tetap membuat ALLAH suka. Sebaliknya, ketika semua itu tidak tersandang, ALLAH tetap ridha. Demikian pun gerak ikhtiarnya akan membuahkan cinta dari-Nya. Merekalah para penghuni rumah tanggga yang memahami hakikat kehidupan dunia ini.
Dunia, bagaimana pun hanyalah senda gurau dan permainan belaka, sehingga yang mereka cari sesungguhnya bukan lagi dunianya itu sendiri, melainkan Dzat yang Maha memiliki dunia. Bila orang-orang pencinta dunia bekerja sekeras-kerasanya untuk mencari uang, maka mereka bekerja demi Dzat yang Maha membagikan uang.
Kalau orang lain sibuk mengejar prestasi demi ingin dihargai dan dipuji sesama manusia, maka mereka pun akan sibuk mengejar prestasi demi mendapatkan penghargaan dan pujian dari Dia yang Maha menggerakan siapapun yang menghargai dan memuji. Perbedaan itu, begitu jelas dan tegas bagaikan siang dan malam. Bagi rumah tangga yang tujuannya hanya asesoris duniawi pastilah aneka kesibukannya itu semata-mata sebatas ingin mendapatkan yang satu itu saja, sedangkan bagi rumah tangga yang hanya ALLAH semata menjadi tujuan dan tumpuan harapannnya, maka otomatis yang dicarinya pun langsung tembus kepada Dzat Maha pemilik dan penguasa segala-galanya.
Maka upayakan rumah tangga kita tidak menjadi pencinta dunia semata. Karena, betapa banyak rumah tangga yang bergelimang harta, tetapi tidak pernah berbahagia. Betapa tak sedikit rumah tangga yang tinggi pangkat, gelar dan jabatannya, tetapi tidak pernah menemukan kesejukan hati. Memang, kebahagian yang hakiki itu hanyalah bagi orang-orang yang disukai dan diridlai-Nya. Allah SWT berfirman:
”Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan Para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu Lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” [Q.S.Al-Hadid ayat 20].
Muhasabah
Berumah tangga bukanlah suatu hal yang mudah seperti halnya membalikkan kedua telapak tangan. Sejak awal, Allah Swt. memperingatkan kepada setiap orang beriman agar hati-hati dalam hal tersebut, sebagaimana firman-Nya:
Hai orang-orang mukmin, Sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagim. Maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. At-Taghabun [64]:14).
Ayat di atas menjelaskan, bahwa bisa jadi pasangan yang telah kita pilih untuk mendampingi hidup kita dan anak-anak yang dilahirkannya menjadi musuh bagi diri kita. Seorang suami yang seharusnya menjadi seorang pemimpin di keluarga malah menjadi koruptor karena bujukan istrinya yang terus menggerutu karena diperbudak segala macam keinginan. Ayah dan ibu terhancurkan kehormatan dan harga diri keluarganya karena perilaku dan akhlaq buruk yang diperlihatkan anak-anak yang dilahirkannya. Untuk itu, hal penting yang harus selalu kita lakukan adalah memohon kepada Allah semoga Ia menolong dan mengkaruniakan kita pendamping terbaik dan anak-anak yang shalih dan shalihah. Al Qur’an menuntun doa yang begitu indah tentang hal ini sbb:
Dan orang orang yang berkata: “Ya Tuhan Kami, anugrahkanlah kepada Kami isteri-isteri Kami dan keturunan Kami sebagai penyenang hati (Kami), dan Jadikanlah Kami imam bagi orang-orang yang bertakwa. (QS. Al-Furqan [25]:74).
Pasangan (istri) seperti apakah yang qurrota a’yun itu? Tentu saja istri yang menyejukan ketika dipandang, dapat menjadi tauladan bagi siapapun. Ia juga tidak akan pernah memperlihatkan wajah
yang muram durja, berbicara ketus dan rona wajah yang menyeramkan. Akhlaknya akan terlihat jauh lebih indah dibanding
kecantikan wajah dan tubuhnya. Akhlaqnya akan tercermin dalam perilakunya sehari-hari, baik terhadap suami maupun orang lain di luar keluarganya (tetangga), seperti senantiasa hormat meski suaminya berumur sama dengannya, atau senantiasa menghargai siapapun yang ia temui termasuk anak kecil sekalipun. Kata-kata yang keluar dari mulutnya terasa menyejukan, bersih dan tidak pernah ada yang melukai.
Oleh karena itu, meski ia terus beranjak tua dan berubah karena perjuangannya dalam melahirkan dan membesarkan anak-anaknya, namun akan tetap kelihatan cerah dan bersinar. Hal itu tiada lain karena cerminan dari suasana hati yang senantiasa bersih dan bening. Di samping itu, ia juga akan senantiasa bersyukur, menghadapi setiap kejadian dengan sabar dan yakin akan pelajaran dari Allah. Istri seperti ini tidak pernah meminta hal yang di luar kemampuan suaminya. Ia juga akan senantiasa memohon izin kepada suami untuk melakukan apapun yang akan ia kerjakan.
Bila paparan di atas bicara tentang istri yang sholihah, yang menjadi perhiasan terindah bagi para suami, bagaimana pula gambaran suami sholih yang menjadi pemimpin terbaik bagi para istri? Bagi suami yang sholeh, istri akan senantiasa menjadi orang spesial dalam benak dan kehidupannya. Suami seperti ini akan senantiasa bersih ketika mau berhadapan dengan istri dan memanggil dengan panggilan terbaik.
Jika kondisi istri berubah secara fisik, karena perjuangannya mengurus rumah tangga, ia akan menghiburnya dengan keuntungan-keuntungan di akhirat. Ia juga akan menutup kejelekan yang dimiliki istri serta merasa terus tertuntut untuk melakukan kewajiban yang benar.
Tingginya derajat suami ditentukan oleh perjuangannya menjadi pemimpin rumah tangga, sehingga ia akan terus menuntut dirinya untuk senantiasa menjadi tauladan yang terbaik bagi keluarga yang dipimpinnya. Seorang suami pilihan Allah tidak pernah mau jadi beban bagi istrinya. Ia akan senantiasa memuji dan membuat istri senang, menjadikan kekurangan istrinya menjadi ladang amal untuk berlapang hati dan membantunya selalu berjuang untuk memperbaiki diri.
Ia juga akan selalu berlapang dada bertukar pikiran membahas masalah-masalah yang ada di keluarganya dengan adil. Pada malam hari, ia akan mengajak istrinya untuk bermunajat menghadap Allah bersama-sama, meminta kepada Allah sebuah keluarga yang mendapatkan perlindungan-Nya pada saat tiada lagi perlindungan lain selain hanya dari-Nya. Memohon dikaruniakannya sebuah yang keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah, bahagia di dunia dan akhirat.
Waallahu a’lam bi alshawab
Langganan:
Postingan (Atom)