Laman

Selasa, 26 November 2013

Nikah Bawah Tangan, Masih Sesuai Jaman-kah?

“Umumkanlah pernikahan ini dan hendaklah dilaksanakan akad nikah itu di masjid-masjid dan tabuhlah rebana atas pernikahan itu “ (HR Achmad dan Tirmidzi) Namanya Mohammad Iqbal Ramadhan, diusianya yang menjelang remaja, ia mesti berjuang keras hanya untuk mendapat pengakuan dari laki-laki yang ingin ia sebut “ayah”. Putra pedangdut Machica Mochtar itu terpaksa menelan kecewa saat upaya sang ibu yang mencoba mengejar pengakuan melalui jalur hukum tak menemui hasil. Cita-cita untuk menulis nama sang ayah di akta kelahiran pun kandas sudah. Ada apa sebenarnya dengan Iqbal Ramadhan? Berdasar pengakuan Machica, saat dirinya menikah dengan ayah Iqbal, perkawinan itu tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan perkawinan. Orang biasa menyebut dengan istilah “nikah sirri” atau nikah “bawahtangan“. Tentu tak ada buku nikah, akta nikah dan semacamnya. Maka saat laki-laki mantan pejabat tenar pada masa Orba itu mengelak dan tidak mengakui telah terjadi perkawinan, tangan hukum tak mampu menjangkaunya. Banyak Machica dan Iqbal di sekitar kita. Mereka yang harus menjadi korban dari praktek kawin bawahtangan, nikah siri, atau apapun istilahnya. Kaum perempuan dan anak-anak yang banyak menanggung resiko dan menerima nasib tak beruntung, bahkan tragis. Dari mulai tak adanya pengakuan, tak terpenuhinya hak nafkah, status, hingga urusan perwarisan, dll. Anehnya praktek nikah beginian masih saja kerap terjadi. Bahkan akhir-akhir ini kembali popular setelah beberapa pesohor melakukannnya. Yang menggelisahkan, saat melakukan praktek itu sembari mencari pembenaran dari doktrin-doktrin agama. Pengertian dan Dampak Negatif Pengertian nikah siri, adalah suatu akad yang dilakukan calon suami dan calon istri yang cenderung kepada maksud merahasiakan perkawinannya. Dilakukan tanpa izin dari walinya, tidak dihadiri dua orang saksi yang muslim dan adil, tidak diumumkan serta tidak dicatat dalam akte resmi. Praktek semacam ini jelas terlarang dalam islam. Sebagaimana sabda Nabi: “Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali.” [HR Muslim). Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Aisyah ra, Rasulullah saw pernah bersabda: "Wanita mana pun yang menikah tanpa mendapat izin walinya, maka pernikahannya batil; pernikahannya batil; pernikahannya batil". [HR Muslim). Nikah sirri adalah suatu akad yang dilakukan sepasang calon pengantin, yang dihadiri dua orang saksi yang muslim dan adil, dengan izin wali yang mursyid, dengan “wasiat” merahasiakan atau menyembunyikan akad, tidak diumumkan dan tidak dicatat dalam akte resmi. Nikah sirri adalah suatu akad nikah yang tanpa izin wali atau atas izinnya, dihadiri dua orang saksi, seorang laki-laki dan seorang wanita, yang tidak dicatat dalam akta nikah resma, suatu akad nikah yang terpenuhi semua syarat dan rukun dari sisi syar’i, namun tidak dilakukan pencatatan oleh lembaga yang berwenang. Definisi ini yang oleh MUI disebut sebagai nikah bawahtangan. Dari beberapa pengertian di atas jelas bahwa suatu perkawinan yang dilaksanakan oleh masyarakat islam baik rukun dan syaratnya terpenuhi atau tidak, yang tidak dihadiri dan tidak dicatat oleh petugas dari lembaga yang berwenang melakukan pencatatan perkawinan (KUA), biasanya dimasyarakat popular dengan istilah “Nikah sirri”. Secara yuridis, sistem hukum di Indonesia tidak mengenal istilah nikah sirri atau nikah di bawah tangan dan semacamnya. Artinya praktek demikian bisa dibilang sebagai praktek illegal. Dalam UU No 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat 2 dikatakan bahwa ; “tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku". Dalam pasal 6 ayat 2 Kompilasi Hukum Islam tertulis:”Perkawinan yang dilakukan diluar pengawasan Pegawai Pencatat nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.” Karena diposisikan illegal, dengan demikian akibat yang timbul dari perkawinan tersebut pun tidak memiliki kekuatan hukum. Status suami atau istri, anak, dan semacamnya tentu saja tidak dijamin oleh hukum. Hak suami – istri, juga hak anak dalam hal nafkah, waris dan status, manakala terjadi sengketa menjadi sulit untuk dimintakan perlindungan secara hukum karena bukti (bayyinah) otentik tentang terjadinya perkawinan berupa akte nikah ataupun kutipannya tak bisa dihadirkan. Maka anak hasil nikah siri secara hukum hanya mempunya hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu. Hal ini mengacu pada pasal 42 dan 43 (1) UU No 1 1974 yang bunyi : “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah” (Pasal 42), dan “Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.” (Pasal 43 ayat 1). Akibat lain yang mungkin timbul adalah terjadinya pelanggaran jumlah istri yang menyalahi aturan syariat islam, karena tidak bisa dicari pembuktiannya secara pasti. Bagi perempuan bisa juga terjerumus praktek poliandri (bersuami lebih dari satu). Praktek yang amat terlarang dalam islam. Secara sosilogis, para pelaku nikah sirri-pun tidak leluasa bersosialisasi mengingat adanya stigma tentang tabunya nikah sirri. Bagi para perempuan bahkan sering dianggap sebagai istri simpanan / istri tidak sah. Pentingnya Pencatatan Pada masa Rasulullah saw maupun sahabat belum dikenal adanya pencatatan perkawinan. Jangankan pada masa Rasul, zaman buyut dan kakek kita pun pencatatan belum dianggap penting. Pada zaman Nabi, perkawinan sah apabila telah memenenuhi syarat dan rukunnya. Untuk diketahui warga masyarakat, pernikahan pun di'ilankan, diumumkan kepada khalayak luas, antara lain melalui media walimatul-'ursy. Bila terjadi perselisihan atau pengingkaran telah terjadinya perkawinan, pembuktiannya cukup dengan alat bukti persaksian. Berkait dengan pengumuman ini Nabi saw bersabda: Umumkanlah pernikahan dan pukullah rebana [HR. Ibnu Majah dari 'Aisyah]. Dalam hadist lain Nabi juga bersabda: Adakanlah walimah (perhelatan) meskipun hanya dengan memotong seekor kambing [HR. al-Bukhari dari 'Abdurrahman bin 'Auf]. Akan tetapi karena perubahan dan tuntutan zaman serta demi pertimbangan kemaslahatan, di beberapa negara muslim, termasuk di Indonesia, telah dibuat aturan yang mengatur perkawinan dan pencatatannya. Dikandung maksud demi tertibnya pelaksanaan perkawinan dalam masyarakat, adanya kepastian hukum, dan untuk melindungi pihak-pihak yang melakukan perkawinan itu sendiri serta akibat dari terjadinya perkawinan, seperti nafkah isteri, hubungan orang tua dengan anak, kewarisan, dan lain-lain. Perubahan hukum, khususnya berkait dengan pencatatan perkawinan dinilai penting mengingat perkembangan dan tuntutan zaman yang mengandaikan berbagai keteraturan dalam hal-hal kependudukan dan administrasi Negara. Perubahan hukum semacam ini adalah sah sesuai dengan kaidah fiqhiyah yang berbunyi: لاَ يُنْكَرُ تَغَيُّرُ اْلأَحْكَامِ بِتَغَيُّرِ اْلأَزْمَانِ. Artinya: Tidak diingkari perubahan hukum karena perubahan zaman. Ibnu al-Qayyim menyatakan : تَغَيُّرُ اْلفَتْوَى وَاخْتِلاَفُهَا بِحَسْبِ تَغَيُّرِ اْلأَزْمِنَةِ وَاْلأَمْكِنَةِ وَاْلأَحْوَالِ وَالنِّيَّاتِ وَاْلعَوَائِدِ. Artinya: Perubahan fatwa dan perbedaannya terjadi menurut perubahan zaman, tempat, keadaan, niat dan adat istiadat [I'lam al-Muwaqqi'in, Juz III, hlm. 3]. Pada dasarnya, fungsi pencatatan pernikahan adalah agar seseorang memiliki alat bukti (bayyinah) untuk membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah melakukan pernikahan dengan orang lain. Sebab, salah bukti yang dianggap absah sebagai bukti syar’iy (bayyinah syar’iyyah) adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara. Ketika pernikahan dicatatkan pada lembaga yang berwenang, tentunya seseorang telah punya sebuah dokumen resmi yang bisa ia dijadikan sebagai alat bukti (bayyinah) di muka majelis peradilan, ketika ada sengketa yang berkaitan dengan pernikahan, maupun sengketa yang lahir akibat pernikahan, seperti waris, hak asuh anak, perceraian, nafkah, dan lain sebagainya. Disamping itu pencatatan perkawinan selain substansinya untuk mewujudkan ketertiban hukum juga mempunyai manfaat preventif, seperti supaya tidak terjadi penyimpangan rukun dan syarat perkawinan, baik menurut ketentuan agama maupun peraturan perundang-undangan. Tidak terjadi perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang antara keduanya dilarang melakukan akad nikah. Menghindarkan terjadinya pemalsuan identitas para pihak yang akan kawin, seperti laki-laki yang mengaku jejaka tetapi sebenarnya dia mempunyai isteri dan anak. Tindakan preventif ini dalam peraturan perundangan direalisasikan dalam bentuk penelitian persyaratan perkawinan oleh PPN, seperti yang diatur dalam Pasal 6 PP Nomor 9 Tahun 1975. Keharusan mencatatkan perkawinan dan pembuatan akta perkawinan, dalam hukum Islam, diqiyaskan kepada pencatatan dalam persoalan mudayanah yang dalam situasi tertentu diperintahkan untuk mencatatnya, seperti disebutkan dalam firman Allah surat al-Baqarah ayat 282: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya … . Apabila akad hutang piutang atau hubungan kerja yang lain harus dicatatkan, mestinya akad nikah yang begitu luhur, agung, dan sakral lebih utama lagi untuk dicatatkan. Berdasarkan mafhum muwafaqat dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa tranksaksi utang-piutang saja disyariatkan untuk dituliskan, tentu akan lebih penting lagi mencatatkan akad (tranksaksi) yang mengikat kehidupan dua insan dalam bentuk perkawinan. Apalagi, perkawinan merupakan akad yang yang sangat kuat (mitsaqan ghalizan) Qiyas tersebut dalam istilah ushul fikih disebut qiyas al-aulawi (analogi yang hukum nya pada furu’ lebih kuat daripada yang melekat pada asalnya). Pencatatan perkawinan yang diwajibkan oleh negara nyatanya mengantarkan tercapainya kemaslahatan bagi kehidupan warganegara. Penetapan hukum atas dasar kemaslahatan merupakan salah satu prinsip dalam penetapan hukum Islam, sebagaimana disebutkan dalam qaidah: تََصَرُّفُ اْلاِمَامُ عَلىَ الرَّعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ. Artinya: Suatu tindakan pemerintah berintikan terjaminnya kepentingan dan kemaslahatan rakyatnya. Maka bagi setiap muslim-muslimah, para pemuda/i, yang telah mampu menikah. Menikahlah! Carilah pasangan yang terbaik, untuk mewujudkan kebahagiaan dunia akhirat. Tapi jangan lupa, bersikaplah gentle (kesatria)! catatkan pernikahan anda pada lembaga yang berwenang (KUA) ! …. Berani?! http://edukasi.kompasiana.com/2012/10/09/nikah-bawah-tangan-masih-sesuai-jaman-kah-494345.html

Musuh Itu Bernama Perceraian

Tatanan pranata sosial dalam masyarakat akan diawali dari konsepsi dasar ajaran Islam melalui sunnah Nabi Muhammad yang kita sebut dengan perkawinan, perkawinan sebagaimana dalam UU Perkawinan No 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai bentuk hubungan antara laki dan perempuan yang kekal dan abadi untuk tujuan yang mulia, Tujuan dari perkawinan bisa kita tangkap sebagai bentuk pakta integritas yang sudah membumi dengan empat hal, yakni, sebagai penjagaan diri (Hifdzun Nafs) dari hal-hal yang bisa menjerumuskan diri kita dalam masalah yang bertentangan dengan ajaran agama dan nilai serta moral yang melingkupi kita, kedua sebagai upaya melestarikan keturunan (Hifdzun Nasl) dengan perkawinan akan lahir keturunan-keturunan yang bisa menjadi generasi penerus dari aset bangsa dan agama, ketiga sebagai bentuk penjagaan dan pencitraaan nilai-nilai agama (Hifdzun Din). Perkawinan sebagai bentuk penyatuan dua pribadi yang berbeda dalam banyak hal, tentunya tidak semudah membalikkan telapak tangan untuk meraih kehidupan perkawinan yang sakinah. Perbedaan-perbedaan itu bila tidak disikapi dengan baik, maka akan banyak menimbulkan konflik dalam rumah tangga. Seperti yang dialami oleh seorang istri yang diungkapkan di sebuah blog internet, yaitu: “Saya pikir, kalau niat kita benar, pasti hal itu akan terhindarkan. Ternyata hal itu terjadi pada saya. Rasanya sangat terkejut dengan makhluk bernama lelaki yang jadi suamiku saat itu. Segala sesuatu yang tidak saya senangi ada di diri suami. Saya sangat kesal. Ditambah lagi suami tidak sensitive, rasanya saat itu saya kaya orang yang salah pilih suami. Maklumlah proses ta’arufnya singkat, karena niat lillahi ta’ala, ya nikah deh.” “Begitupun dengan suamiku, ngotot-ngototan pendapat kerap terjadi dan rasanya masing-masing merasa paling benar. Seiring dengan berjalannya waktu ketika saya berusaha menerima suami apa adanya, mengembalikan niat awala saya menikah dengannya, di kala itu semuanya serba indah dan membahagiakan dan ternyata berhasil. Ketika saya iklas menerima suami apa adanya dan tetap lemah lembut kepadanya subhanalloh, kata-kata saya lebih mudah dicerna oleh suami saya! Dan yang saya inginkan tersampaikan dengan lancar, suami pun lebih mengerti dan mau membuka dirinya tentang apa yang mengganjal di antara kami”. Pada umumnya kehidupan rumah tangga tidak lepas dari konflik. Bahwa dalam rumah tangga adalah hal yang biasa kalau kadang terjadi perbedaan dan pertentangan pendapat yang terjadi. Namun ada kecenderungan dalam masyarakat yang menganggap konflik sebagai hal yang kurang baik dan harus dihindari. Konflik sering dituding sebagai penyebab terjadinya hal-hal yang kurang menyenangkan dalam suatu hubungan, seperti perceraian dan perpisahan. Padahal semestinya ketiadaan konflik dapat menunjukkan adanya sikap apatis dan ketidak terlibatan dalam hubungan, sebaliknya, konflik dapat memberikan nilai positif apabila ditangani dengan baik. Dan tugas suami istri adalah bagaimana mengatasinya jika timbul konflik. Bahkan, rumah tangga orang-orang sholeh juga tidak lepas dari masalah, perselisihan, pertengkaran dan kemarahan. Sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Sahl Ibn Sa’ad, dia menceritakan, Rasulullah mendatangi rumah Fatimah, namun beliau tidak menemukan Ali. Maka beliau bertanya kepada Fatimah “ Mana anak paman mu (Ali)? Fatimah menjawab, kami sedang bertengkar yang membuat aku marah, maka dia keluar dan tidak tidur siang di rumahku” Perkembangan waktu seiring perkembangan zaman dan teknologi sebagai akibat arus globalisasi di mana nilai-nilai agama dan norma masyarakat mulai pudar mengakibatkan konflik yang ada dalam rumah tangga semakin kompleks semakin parah ketika suami istri mempertahankan ego dan kepentingan dan tidak di sikapi dengan arif, maka menjadi sangat wajar ketika sekarang angka perceraian dalam rumah tangga semakin meningkat. Perceraian semestinya, bukan solusi yang tepat bagi rumah tangga yang sedang terjadi konflik, sekali pun agama membolehkan tetapi itu menjadi sesuatu yang dibenci oleh Allah dan menjadi bentuk bagian dari dekadensi dan penisbian nilai-nilai moral masyarakat. http://edukasi.kompasiana.com/2012/10/09/musuh-itu-bernama-perceraian-494337.html

MUI, Penguasa Halal Haram di Negara Indonesia

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan pasal 2 menyatakan, “pembangunan pangan diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang memberikan manfaat secara adil dan merata berdasarkan kemandirian dan tidak bertentangan dengan keyakinan masyarakat”. Sementara pasal 3 menegaskan, tujuan pengaturan, pembinaan dan pengawasan pangan adalah : a. tersedianya pangan yang memenuhi persyaratan keamanan, mutu, dan gizi bagi kepentingan kesehatan manusia; b. terciptanya perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung jawab, dan c. terwujudnya tingkat kecukupan pangan dengan harga yang wajar dan terjangkau sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Ketentuan di atas, dielaborasi lagi dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Tujuannya adalah : a. meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri; b. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa; c. meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen; d. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi; e. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha; f. meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen. Kutipan di atas menunjukkan bahwa antara pangan dan konsumen terdapat hubungan yang saling terkait. Pangan perlu jelas status kehalalannya, sehingga bermanfaat bagi konsumen, dan konsumen dilindungi hak-haknya, sehingga siapapun yang memproduksi barang atau jasa, dapat memenuhi persyaratan yang telah ditentukan oleh agama dan peraturan perundang-undangan. Apabila diteliti lebih lanjut, keberadaan peraturan perundang-undangan di atas, juga merupakan penjabaran dari rambu-rambu agama, baik yang berkaitan dengan soal makanan maupun barang-barang produksi lainnya yang digunakan manusia, yang dalam bahasa agama disebut dengan ketentuan halal, baik barangnya, proses maupun pengolahannya. Fatwa Halal MUI Masyarakat Indonesia sebagian besar memeluk agama Islam. Karena itu mereka yang menjadi bagian terbesar dari konsumen terhadap barang dan jasa, perlu mendapat perlindungan. Majelis Ulama Indonesia (MUI) dipercaya oleh Pemerintah (Departemen Agama) dan masyarakat untuk melaksanakan upaya perlindungan tersebut, yang secara teknis diformat dalam bentuk fatwa, setelah dilakukan audit oleh Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) MUI. Karena itu fatwa MUI merupakan bagian penting dari usaha memberikan perlindungan kepada konsumen, yang selanjutnya berdasar atas Fatwa Halal MUI tersebut, produsen setelah memenuhi kriteria dan persyaratan tertentu, diberikan selembar sertifikat (syahadah) bahwa produk atau usaha jasa, dinyatakan halal. Sejak kelahirannya, MUI telah mengeluarkan fatwa yang cukup banyak, menyangkut berbagai persoalan sosial kemasyarakatan, ekonomi, politik, agama, dan lain-lain sesuai permintaan masyarakat. Mengapa MUI yang harus memberikan fatwa ? Karena MUI menyadari dirinya sebagai ahli waris tugas-tugas kenabian (waratsah al-anbiya’) yang di dalamnya para ulama bersama zuama dan cendekiawan muslim untuk memberikan kesaksian akan peran kesejarahan bagi upaya izzul Islam wal muslimin. Karena umat Islam adalah bagian terbesar dari bangsa Indonesia, maka wajar jika umat Islam memiliki peran dan tanggung jawab terbesar pula bagi kemajuan dan kejayaan Indonesia di masa depan. Sebagai organisasi yang berorientasi khidmah (pelayanan) kepada umat, ada sembilan khidmah yang dilakukan; 1). Diniyah (keagamaan); 2. Irsyadiyah (pencerahan); 3). Ijabiyah (memberikan jawaban positif); 4). Hurriyah (independen); 5). Ta’awuniyah dan Ukhuwwah (tolong menolong dan persaudaraan); 6). Syuriyah (musyawarah); 7). Tasamuh (toleran); 8) Qudwah (keteladanan) dan 9). ad-Dualiyah (Internasional). Dari sembilan orientasi tersebut, dijabarkan ke dalam lima peran utama, yaitu 1). Waratsatul anbiya (ahli waris tugas-tugas kenabian); 2). Mufti (pemberi fatwa); 3). Ri’ayah wa khadim al-ummah (Pembimbing dan lepayan umat); 4). Harakah al-Ishlah wa al-Tajdid (Gerakan reformasi dan pembaharuan); dan 5). Penegak amar ma’ruf nahi munkar. Meskipun MUI bukanlah satu-satunya lembaga atau organisasi yang memberikan fatwa, tetapi setidaknya secara kelembagaan MUI merupakan representasi dari kelompok masyarakat Muslim yang ada. Karena itu, adalah wajar sekiranya MUI diharapkan dapat memainkan fungsi ijabiyah dan irsyadiyahnya bagi kemashlahatan masyarakat. Fatwa Halal Sebenarnya yang menentukan halal dan haramnya adalah agama bukan MUI. Karena ketentuan halal dan haram sudah diatur dalam Alqur’an maupun Alsunnah. Alqur’an memberikan rambu bahwa prinsipnya makanan dan produk yang dihalalkan adalah yang baik-baik, QS. al-Maidah (5):4 (يسئلونك ماذا أحل لهم قل أحـل لكم الطيبات). QS. al-A’raf (7):157 (ويحل لهم الطيبات ويحرم عليهم الخبائث). Rasulullah saw juga menjelaskan : “Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan orang-orang yang dalam perjalanan” (أحل لكم صيد البحر وطعامه متاعا لكم وللسيارة). Demikian juga makanan yang haram diatur secara tegas. QS. al-Maidah (5):3 meegaskan : (حرمت عليكم الميتة والدم ولحم الخنزير وما أهل لغير الله والمنخنقة والموقوذة والمتردية والنطيحة وما أكل السبع الا ما ذكيتم وما ذبح على النصب وأن تستقـسموا بالأزلام ) artinya : “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk dan yang diterkam binatang buas, kecuali yantg sempat kamu menembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah”. Selanjutnya setelah barangnya jelas halal atau haramnya, Alah juga menegaskan agar hamba-hamba-Nya mengonsumsi yang sudah jelas kehalalannya. QS. al-Baqarah (2):168 (يا أيها الناس كلوا مما فى الأرض حلالا طيبا ولا تتبـعوا خطوات الشيطن انه لكم عدو مبين ) artinya “Wahai umat manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di muka bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu”. Dengan mengacu kepada rambu-rambu tersebut dan masih banyak ayat maupun sunnah lainnya, maka MUI ketika akan memberikan fatwa, sudah barang tentu akan melibatkan LPPOM MUI. Di dalamnya ada para ahli/pakar yang mengetahui dan memahami tentang persoalan-persoalan yang terkait dengan suatu produk; makanan, minuman, atau produk lainnya seperti obat-obatan dan kosmetika, baik dari segi barang (‘ain)nya, proses, bahan pengolahannya; dan cara-cara pemrosesannya. Secara teknis di lapangan LPPOM MUI melakukan audit — baik terprogram maupun insidental tanpa sepengetahuan produsen — di lapangan, untuk uji sahih atas barang, proses dan produknya. dalam hal-hal yang memerlukan pemeriksaan dan uji laboratorium maka, dilakukan oleh ahli farmasi dan ahli lainnya yang terkait. Ini dimaksudkan, agar pertanggungjawaban dari fatwa halal yang dikeluarkan jelas secara akademik, medis, maupun kesehatannya. Karena bisa saja terjadi, barangnya halal, tetapi prosesnya tidak benar. Barangnya halal, prosesnya halal, tetapi ada bahan-bahan campurannya haram, maka barangnya akan jadi haram. Bahkan boleh jadi, barangnya halal, prosesnya benar, bahan campuran pengolahannya halal, tetapi karena kedaluwarsa, akan dapat membahayakan konsumen. Karena dampak madharat yang ditimbulkan inilah, maka barang tersebut menjadi haram untuk dikonsumsi. Mekanisme Penetapan Fatwa dan Sertifikat Halal Dalam menetapkan fatwa halal, MUI menetapkan prosedur dan langkah penetapan halal dilakukan dengan prosedur sebagai berikut: 1. Produsen mengajukan permohonan audit dengan mengisi formulir yang berisi tentang bahan-bahan yang digunakan (bahan pokok, olahan, tambahan) dan proses pengolahannya hingga packing dan penyimpanannya di gudang sampai distribusi penjualannya. 2. LPPOM-MUI menetapkan auditor, sekurang-kurangnya dua orang, dan jadwal pelaksanaan audit lapangan. 3. Auditor melaksanakan audit lapangan, dan mencocokkan antara isian formulir, mulai dari bahan yang digunakan, proses pengolahan, pengepakan (packing), penyimpanan, dan pendistribusian, sudah benar-benar sesuai dengan standar atau belum. 4. Auditor melaporkan hasil audit kepada LPPOM-MUI untuk dibahas secara internal oleh LPPOM-MUI. 5. Setelah dinyatakan bahwa hasil auditor sedah sesuai dengan isian, dan dinyatakan kehalalannya, LPPOM-MUI melaporkan kepada Komisi Fatwa MUI, untuk ditindaklanjuti. 6. Komisi Fatwa mengadakan rapat untuk membahas hasil audit LPPOM-MUI. 7. Setelah dinyatakan jelas kehalalannya, maka Komisi Fatwa mengeluarkan Sertifikat Halal yang ditandatangani oleh Direktur LPPOM, Ketua Komisi Fatwa MUI, dan Ketua Umum MUI. 8. Pengiriman/pengambilan sertifikat kepada/oleh produsen. Sertifikat Halal ini masa berlakunya dua tahun, sejak ditetapkan, dengan ketentuan apabila di kemudian hari, ternyata ada kesalahan/penyalahgunaan, yang berkaitan dengan bahan, atau hal-hal lain yang bertentangan dengan ketentuan kehalalan suatu produk, baik atas laporan masyarakat maupun temuan LPPOM-MUI, sertifikat halal dapat ditinjau/ditarik kembali. Sebelum masa berlakunya sertifikat halal habis, maka Produsen mengajukan pembaharuan sertifikat halal tersebut. Mengakhiri sketsa ini, keberadaan Fatwa MUI dalam upaya memberikan perlindungan kepada konsumen yang sebagian besar adalah umat Islam, merupakan suatu keniscayaan. Di dalam mengeluarkan fatwa, terlebih dahulu dilakukan audit atau pemeriksaan di lapangan atau di laboratorium dengan melibatkan para ahli/pakarnya. Dengan demikian seminimal mungkin dihindari terjadinya peluang tidak halalnya suatu produk yang dikonsumsi manusia, sebagai bentuk pertanggungjawaban dari peran dan fungsi perwujudan kemashlahatan bersama. Semoga bermanfaat. Allah a’lam bi al-shawab. http://edukasi.kompasiana.com/2012/09/27/mui-penguasa-halal-dan-haram-di-negeri-ini-490985.html

Manajemen Zakat

Dalam Islam, Negara mempunyai tanggungjawab untuk mengalokasikan berbagai sumberdaya dan potensi yang dimiliki Negara untuk kesejahteraan rakyat secara umum, maka masalah pengelolaan harta melalui pengaturan zakat digunakan sebagai sarana ntuk mendapatkan kehidupan yang lebih sejahtera. Islam mencegah penumpukan harta oleh sebagian kecil masyarakat dan menganjurkan distribusi kekayaan pada semua lapisan masyarakat. Cara pemindahan atau pemerataan kekayaan itu dimaksudkan agar si-kaya tidak merasa zakat yang dikeluarkannya sebagai kebaikan hati dan lebih merupakan sebuah kewajiban. Bila zakat dikelola, didistribusikan oleh Negara maka akan terdapat berbagai keuntungan, diantaranya: a. Muzakki lebih disiplin dalam menunaikan kewajibannya dan fakir miskin lebih terjamin pemenuhan dan perolehan haknya b. Fakir miskin tidak perlu meminta-minta haknya atas zakat harta si kaya c. Pembagian zakat akan lebih tertib, terkoordinasi dan tepat sasaran d. Zakat untuk kepentingan umum akan dapat disalurkan dan diawasi dengan lebih baik, lebih tepat sasaran. Namun bisa saja pengumpulan, pendistribusian dan pengelolaan zakat dikelola oleh pihak swasta atau oleh masyarakat umum asalkan saja dibawah pengendalian dan pengawasan pemerintah. Pengurus-pengurus zakat adalah petugas pengumpul, pengelola dan pendistribusi zakat dari para wajib zakat kepada mereka yang berhak menerima zakat. Mereka boleh menerima zakat walaupun mereka kaya sebab apa yang mereka terima merupakan upah dari jerih payahnya. Hazairin pernah mengusulkan dibentuknya bank zakat untuk mengumpulkan dan menditribusikan zakat kepada yang berhak terutama kaum miskin untuk disalurkan dalam bentuk pinjaman jangka panjang yang tidak berbunga untuk membangun lapangan kerja yang lebih produktif. Ini akan lebih efektif dari pada rumah gadai yang mencekik dan bank konvensional yang memberlakukan syarat berat pada kaum miskin. Seiring perkembangan jaman, peran pemerintah mulai tergeser, akan tetapi siapapun atau lembaga apapun yang mengelola zakat hendaknya dapat melaksanakan ketentuan dan dapat mencapai tujuan serta sasaran zakat, dapat mengelolanya sesuai prinsip amanah, transparan dan akuntable. Sayangnya, pelaksanaan manejemen zakat di Indonesia mengalami hambatan yang disebabkan oleh beberapa hal diantaranya: a. Pemahaman dan kesadaran untuk berzakat yang masih sangat kurang pada masyarakat karena memang mengeluarkan zakat dan menyisihkan harta untuk diberikan kepada orang lain sangatlah berat bila tidak dilandasi niat beribadah dan melaksanakan kewajiban yang diperintahkan Allah. b. Konsepsi fikih zakat yang kurang relevan lagi dengan kondisi sosial masyarakat modern seperti sekarang ini karena banyak aspek hasil kerja dan jenis harta maupun profesi yang seharusnya wajib mengeluarkan zakat tetapi karena konsep fikih yang Jumud, mandek¸ mengakibatkan banyak hal yang tidak tersentuh oleh kewajiban zakat. Misalnya saja zakat badan usaha, zakat profesi, zakat kekayaan intelektal dan keahlian dan lain-lain. c. Tidak terlaksananya pengelolaan zakat secara professional, terkoordinir dan tepat sasaran. Terutama pada pendistribusian secara tradisional dan sikap kurang percaya pada lembaga amil zakat yang ada. Di Indonesia, zakat yang diterima oleh Badan Amil Zakat maupun Lembaga Amil Zakat formal sangat tidak seimbang dengan jumlah penduduk muslim yang ada. Penyaluran zakat secara tradisional dari muzakki kepada orang yang dianggap berhak biasanya digunakan untuk meringankan penderitaan masyarakat (contoh zakat fitarh pada fakir miskin), untuk pembangunan dan usaha produktif (membangun tempat ibdah, sekolah, panti asuhan, koperasi, usaha peternakan), untuk memperluas lapangan kerja (diwujudkan alat usaha semisal; mesin jahit, alat tukang), dan digunakan untuk lumbung paceklik (cadangan musim paceklik) tidak sesuai dengan tujuan zakat sebagai dana pengembangan ekonomi umat bila zakat itu selalu berbentuk sumbangan konsumtif yang temporer. Di Indonesia, pemanfaatan zakat oleh masyarakat dikelompokkan menjadi 4 kategori, yaitu: a. Konsumtif tradisional: zakat dibagikan untuk digunakan oleh mustahiq demi memenuhi kebutuhan konsumtif mereka. Misalnya zakat fitah untuk fakir miskin demi mencukupi kebutuhan pangan mereka. b. Konsumtif kreatif: zakat diberikan dengan diwujudkan dalam bentuk lain dari barang semula dan diganti bentuk lain yang lebih berhasil guna. Contoh; beasiswa, alat-alat sekolah, dll. c. Produktif tradisional: zakat diberikan dalam bentuk barang-barang produktif seperti sapi, kambing, kerbau, mesin jahit, alat pertukangan untuk dikelola penerimanya. d. Produktif kreatif: zakat diberikan dalam bentuk modal yang dapat digunakan untuk membangun proyek sosial atau membantu modal pedagang dan pengusaha kecil. Pelaksanaan pemungutan zakat yang sesuai dengan tuntunan syariah secara ekonomis dapat menghapus tingkat perbedaan yang mencolok antara kaya-miskin, menciptakan redistribusi yang merata serta mengekang laju inflasi.

BETULKAH SELINGKUH ITU INDAH ?

BETULKAH SELINGKUH ITU INDAH ?
Ketika infotainment ramai memberitakan gosip bahwa si artis dan komedian “cilik” Daus Mini dikabarkan selingkuh, banyak teman yang ga percaya dan hanya menganggap hoax atau cari sensasi. Tapi lepas dari benar tidaknya kebenaran kabar itu ada sebuah keprihatinan bagi kita semua. Pertanyaannya, sebegitu parah-kah krisis rumah tanggaa yang sedang dialami oleh masyarakat kita ? Tanda - Tanda Awal Mungkin sebagian orang yang kita tahu rumah tangganya terjadi disharmoni pernah mengalami suatu keadaan dimana pasangannya tiba-tiba berubah dari sikap kebiasaannya. Mulai gampang marah, mudah tersinggung oleh hal-hal yang sepele, nampak tidak kerasan di rumah, suka bikin alasan sibuk ini dan itu, menjadi orang yang berbeda di mata pasangan dan keluarganya, tak ada salahnya mereka dan segenap anggota keluarga mulai waspada atas adanya kemungkinan : jangan-jangan suami atau ayah mereka telah memiliki WIL (Wanita Idaman Lain). Jangan-jangan imam keluarga yang mereka cintai ini telah mendua hatinya dan berkhianat dengan perempuan lain. Mengapa demikian? Berdasar pengamatan atas berbagai fakta tentang fenomena perselingkuhan, gambaran perilaku di atas sering ditampakkan oleh mereka yang terlibat dalam kisah cinta yang abnormal ini. Secara umum orang yang berselingkuh menunjukkan gejala yang hampir sama : menurunnya tanggung-jawab pada keluarga, mulai dari hal sederhana semisal perhatian hingga hal penting semisal nafkah. Menurunnya tingkat keberagamaan, ditandai dengan malasnya melakukan “ibadah” dan egois. Para peselingkuh lebih mengejar kesenangan pribadi dan kurang peduli dengan kesenangan atau kebahagiaan keluarga. Berbicara urusan perselingkuhan, WIL (Wanita Idaman Lain) bagi kaum pria dan PIL (Pria Idaman Lain) bagi wanita, mesti kita akui perkembangannya makin mencemaskan saja. Dulu pernah dipublikasikan hasil sebuah penelitian bahwa 2 diantara 3 laki-laki di Jakarta pernah berselingkuh. Penelitian yang dihelat untuk kaum perempuan yang bekerja, lagi-lagi di Jakarta, juga mengabarkan hal yang nyaris serupa. Di susul penelitian-penelitian yang masih terus terpublikasi, terlepas sejauh mana validitas metodologi dari penelitian tersebut, yang bikin kita layak prihatin adalah penegasan bahwa selingkuh seolah telah menjadi “budaya” baru dan berlaku tidak hanya pada laki-laki namun kaum perempuan pun merasa ikut “terpanggil”. Sehingga kita mungkin pernah mendengar sebuah akronim “SII” (Selingkuh Itu Indah). Betulkah selingkuh itu indah? Bila ada manusia yang bisa menikmati indahnya perselingkuhan, yang terhibur oleh pengkhianatan atas nilai-nilai suci pernikahan dan doktrin agama tentang larangan perzinahan, maka manusia semacam itu tergolong sebagai manusia yang kejam, manusia yang layak dicermati kewarasannya. Bagaimana tidak, manusia yang terhibur justru oleh pengkhianatan dan “dosa” tentu sebagai hal yang tidak normal, tidak wajar bahkan “menyimpang”. Selingkuh adalah Pengkhianatan Perselingkuhan adalah hubungan pribadi di luar nikah, yang melibatkan sekurangnya satu orang yang berstatus nikah, dan didasari oleh tiga unsur: (1) saling ketertarikan (2) saling ketergantungan (3) saling memenuhi secara emosional dan seksual. Perselingkuhan tidak selalu berarti hubungan yang melibatkan kontak seksual. Sekalipun tidak ada kontak seksual, tetapi kalau sudah ada saling ketertarikan, saling ketergantungan, dan saling memenuhi di luar pernikahan, hubungan semacam itu sudah bisa kita kategorikan sebagai perselingkuhan. Ada beberapa tahapan perselingkuhan, yaitu : Tahapan ketertarikan, yang terdiri dari ketertarikan secara fisik atau pun emosional. Karena tertarik pada seseorang, mulailah kita bercakap-cakap dan menjalin hubungan dengannya. Ketertarikan secara fisik mungkin oleh tampan atau kecantikan seseorang. Bisa juga oleh kepemilikan fisik yang lain seperti materi. Dalam beberapa kasus, perselingkuhan juga diawali oleh ketertarikan non-fisik. Perempuan atau laki-laki yang smart (cerdas), yang enak diajak bicara, mahir memberi solusi, enak menjadi tempat ”curhat” memiliki dayak tarik tertentu. Curhat, mengeluhkan problem, tidak selamanya menjadi pilihan yang tepat bila tidak bijak memilih orang karena bisa menjadi pintu masuk bagi hubungan yang tidak semestinya. Setelah itu, kita mulai merasa tergantung dengannya. Kita merasa membutuhkan dia. Saat dia tidak hadir, kita merasa tidak nyaman, sehingga kita mulai menanti-nantikannya. Mulai ada rasa rindu. Kita seperti terperangkap dalam pesona dan pengaruhnya. Dia menjadi begitu berarti. Bagi orang yang sudah berkeluarga, arti keluarga mulai tergeser oleh kehadiran ”idaman” baru itu. Mungkin tidak sepenuhnya tergeser, namun pesaing ”berat” itu jelas dan nyata Setelah rasa ketergantungan, mulailah proses saling memenuhi. Kita dengan dia merasa saling memenuhi kebutuhan emosional masing-masing. Misalnya, yang satu punya problem tertentu, lalu diceritakan kepada rekan yang dapat memenuhi kebutuhan emosionalnya, dan terus berlanjut. Biasanya, kalau ada unsur-unsur ini, hanya tinggal masalah waktu untuk terjadinya hubungan seksual antara kedua orang tersebut. Perselingkuhan jelas adalah pengkhianatan. Setidaknya ada dua hal penting yang telah dikhianati. Pertama, pengkhianatan atas tujuan berumah-tangga. Saat seseorang memutuskan menikah, memilih dengan sadar status baru entah sebagai suami atau istri, status itu jelas mengandung konsekuensi-konsekuensi. Menjadi suami memiliki kewajiban dan hak tertentu. Menjadi istri pun demikian. Kewajiban dan hak itu ada sesungguhnya untuk memudahkan pasangan tersebut mewujudkan kebahagiaan (sa’adah) ataupun ketenteraman (sakinah). Kebahagiaan atau ketenteraman seperti apa yang harus digapai oleh sepasang suami istri? Tentu adalah kebahagiaan bersama. Kebahagiaan yang dinikmati oleh suami dan pada saat yang sama juga dinikmati istri, ataupun sebaliknya. Dua anak manusia ini saling berbagi kebahagiaan, kesenangan, kepedulian, kenikmatan. Pada saat yang sama, karena kehidupan hanyalah perguliran antara yang menyenangkan dan menyusahkan, mereka juga berbagi beban penderitaan, kesusahan, kesedihan dan semacamnya. Prinsipnya mereka senang bersama, susah pun bersama. Berbagi tawa sekaligus air mata. Selingkuh, jelas menodai tujuan mewujudkan kebersamaan ini. Bila suami atau istri sedang berselingkuh mungkin ada bahagia, ada kenikmatan yang dia kecap walau kadang juga diikuti rasa bersalah. Tapi yang paling jelas adalah dia telah membuat pasangannya kecewa, tersakiti, terdzalimi, menderita lahir dan batin. Adakah yang merasa bahagia bila pasangannya berselingkuh? Pastinya tidak ada dan tidak akan pernah ada. Selingkuh adalah bentuk nyata dari egosime seseorang yang rela tertawa di atas penderitaan dan air mata orang-orang yang mestinya dicintai dan dibahagiakan. Betapa banyak biduk rumah tangga yang mesti karam sebelum berlabuh di pelabuhan kebahagiaan akibat perselingkuhan ini. Diawali dari percekcokan, saling selisih pendapat, saling merasa tidak nyaman, dan bila itu terus berlanjut dan tidak menemukan solusi secara elegan, sangat mungkin perceraian pun dipilih sebagai jalan keluar. Mungkin belum tersaji angka yang pasti korelasi antara perselingkuhan dan angka perceraian. Akan tetapi dengan menilik contoh-contoh mulai dari fakta di lingkungan terdekat kita, hingga berita yang terekspos di media mengenai tokoh-tokoh entah itu dari kalangan artis, pejabat publik maupun para pesohor lainnya, memberi gambaran bahwa tidak sedikit ikatan pernikahan berakhir akibat adanya perselingkuhan. Kedua, pengkhianatan atas tata nilai dan moralitas yang dijunjung tinggi semua agama tentang larangan perzinahan. Agama apapun tidak ada yang merestui perzinahan. Pada hakikatnya perselingkuhan adalah perzinaan. Diawali dengan zina anggota tubuh seperti zina mata, zina tangan dan yang lain, perselingkungan sangat mungkin terjebak pada zina yang sesungguhnya yakni terjadinya hubungan seksual antara pihak yang menjalin hubungan terlarang itu. Dalam pandangan Islam seorang yang berzina mendapatkan hukuman yang sangat berat. Jika belum menikah (zina ghoiru mukhshon), pelakunya harus dicambuk 100 kali, dan untuk yang sudah menikah (zina mukhshon) harus dirajam sampai mati. Hukuman yang berat ini akan menjadi pelajaran bagi pelakunya hingga menimbulkan jera sekaligus sebagai penebus dosa atas perbuatan yang dilakukan. Jika hukuman ini diterapkan, seseorang akan berpikir panjang sebelum melakukan perselingkuhan. Tentang hukuman bagi para pezina ghoiru mukhshon ini Allah berfirman dalam Surat an Nur ayat 2 sbb: ”Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada kedaunya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang beriman” (QS: 24 : 2) Juga sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Muslim Rasululullah SWA bersabda : ”Perawan dengan bujang yang berzina hendaklah didera seratus kali dan diasingkan dari negeri itu selama satu tahun (HR Muslim) Mengingat definisi selingkuh sebagaimana di atas setidaknya melibatkan satu orang yang telah menikah, maka peselingkuh dikategorikan sebagi pelaku zina mukhshon dan hukumannya dirajam sampai mati. Mengenai hal ini bisa dilihat dalam hadist berikut: ”Telah berkata Umar (khalifah kedua dalam pidatonya di muka umum) , Sesungguhnya Allah telah mengutus Muhammad dengan hak (benar) dan telah menurunkan kitab kepadanya. Maka diantara ayat-ayat yang diturunkan itu ada ayat ”rajam”. Kami telah membaca, menjaga, dan menghafalkan ayat itu. Rasululullah SAW telah merajam orang berzina dan kami juga telah menjalankan hukum rajam Saya sesungguhnya amat takut dikemudian hari kalau-kalau orang mengatakan, ’rajam tidak ada dalam kitab Allah.’ Maka dengan itu mereka sesat, meninggalkan kewajiban yang telah diturunkan Allah. Maka hukum rajam itu benar ada dalam kitab Allah atas orang yang berzina, laki-laki dan perempuan, apabila mukhshon, apabila ada saksi atas perbuatan itu, atau dia hamil, atau dia mengaku”. (HR Bukhori, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasai) Pasanganmu Ladang Amalmu Bagi orang yang ingin menikamati kebahagiaan yang hakiki, tiada pilihan lain, jangan pernah berselingkuh. Bila saat ini sedang terjerat paktek ”keji” itu segera hentikan dan bertobat. Bila selingkuh diawali oleh rasa tidak puas terhadap pasangan atas kekurangan yang dimilikinya, bukankah masih ada cara lain yang lebih bermartabat untuk mengupayakan solusi dari ketidak-puasan itu? Sepasang suami istri seharusnya menyadari bahwa tiada manusia yang sempurna. Kekurangan pasangan sesungguhnya bisa menjadi ladang amal bagi kita. Saat kita menyadari suami atau istri memiliki kelemahan dan kekurangan, itulah saat yang tepat bagi kita untuk membantunya menjadi orang yang lebih baik. Bukankah suami atau istri yang baik adalah mereka yang mampu membantu pasangannya menjadi orang yang lebih baik? Bukankah suami istri oleh Allah dalam QS al Baqarah 188 diibaratkan sebagai libas (pakaian) yang fungsinya antara lain menutupi aurat, menghangatkan dan memperindah? Terlepas dari segala kekurangan dan kelebihannya, suami atau istri kita sesungguhnya adalah manusia terbaik pilihan Allah yang dikirim-Nya untuk kita, agar hidup kita menjadi lengkap, agama kita menjadi sempurna dan bersamanya kita merangkai kebahagiaan. Kita harus meyakini bahwa pilihan Allah pasti yang terbaik. Allah Maha Tahu atas apa yang telah, sedang dan akan terjadi. Kekurangan suami atau istri bukan alasan bagi kita untuk berpaling dan meninggalkannya. Lebih elok bila kekurangan-kekurangan itu kita jadikan lahan untuk pemberdayaan diri, sebagai bahan untuk belajar, sehingga kita akan ”lulus” dan menjadi suami atau istri yang terbaik untuk pasangan kita. Amiin. Wallahu a’lam bisshowab

Pilih Satu; Dicerai, Dimadu, atau Diselingkuhi!

Ketika membaca judul itu, mungkin para istri dan wanita diseluruh dunia akan mengecam saya. Bagaimana tidak, tulisan di judul itu layaknya seperti menodongkan pistol kearah pada para wanita dan istri-istri untuk memilih satu dintara tiga pilihan yang sama-sama tidak mereka sukai. Beberapa orang wanita (istri) mungkin akan membaca tulisan ini dengan geram, marah, dan jengkel tingkat dewa seraya berucap (maaf); “kurang ajar nich orang”. Namun, diakui atau tidak, disukai atau tidak, inilah fenomena yang kerap terjadi dilingkungan masyarakat kita. Bahkan orang yang kita kenal mungkin ada yang pernah atau sedang mengalaminya. Tapi,… eeiiitttss, jangan su’udzan dulu, baca sampai selesai, baru marahlah pada saya. Ketika suami dengan gelap mata “bernafsu” untuk mempunyai istri lagi, ditopang dengan “mapanisasi kemakmuran”, tak jarang mereka “obral pesona” pada para wanita. Akibatnya, istri yang telah setia menemani jatuh bangun para suami, justru dipaksa untuk memilih; cerai, poligami atau diselingkuhi. Parahnya lagi kalo wanita (istri) “hanya” berprofesi sebagai ibu rumah tangga, yang tak punya kemampuan untuk mencari nafkah dan tergantung sepenuhnya pada nafkah “pemberian” suami. Wanita seperti ini tidak mempunyai posisi tawar sama sekali dan rentan untuk diperlakukan sewenang-wenang oleh suami mereka. Apalagi ditambah “fisik” istri yang tidak lagi menarik buat para suami. Sedangkan berjuta godaan “alien” diluar bumi pernikahan para lelaki bertebaran menyerang para suami dari kiri-kanan, depan belakang, atas bawah, serta kahayalan, mimpi, cita-cita dan alam sadar mereka. Lalu seperti guyonan yang sering dilontarkan para lelaki (maaf); “…iman sich kuat, imronnya yang manaa tahaaaan”. Mungkin para wanita segera protes dan interupsi; “…mas penghulu, apa nggak ada pilihan lain ? segera saja saya jawab dengan terharu; “…emang kalo para suami sudah kadung gelap mata terbutakan oleh cinta, mereka mau memberi kesempatan pada para istri untuk memilih..??? jawabannya; “tebak sendiri lah, antum a’lamu bi umuri dunyakum (engkau lebih tau urusan duniamu sendiri)” Saya tidak ingin membela “kaum” saya, para lelaki. Justru sebaliknya, saya justru ingin membuka pikiran “kaum” saya yang tersesat dijalan yang di klaim “benar”. Sebab kaum saya itu memang punya oknum yang dengan kurang ajar menjadikan “sunnah” dan ajaran agama sebagai kedok untuk menutupi nafsu mereka. …waduuuh, membela ibu-ibu tapi bisa-bisa saya malah di kucilkan oleh para lelaki , hehe, peace mas brow, pak brow… !!!! Di indonesia, mahar perkawinan untuk pengantin terbilang “sangat murah”. bagaimana tidak, hanya beberapa lembar uang seratus ribuan, atau seperangkat alat shalat. Bahkan di kecamatan tempat saya berdinas, hanya selembar uang lima puluh ribuan. Efeknya, para “oknum” lelaki dengan rakusnya mengikat janji berbekal selembar berwarna biru tersebut, dan …sah. Hal ini juga semakin diperunyam oleh “anggapan keliru” bahwa nikah bawah tangan itu juga sah. Temen disebelah saya bilang, “…salah wanita juga sih, senengnya nyari laki-laki yang berduit, perkara suami orang atau tidak, tak perduli lagi mereka. Perkara hanya dinikah bawah tangan/siri, jadi urusan ke 11, yang penting nikah, yang penting halal, yang penting sah” Dengan sinis, saya bilang, “sah dari mana? Emangnya Allah mensyariatkan pernikahan cuma untuk aspek menghalalkan “wati” (bersetubuh)? Emang tidak ada aspek perlindungan pada para wanita dan anak-anak sebagai generasi penerus ? Emang tidak ada aspek kemaslahatan jangka panjang yang jauuuh lebih besar dari pada “hanya” membentuk sebuah keluarga? Emang tidak ada aspek pembentukan masyarakat yang terikat oleh norma legalitas, moral dan budaya? Lalu apa bedanya dengan (maaf) binatang? …waaah semakin membingungkan nich, kaya bahasanya si Vicky gotik aja…hehehe
Sunnahkah Poligami itu..? Dalam sirah nabawiyyah dikisahkan sebuah bukti bahwa Nabi lebih lama setia dengan satu istri (28 Tahun) daripada berpoligami. Padahal, adat “perkawinan” pada saat itu sangat mengerikan (istibdha’, khaddan, badal, maqthu’, rahtun, syigar dan perakwinan seperti yang saat ini terjadi melalui ikhitbah dan mahar). Disamping itu, dari kesemua istri nabi, hanya satu yang berstatus gadis, yang lain adalah janda-janda perang yang memang membutuhkan perlindungan secara ekonomi dan lain sebagainya. Kalo kemudian diaplikasikan dengan (maaf) “kelakuan si kucing garong” jaman sekarang, ya ga connect! Nah, sunnahnya dimana ? Argumen bahwa poligami sunnah itu hanya modus, sinonim dengan penghindaran tanggung jawab dari adanya tuntutan untuk berlaku adil, yang sesuai realita, untuk bisa adil seperti penggambaran Al Quran, “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian…(An-Nisa: 129) hampir mustahil untuk dilakukan. Itulah mengapa ayat al-Qur’an : “Dan jika kamu khawatir tidak dapat berbuat adil (TUQSITU) terhadap anak-anak atau perempuan yatim (jika kamu mengawininya), maka kawinlah dengan perempuan lain yang menyenangkan hatimu; dua, tiga, atau empat. Jika kamu khawatir tidak dapat berbuat adil (TA’DILU) (terhadap istri yang terbilang), maka kawinilah seorang saja, atau ambillah budak perempuan kamu. Demikian ini agar kamu lebih dekat untuk tidak berbuat aniaya” (An-Nisa` 3) tidak menggunakan kata tuqsitu (adil secara materi) akan tetapi menggunakan kata ta’dilu yang berarti adil secara immaterial (termasuk kasihsayang dan cinta). Nah kalo sudah bicara urusan kasih sayang, cinta, perhatian dan lain sebagainya, bila sudah beristri lebih dari satu, masih adakah criteria adil itu ada jaminan akan diperoleh istri pertama? Tentu tidak, new comer akan lebih istimewa dari pada the older. Bahkan, bila adil dalam segi immaterial itu tidak atau sudah dipenuhi, tak mungkin akan hadir orang kedua, ketiga dan selanjutnya. Karena kan masih cinta.., masih sayang, mosok dengan orang yang dicintai malah rela berbagi dengan yang lain, tega menyakiti hati orang yang dicintai,…Benar tidak ibu-ibu? Nah bila dirunut lagi korelasinya dengan asbabun nuzul ayat poligami itu diturunkan, justru ayat ini meletakkan poligami pada konteks perlindungan terhadap yatim piatu dan janda korban perang. Syaikh Muhammad Abduh sendiri menyatakan dalam Al-Manar 4/287, bahwa poligami adalah penyimpangan dari relasi perkawinan yang wajar dan hanya dibenarkan secara syar’i dalam keadaan darurat sosial, seperti perang, dengan syarat tidak menimbulkan kerusakan dan kezaliman. Mungkin ini sebabnya kenapa nabi tidak poligami pada masa awal pernikahannya, Naaaah loe… ! Bahkan kitab Rûh al-Ma’âni karya Imam al-Alusi, menyimpulkan bahwa nikah justru menjadi haram bila mempelai pria mengetahui dirinya tidak mampu menjamin terpenuhinya hak-hak istri, hingga istri merasa tersakiti dan terdapat indikasi mencelakakannya. Bila diteliti lebih lanjut, bahkan Rasul SAW memerintahkan para sahabat yang beristri banyak untuk menceraikan mereka dan menyisakan hanya 4 orang, lha ini kan maqasid syari’ahnya untuk membatasi poligami yang seenaknya sendiri dan mengedepankan aspek “adil secara immaterial”. Hadits dalam Kitab Jami’ul Ushul XII/168 bahkan secara jelas menggambarkan; “Barang siapa yang mengawini dua perempuan, sedangkan ia tidak bisa berbuat adil kepada keduanya, pada hari akhirat nanti separuh tubuhnya akan lepas dan terputus”. Inilah fitrah semua orang tua di dunia ini, begitu juga dengan Rasul SAW, mana ada orangtua yang rela jika anak kesayangannya dipoligami, karena pasti akan menyakiti hati wanita dan juga hati orangtuanya.Ada pernyataan menarik yang mungkin selama ini tak pernah terekspose dan diketahui public, atau bahkan sengaja di hidden yaitu hadits dalam Jami’ul Ushul XII/162 yang isinya kurang lebih; Nabi SAW marah ketika mengetahui kabar bahwa Fathimah akan dimadu oleh Ali bin Abi Thalib RA. Ketika mengetahui kabar itu, kurang lebih beliau berkata: “Beberapa orang dari Bani Hasyim bin al-Mughirah meminta izin padaku untuk menikahkan anak perempuan mereka dengan Ali, Ketahuilah, aku tidak akan pernah memberikannya (izin), sekali lagi tidak akan. Kecuali Ali menalak putriku, baru kupersilakan menikahi putri mereka. Ketahuilah, putriku adalah bagian dari diriku, apa yang mengganggu perasaannya berarti juga menggangguku, apa yang membuatnya sakit hati adalah menyakiti hatiku juga.” Bila sudah begini, masih sunnahkah poligami yang berlaku di jaman sekarang ini? Endingnya, setelah membaca sampai disini, masih geram/marah dan jengkelkah para wanita (istri) pada tulisan saya ini ? atau justru para “suami dan bapak-bapak” yang berbalik geram, marah dan jengkel pada saya. Waaah, ngerriiii … ! Wallahu a’lam bisshowab

Anakku, Goyang Cesar & Buka’ Sithik Joss !

Goyang Cesar yang saat ini sedang booming telah menjadi virus yang menyebar ke seantero negeri. Bukan hanya di kota, pelosok desa, orang tua, remaja, anak-anak, bahkan balita-pun ikut larut dalam kegembiraan ketika lagu dengan irama rancak itu diputar. Dan tentu, tak meriah rasanya bila goyang khas cesar itu hanya dilakukan sendirian, kurang jozz katanya. Sebulan yang lalu, ketika ramadhan baru saja lewat, Talitha, anak perempuanku yang berumur 5 tahun dan Eyza, anak laki-lakiku yang berumur 2 tahun bergoyang ala cesar dihadapanku. Saat itulah waktu pertama kali aku dibuat terkejut saat tahu kedua anakku bisa mengikuti goyang ala cesar dengan baik “versi anak-anak”. Akupun bertanya darimana dia tahu goyang itu, dan siapa yang mengajarinya. Namun istri dan baby sitternya mengatakan bahwa tidak ada yang mengajari, karena keduanya mendapatkan “tutorial gratis” dari Tayangan TV di rumah. Mendengar jawaban istriku, semakin keheranan aku, betapa tidak, mereka hanya melihat beberapa kali dan sudah dengan “fasih” memperagakannya, hebat… pikirku. Namun yang membuat aku terkaget-kaget lagi, anakku juga meneriakkan kalimat “bukak sithik, joss” dengan lantangnya. Tentu saja teriakan tersebut dibarengi ekspresi lucu khas anak-anak dan cekikikan yang tak henti-hentinya. Setelah lagu dan ritual goyang cesar itu selesai, aku mencoba menyelidiki, apakah anakku tahu yang dimaksud dengan “bukak sithik, joss” itu. Spontan keduanya bilang, nggak tahu, kemudian mereka malah balik bertanya kepadaku. Waduuuh… ini sih namanya senjata makan tuan, pikirku. Trus sambil nepuk jidat, aku pun mencari jawaban apa yang kira-kira tepat untuk kedua anakku. Salah menjawab, wow… bisa fatal, maklum kedua anakku cerdasnya bukan main. Setelah beberapa saat aku mencari jawaban, namun tak kunjung ketemu. Aahhh, aku ada akal, aku ambil aja snack kesukaan mereka. Dan yupzzz…. mereka pun lupa karena saking asyiknya makan cemilan favorit mereka. Maklum, habis ngos-ngosan goyang Cesar dengan semangat 45, tentu saja mereka lapar dan haus. Namun sampai berapa lama aku bisa mengalihkan perhatian mereka tuntutan member jawaban. Dan, bila suatu saat mereka Tanya lagi trus harus aku jawab apa nich ! Mungkin inilah problem orang tua masa kini yang harus bisa lebih cerdas dari anak-anak kita. Bila tidak, maka kita akan jadi “bulan-bulanan” kecerdasan buah hati kita sendiri.