Laman

Selasa, 03 Desember 2013

HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI



Setelah pada makalah sebelumnya kita membahas seputar ketentuan-ketentuan dan aturanaturan
yang berkaitan dengan mahar, resepsi dan adab malam pengantin, kini kita akan membahas hak
dan kewajiban suami, isteri serta hak keduanya. Persoalan ini termasuk persoalan yang sangat penting
mengingat bahwa langgeng, harmonisnya sebuah rumah tangga sangat ditentukan oleh sejauh mana
kedua pasangan tersebut, suami isteri, melaksanakan tugas, kewajiban masing-masing. Selama
keduanya melaksanakan dan konsisten dengan kewajiban masing-masing, maka keharmonisan sebuah
rumah tangga besar kemungkinan akan diraih.
Selama ini, gagalnya rumah tangga terjadi lantaran masing-masing tidak mengetahui apa
kewajiban dan apa haknya, sehingga karena ketidaktahuannya itulah baik suami atau isteri menjadi
ngambang, tidak jelas apa yang harus dilakukannya. Demikian juga, gagalnya sebuah rumah tangga
juga disebabkan kedua pasangan hanya memperhatikan hak-haknya saja tanpa memperhatikan
kewajibannya kepada pasangannya itu. Yang terjadi? Tentu, ketimpangan dan ketidakseimbangan
lantaran hak lebih besar dituntut daripada kewajiban yang seharusnya dilaksanakan. Demikian juga
sebaliknya, ada pasangan yang lebih melihat dan memperhatikan kewajibannya tanpa memperhatikan
hak-haknya. Hal ini juga seringkali menimbulkan ketidakharmonisan sebuah rumah tangga, lantaran
pada akhirnya pasangan yang terlalu memperhatikan kewajibannya akan lelah dan bosan.
Untuk itu, demi langgeng dan harmonisnya sebuah rumah tangga, diperlukan keseimbangan
antara pelaksanaan hak dan kewajiban. Ketika si suami melaksanakan kewajibannya sebaik mungkin,
maka hakikatnya si isteri akan mendapatkan hak-haknya dengan penuh dan sempurna. Demikian juga,
ketika si isteri tersebut melaksanakan kewajiban-kewajibannya dengan baik dan ikhlas, maka berarti
hak-hak si suami telah dipenuhinya dengan benar dan sempurna.
Sebelum menginjak lebih jauh mengenai hak dan kewajiban suami isteri ini, perlu penulis
jelaskan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan hak dan apa pula yang dimaksud dengan
kewajiban.
Hak adalah sesuatu yang harus didapatkan dan diraih oleh seseorang, sementara kewajiban
adalah sesuatu yang harus ditunaikan dan dilaksanakan. Bagi seorang murid, haknya adalah
mendapatkan pendidikan dan pelajaran dengan baik, sementara kewajibannya adalah menghormati
guru, membayar uang sekolah dan mentaati peraturan sekolah. Demikian juga, hak isteri adalah
mendapatkan nafkah, dan perlakukan baik dari suaminya, sementara kewajibannya adalah mentaati
segala perintah suaminya selama hal itu tidak menyimpang dari ajaran Islam.
Untuk lebih mempersingkat kalam, baiklah kini kita ikuti bahasan dimaksud. Semoga tulisan
kecil ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca umumnya. Pahala tulisan ini
semoga sampai juga kepada ayah penulis yang telah lama meniggal, kakek, nenek, Iwing dan seluruh
nenek moyang penulis sebagai salah satu perantara dan sebab adanya penulis, juga kepada nenek
moyang para pembaca pada umummya. Selamat menikmati.

Kewajiban Isteri / Hak Suami
Di antara kewajiban isteri terhadap suaminya adalah:
1. Taat kepada suami
Isteri berkewajiban untuk mentaati segala perintah suami dengan catatan selama
perintah suami itu tidak mengajak kepada perbuatan maksiat kepada Allah dan selama
perbuatan tersebut sesuai dengan kemampuan isteri. Apabila perintah tersebut mengajak
berbuat maksiat kepada Allah, misalnya meminta isteri agar diijinkan untuk mendukhulnya dari
duburnya, maka si isteri tidak boleh menta'atinya. Dalil kewajiban isteri untuk mentaati
perintah dan kemauan suami adalah:

Artinya: "Dari Husain bin Muhshain dari bibinya berkata: "Saya datang menemui Rasulullah
saw. Beliau lalu bertanya: "Apakah kamu mempunyai suami?" Saya menjawab: "Ya".
Rasulullah saw bertanya kembali: "Apa yang kamu lakukan terhadapnya?" Saya menjawab:
"Saya tidak begitu mempedulikannya, kecuali untuk hal-hal yang memang saya
membutuhkannya". Rasulullah saw bersabda kembali: "Bagaimana kamu dapat berbuat seperti
itu, sementara suami kamu itu adalah yang menentukan kamu masuk ke surga atau ke neraka"
(HR. Imam Nasai, Hakim, Ahmad dengan Hadis Hasan).

Artinya: "Rasulullah saw pernah ditanya tentang isteri yang baik. Beliau menjawab: "Apabila
diperintah, ia selalu taat, apabila dipandang menyenangkan, dan ia selalu menjaga diri dan
harta suami (manakala suaminya tidak ada)" (HR. Nasa'i).
Namun dengan catatan selama perintahnya itu bukan untuk berbuat maksiat kepada
Allah. Apabila ia menyuruh bermaksiat kepadaNya, maka istri tidak boleh mentaatinya. Hal ini
didasarkan kepada dalil berikut ini:

Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Tidak ada kewajiban taat dalam berbuat maksiat kepada
Allah. Kewajiban taat itu hanyalah untuk perbuatan yang baik" (HR. Bukhari Muslim).

2. Berdiam diri di rumah, tidak keluar rumah kecuali dengan idzin suami.

Artinya: "Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah
laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu" (QS. Al-Ahzab: 33).
Dalam hal ini Imam Ibn Taimiyyah dalam bukunya Majmu al-Fatawa mengatakan:

Artinya: "Seorang isteri haram untuk keluar dari rumahnya kecuali ada idzin dari suaminya.
Apabila ia keluar rumah tanpa ada idzin dari suaminya, maka isteri tersebut sudah dipandang
sebagai isteri yang berbuat nusyuz, berdosa kepada Allah dan rasulNya serta ia berhak untuk
mendapatkan hukuman".

3. Ta'at dan tidak menolak apabila diajak berhubungan badan.

Artinya: "Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda: "Apabila suami meminta isterinya
untuk berhubungan badan, lalu isterinya itu menolak dan enggan, maka ia akan dilaknat oleh
para malaikat sampai pagi hari tiba" (HR. Bukhari Muslim).
4. Tidak mengijinkan orang lain masuk ke rumah, kecuali ada idzin dan ada keridhaan
dari suami.
Seorang isteri dilarang memasukkan ke dalam rumah laki-laki lain sekalipun laki-laki
itu adalah temannya sendiri ketika kuliah, atau saudara jauhnya selama dapat diperkirakan
bahwa si suami tidak akan menyukainya dan demi untuk menghindari fitnah. Namun, apabila
adik atau kakak si isteri atau orang lainnya yang diperkirakan si suami akan merelakan dan
meridhainya, maka tentu hal demikian diperbolehkan. Hal ini didasrkan kepada salah satu
hadits berikut ini:
Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Seorang isteri dilarang mengijinkan orang lain masuk ke
dalam rumahnya kecuali ada idzin dari suaminya" (HR. Muslim).

5. Dilarang melakukan puasa sunnat ketika si suami ada kecuali ada idzinnya.
Apabila si isteri hendak melakukan puasa sunnat ketika suaminya ada, maka ia harus
meminta idzin terlebih dahulu kepada suaminya. Hal ini dikhawatirkan ketika si isteri berpuasa,
lalu si suami meminta untuk berhubungan badan, tentu si isteri tidak dapat memenuhinya
karena ia sedang berpuasa. Hal lain, umumnya orang yang berpuasa itu lemas dan kurang
optimal dalam melayani suaminya. Untuk itu, si isteri harus meminta idzin terlebih dahulu
kepada suaminya manakala ia bermaksud untuk melakukan puasa agar si suami mengetahui
ketika pelayanan si isteri kurang optimal nanti. Mengapa dilarang melakukan puasa sunnat
kecuali ada idzin dari suaminya? Karena hokum melakukan puasa sunnat adalah sunnat saja,
sementara taat kepada suami hukumnya adalah wajib. Tentu yang wajib harus lebih
didahulukan daripada yang hukumnya sunnat.
Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Haram bagi seorang isteri melakukan puasa sunnat ketika
suaminya ada kecuali dengan idzinnya. Demikian juga seorang isteri tidak boleh mengidzinkan
orang lain memasuki rumahnya kecuali ada idzinnya" (HR. Bukhari).
6. Tidak menginfakkan sesuatu hartanya kecuali ada idzin dari suami.
Apabila si isteri bermaksud untuk infak dengan harta dari si suami, maka ia terlebih
dahulu harus meminta ijin dari suaminya. Demikian juga, apabila ia bermaksud memberikan
sesuatu kepada adik-adiknya atau keluarganya, maka ia harus meminta ijin terlebih dahulu.
Mengapa? Karena dalam ajaran Islam, harta yang diusahakan oleh si suami adalah milik si
suami. Sementara kewajiban si suami, bukan semata kepada isterinya, akan tetapi juga kepada
keluarganya (ibunya, adiknya dan lainnya). Untuk itu, pemberian apapun yang akan dilakukan
oleh si isteri, harus meminta ijinnya terlebih dahulu. Hal ini didasarkan kepada hadits berikut
ini:

Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Seorang isteri tidak boleh menginfakkan sebagian harta
suami kecuali ada idzinnya" (HR. Abu Dawud, Turmudzi, Ibn Majah dengan sanad Hasan).

7. Menjaga kehormata dirinya, menjaga putra putrinya juga harta suaminya ketika si
suami sedang tidak di rumah.
Hal ini berdasarkan firman Allah berikut ini:

Artinya: "Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri
ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)" (An-Nisa: 34).

Artinya: "Rasulullah saw pernah ditanya tentang isteri yang baik. Beliau menjawab: "Apabila
diperintah, ia selalu taat, apabila dipandang menyenangkan, dan ia selalu menjaga diri dan
harta suami (manakala suaminya tidak ada)" (HR. Nasa'i).

8. Mensyukuri pemberian suami, selalu merasa cukup dan melayani suami dengan baik.
Hal ini didasarkan kepada hadits berikut ini:

Artinya: "Abdullah bin Amr berkata, Rasulullah saw bersabda: "Allah tidak akan
memperhatikan seorang isteri yang tidak pernah mensyukuri pemberian suaminya , juga tidak
pernah merasa cukup dengan apa yang diberikan suaminya kepadanya" (HR. Nasai).

Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "…Lalu diperlihatkan kepada saya neraka, dan saya tidak
pernah melihatnya seperti yang saya lihat hari ini. Ternyata kebanyakan penghuninya adalah
para wanita". Para sahabat bertanya: "Mengapa ya Rasulullah saw?" Rasulullah saw menjawab:
"Karena mereka berbuat dosa sebelum mereka berbuat dosa kepada Allah. Mereka banyak
berdosa kepada suaminya, dan banyak meninggalkan kebaikan" (HR. Bukhari Muslim).

9. Berdandan dan mempercantik diri di hadapan suami.

Artinya: "Rasulullah saw pernah ditanya tentang isteri yang baik. Beliau menjawab: "Apabila
diperintah, ia selalu taat, apabila dipandang menyenangkan, dan ia selalu menjaga diri dan
harta suami (manakala suaminya tidak ada)" (HR. Nasa'i).

10. Tidak berbuat sesuatu yang dapat menyakiti dan tidak disukai oleh suami

Artinya: Rasulullah saw bersabda: "Tidak ada seorang isteri pun yang menyakiti suaminya di
dunia, kecuali isterinya dari bidadari surga akan berkata: "Janganlah kamu menyakitinya, Allah
akan membinasakan kamu. Dia itu adalah simpanan bagi kamu kelak yang hamper saja ia
berpindah kepada kami" (HR. Turmudzi, Ibn Majah dengan sanad Hasan).

11. Harus menjaga kelanggengan rumah tangga dan tidak boleh meminta talak tanpa ada
alasan syar'i yang jelas.

Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Wanita mana saja yang meminta untuk ditalak kepada
suaminya tanpa ada alasan yang jelas, maka haram baginya untuk mencium baunya surga"
(HR. Turmudzi, Abu Dawud dan Ibn Majah).

12. Berkabung selama empat bulan sepuluh hari ketika suaminya meninggal.
Bagi wanita yang ditinggal mati oleh suaminya, ia tidak boleh berhias, berdandan
menor, menikah lagi, juga tidak menerima pinangan laki-laki lain yang menggunakan kata-kata
yang jelas (tapi boleh menerima pinangan yang diucapkan dengan kata-kata sindirian=lihat
kembali makalah mengenai meminang) sebelum habis masa iddahnya (masa menunggunya)
selama empat bulan sepuluh hari (130 hari). Apabila masa iddah empat bulan sepuluh hari
telah habis, maka ia boleh berhias, berdandan dan menikah lagi dengan laki-laki lainnya. Hal
ini didasarkan kepada firman Allah swt berikut ini:
Artinya: "Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri
(hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari.
Kemudian apabila telah habis 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan
mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu
perbuat" (QS. Al-Baqarah: 234).

Kewajiban Suami / Hak Isteri

Di antara kewajiban suami atau hak isteri adalah:

1. Membayar mahar / mas kawin.
Pembahasan mengenai hal ini telah dibahas pada makalah sebelumnya tentang
Mahar, Resepsi dan Adab Malam Pengantin. Untuk lebih jelasnya, silahkan lihat kembali
kepada makalah tersebut.

2. Memperlakukan dan menggauli isteri sebaik mungkin.
Memperlakukan isteri dengan baik di antaranya dapat berwujud dengan tidak
menyakitinya, memperlakukannya sebagai mitra, teman bukan sebagai pembantu,
memberikan semua hak-haknya menurut kemampuan dan lainnya. Hal ini didasarkan
kepada firman Allah swt berikut ini:

Artinya: "Dan bergaullah dengan mereka (isteri-isteri) secara patut. Kemudian bila kamu
tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu,
padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak" (QS. An-Nisa: 19).

Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Sebaik baik kalian wahai laki-laki adalah orang yang
paling baik kepada keluarganya. Dan saya adalah orang yang paling baik kepada keluarga
saya" (HR. Turmudzi dan Ibn Hibban).

3. Memberikan nafkah, pakaian dan rumah / tempat tinggal dengan layak dan baik.
Yang dimaksud dengan nafkah di sini adalah nafkah yang diberikan oleh suami
untuk isteri dan anak-anaknya berupa makanan, pakaian, tempat tinggal dan lainnya
menurut ukuran yang layak berdasarkan kemampuan suami. Memberikan nafkah kepada
isteri dan anak-anak wajib hukumnya, hal ini didasarkan kepada firman Allah berikut ini:

Artinya: "Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan
orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan
Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa
yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah
kesempitan" (at-Talak: 7).

Artinya: "Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara
makruf" (QS. Al-Baqarah: 233).

Artinya: "Dari Jabir, Rasulullah saw bersabda: "…Bertakwalah kepada Allah tentang
perempuan, karena mereka itu adalah setengah umur dari kalian. Kalian mengambilnya
dengan amanah Allah, menjadikan halal kemaluannya dengan kalimah Allah. Kalian
berkewajiban untuk memberikan nafkah, pakaian kepadanya dengan makruf" (HR.
Muslim).

Artinya: "Mu'awiyah al-Qusyairi berkata: "Saya bertanya kepada Rasulullah saw: "Wahai
Rasulullah saw, apa hak isteri kami itu?" Rasulullah saw menjawab: "Memberi makannya
apabila kamu makan, memberi pakaian apabila kamu berpakaian, tidak boleh memukul
muka, jangan menjelekannya, dan jangan kamu pergi menjauhinya kecuali di dalam rumah
saja" (HR. Ab Dawud, Ibn Majah, Ahmad dan Nasai).
Apabila si suami pelit, tidak memberikan nafkah yang cukup untuk isteri dan anakanaknya
padahal dia mampu dan berkelapangan, maka si isteri boleh mencurinya dengan
baik-baik menurut kebutuhan untuk mencukupi kebutuhannya dan kebutuhan anakanaknya.
Hal ini didasarkan kepada hadits berikut ini:
Artinya: "Dari Siti Aisyah, Hind bint Utba bertanya kepada Rasulullah saw: "Wahai
Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan seorang laki-laki yang sangat pelit. Ia tidak
memberikan sesuatu kepada saya dan anak saya kecuali apa yang saya ambil ketika dia
tidak mengetahuinya. Rasulullah saw menjawab: "Ambillah apa yang mencukupi untuk
kamu dan untuk anak kamu dengan jalan yang baik" (HR. Bukhari Muslim).
Apa yang menjadi sebab wajibnya memberikan nafkah kepada isteri?
Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. Menurut ulama Hanafiyyah, sebab
wajibnya suami memberikan nafkah untuk isterinya adalah karena menahan si isteri di
dalam rumah. Maksudnya, si suami menyuruh isteri hanya untuk mengurus urusan rumah
tangga saja, dan tidak mengijinkannya untuk bekerja.
Sementara menurut Jumhur ulama, sebab wajibnya suami memberikan nafkah kepada
isteri adalah karena perkawinan, artinya karena ia adalah isterinya. Oleh karena itu, selama
ia menjadi isterinya, baik ia bekerja maupun tidak, suami tetap wajib memberikan nafkah.
Syarat-syarat wajibnya nafkah
Meskipun kewajiban memberikan nafkah oleh si suami kepada isterinya itu karena
pernikahan, karena si wanita tersebut menjadi isterinya, akan tetapi Jumhur ulama
mensyaratkan beberapa ketentuan tertentu agar seorang suami berkewajiban memberikan
nafkah kepada isterinya. Persyaratan ini meliputi persyaratan sebelum isteri disetubuhi dan
setelah isteri disetubuhi.
Adapun syarat-syarat yang berkaitan dengan sebelum si isteri disetubuhi adalah:

1. Si Isteri mau diajak untuk disetubuhi. Apabila si isteri mau untuk disetubuhi, maka
suami wajib memberikan nafkah. Namun, apabila si isteri menolak dan tidak mau
untuk digauli tanpa alasan syar'I yang jelas, maka suami tidak wajib memberikan
nafkah.

2. Si isteri dapat disetubuhi. Maksudnya, apabila kemaluan si isteri sehat, tidak ada
penyakit apapun yang menyebabkan terhalangnya bersetubuh, maka si suami wajib
memberikan nafkah. Namun, apabila si isteri, dalam kemaluannya, maaf, ada tulang
besar atau penyakit lainnya yang menyebabkan tidak dapat disetubuhi, maka si suami
tidak wajib memberikan nafkah.

3. Pernikahan tersebut adalah pernikahan yang sah, bukan pernikahan yang batal. Apabila
pernikahannya memanuhi segala persyaratan rukun dan syarat sebagaimana telah
dibahas pada makalah sebelumnya, maka si suami wajib memberikan nafkah. Namun,
apabila pernikahannya bukan pernikahan yang sah, misalnya, tidak memakai wali atau
tidak diumumkan, maka si suami tidak berkewajiban memberikan nafkah. Mengapa?
Karena hakikatnya ketika pernikahan itu tidak sah, maka wanita tersebut bukanlah
isterinya dan dipandang tidak terjadi pernikahan. Karena tidak terjadi pernikahan, maka
gugur kewajiban untuk memberikan nafkah.

Sementara syarat-syarat wajibnya nafkah yang berkaitan dengan setelah
didukhul adalah:

1. Si suami mempunyai kelapangan, mampu untuk memberikan nafkah. Apabila seorang
suami tiba-tiba di tengah masa pernikahannya sakit, atau terkena musibah sehingga ia
tidak mampu dan tidak dapat memberikan nafkah kepada isterinya, maka dalam masa
sulit dan lemahnya ini, ia tidak berkewajiban memberikan nafkah. Hal ini didasarkan
kepada firman Allah swt:


Artinya: "Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya.
Dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang
diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan
sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan
sesudah kesempitan" (QS. At-Talak: 7).

2. Si ister tidak berbuat nusyuz (si isteri tidak membangkang suaminya). Apabila si siteri
sudah tidak mentaati suaminya, maka isteri tersebut dipandang telah berbuat nusyuz.
Ketika ia telah berbuat nusyuz, maka suami tidak wajib memberikan nafkah kepadanya.
Apakah kalau isteri bekerja di luar rumah atau menjadi pegawai masih tetap wajib
mendapatkan nafkah?

Apabila si isteri bekerja di luar rumah baik bekerja di kantor, di pabrik atau di
tempat lainnya, dan si suami ridha, rela dan mengijinkannya maka si suami tetap wajib
memberikannya nafkah. Namun, apabila si isteri bekerja di luar rumah sementara si suami
tidak mengijinkannya dan kondisi ekonominya lumayan mapan sekalipun si isteri tidak
bekerja di luar rumah, maka si suami tidak berkewajiban memberikan nafkah kepadanya
(lihat dalam kitab Ibn 'Abidin: II/891).

Berapa jumlah nafkah yang wajib bagi isteri dan anak-anak itu?
Dalam hal ini, sebenarnya tidak ada nash yang secara jelas menentukan berapa
jumlah nominal nafkah wajib bagi isteri dan anak-anak. Hanya saja, ada beberapa nash
yang dapat kita jadikan sebagai standar untuk menentukan berapa jumlah nafkah wajib ini.
Nash-nash dimaksud adalah sebagai berikut:

Artinya: ""Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya" (QS.
At-Thalaq: 7).

Artinya: "Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut
kemampuannya (pula)" (QS. Al-Baqarah: 236).

Artinya: Rasulullah saw bersabda: ""Ambillah apa yang mencukupi untuk kamu dan untuk
anak kamu dengan jalan yang baik" (HR. Bukhari Muslim).
Dari beberapa nash di atas, kita dapat menarik beberapa kesimpulan, bahwa jumlah
besarnya nafkah bagi isteri itu tergantung pada hal berikut ini:

1. Bahwa nafkah tersebut harus mencukupi kebutuhan isteri dan anak-anak secara makruf,
baik. Dan hal ini tentu berbeda-beda menurut perbedaan orangnya, waktu dan
tempatnya. Bagi orang yang tinggal di desa, tentu nafkah satu juta perbulan sudah
sangat cukup, namun tidak demikian halnya dengan mereka yang tinggal di kota besar
seperti Jakarta. Atau nafkah satu juta, bagi mereka yang belum mempunyai anak, tentu
sudah cukup, namun bagi yang sudah mempunyai anak tentu belum cukup. Oleh karena
itu, yang jelas bahwa nafkah tersebut harus dapat memenuhi kebutuhan isteri dan anakanaknya
yang berbeda-beda tergantung kondisi, tempat dan keadaannya.

2. Menurut kemampuan dan kelapangan suami. Para ulama dalam masalah ini berbeda
pendapat dalam hal apakah yang menjadi ukuran dalam nafkah ini adalah kondisi dan
kemampuan si suami ataukah isteri atau keduany? Namun, apabila kita perhatikan nash
sebagaimana yang telah disebutkan di atas, bahwa nafkah adalah kewajiban suami dan
karenanya yang menjadi ukurannyapun adalah suami. Bagi suami yang kemampuannya
pas-pasan, tentu ia berkewajiban memberikan nafkah menurut kemampuannya. Ia tidak
boleh memaksakan diri untuk memberikan sesuatu di luar kemampuannya. Demikian
juga, bagi suami yang berkelapangan, lebih besar nafkah yang diberikannya tentu lebih
baik dan lebih besar pahalanya.

Apakah suami juga wajib memberikan nafkah berupa biaya pengobatan isterinya?
Mendengar pertanyaan ini, tentu untuk masyarakat asia khususnya Indonesia,
sangatlah ironis. Mengapa tidak, karena persoalannya menyangkut masalah yang sangat
substansial; mengapa persoalan memberikan biaya pengobatan kepada isteri meski dibahas
dan diperdebatkan? Bukankah secara akal sehat itu adalah sudah menjadi kewajiban bagi
suami? Namun itulah persoalan. Para ulama telah berbeda pendapat antara yang
mengatakan bahwa biaya pengobatan dan kesehatan isteri adalah kewajiban si suami
dengan mereka yang mengatakan sebaliknya, bukan merupakan kewajiban suami—
perdebatan ini dapat dilihat misalnya dalam kitab Ibn Abidin (II/889), Mugni Muhtaj
(III/431) dan Hasyiyah ad-Dasuqi (II/511). Persoalan ini akan menjadi jelas, apabila kita
menyaksikan persolan keluarga dan pernikahan yang terjadi di Negara-negara Arab di
mana masalah nafkah ini selalu menjadi isu yang paling senter. Seringkali isteri menggugat
suaminya lantaran nafkah yang menurut ukurannya tidak layak. Bahkan, tidak jarang pula
seorang isteri yang meminta biaya dan nafkah lebih kepada suaminya dengan dalih untuk
biaya pengobatan.
Namun demikian, hemat penulis, para ulama yang melihat bahwa nafkah biaya
perngobatan isteri bukanlah kewajiban suami, lantaran untuk kondisi saat itu, pengobatan si
isteri bukanlah sesuatu yang dharury, esensial. Namun, untuk konteks dan kondisi saat ini,
tentu sudah sangat berbeda. Pengobatan dan kesehatan isteri dan anak-anak adalah
termasuk hal yang sangat primer sama dengan masalah makanan, minuman, pakaian dan
lainnya. Untuk itu, hemat pemulis, biaya pengobatan dan kesehatan isteri juga anak-anak
termasuk kewajiban si suami juga. Suami wajib memperhatikan kesehatan isteri dan anakanaknya
sebagaimana ia berkewajiban memperhatikan makanan, pakaian dan tempat
tinggalnya.

4. Mengajarkan kepada isterinya pengajaran-pengajaran agama dan mengajaknya
untuk berbuat taat.
Kewajiban suami lainnya adalah mendidik isteri dalam beragama dan ketaatan. Hal
ini dimaksudkan karena dalam ajaran Islam, berumah tangga dalam Islam bukan semata
untuk di kehidupan dunia, akan tetapi juga untuk di akhirat kelak. Apabila bekal untuk
mengarungi kehidupan dunia berupa harta dan kekayaan, maka untuk menghadapi akhirat
kelak adalah amal kebaikan dan ibadah. Untuk itu, selaku pemimpin rumah tangga, suami
harus bertanggung jawab kepada keduanya.
Apabila si suami sibuk dengan pekerjaanya sehingga tidak mempunyai waktu
cukup untuk mengajarkan agama kepada keluarganya, atau si suami sendiri merasa kurang
dengan persoalan-persoalan agama, maka ia boleh menyewa orang lain (tentu sebaiknya
gurunya adalah perempuan juga) untuk menjadi guru agama isterinya. Demikian juga untuk
putra putrinya. Hal ini didasarkan kepada firman Allah berikut ini:

Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang
kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada
mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan" (QS. At-Tahrim: 6).

Artinya: "Ummu Salamah berkata: Suatu malam Rasulullah saw membangunkan (isteriisterinya)
sambil bersabda: "Subhanallah, cobaan dan fitnah apa yang telah turun pada
malam ini, dan keutamaan apa yang telah dibukakan dari gudang-gudang. Bangunlah
kalian wahai isteri-isterku, berapa banyak orang yang berpakaian di dunia, akan tetapi ia
telanjang di akhirat" (HR. Bukhari).

Artinya: "Abu Hurairah berkata: Rasulullah saw bersabda: "Allah akan merahmati seorang
laki-laki yang bangun malam lalu shalat, serta membangunkan isterinya untuk shalat.
Apabila isterinya enggan dan menolak, ia kemudian menuangkan air di muakanya.
Demikian juga Allah akan merahmati seorang perempuan yang bangun malam lalu shalat,
kemudian ia membangunkan suaminya untuk shalat juga. Apabila suaminya menolak dan
enggan bangun, ia lalu menuangkan air di mukanya" (HR Ahmad dengan sanad Hasan).

5. Tidak memperpanjang kesalahan isteri selama kesalahannya itu tidak menyangkut
syariat.
Tidak ada manusia yang sempurna. Semua tentu ada kekuarangan dan kelebihan.
Demikian juga dengan pasangan suami isteri. Apabila di kemudian hari si suami mendapati
isterinya tidak sesuai dengan apa yang diharapkannya atau berbuat kesalahan, maka suami
hendaknya tidak mempersoalkan hal itu dan tidak memperpanjangnya. Karena, sekali lagi
selama ia manusia, maka ia tidak akan pernah sempurna. Kecuali apabila persoalan dan
kesalahan isteri tersebut menyangkut masalah agama, misalnya apabila si isteri tidak
pernah shalat wajib, sering bolong melakukan puasa Ramadhan, maka suami berkewajiban
untuk menasihati dan mempersoalkannya. Dalam hal ini Rasulullah saw bersabda:

Artinya: Rasulullah saw bersabda: "Seorang mukmin tidak boleh membenci seorang wanita
mu'min. Apabila ia membenci salah satu perangai dan perbuatannya, namun ia tetap akan
suka dan rela dengan perangai dan hal lainnya" (HR. Muslim).

6. Tidak menyakitinya dengan jalan tidak memukulnya di wajahnya atau menjelekjelekannya.
Dalam hal ini Rasulullah saw bersabda:

Artinya: Rasulullah saw bersabda: "Dan janganlah memukul muka, juga janganlah
menjelek-jelekannya" (HR. Abu Dawud, Ibn Majah dan Ahmad).
Meski Rasulullah saw dalam hadits di atas membolehkan suami untuk memukul
isterinya manakala ia sudah keterlaluan dengan catatan tidak boleh di muka, akan tetapi,
Rasulullah saw sendiri tidak pernah memukul isteri-isterinya. Perhatikan hadits berikut ini:
Artinya: "Siti Aisyah berkata: "Saya tidak pernah melihat Rasulullah saw memukul
pembantunya sedikitpun, demikian juga tidak pernah memukul isteri-isterinya, juga tidak
pernah memukul dengan tangannya siapapun dan apapun kecuali ketika sedang berjihad di
jalan Allah" (HR. Muslim).
Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Tidak pantas seorang laki-laki yang memukul
isterinya seperti majikan yang memukul budaknya, lalu ia menggaulinya di penghujung
hari" (HR. Bukhari Muslim).
Dalam ajaran Islam memang suami diperbolehkan untuk memukul isterinya
manakala isterinya itu tidak taat, atau berbuat nusyuz (nusyuz adalah isteri meninggalkan
kewajibannya kepada suaminya. Termasuk nusyuz, isteri yang keluar rumah tanpa idzin
dari suaminya) dengan catatan tidak di muka dan tidak menimbulkan bekas dari
pukulannya itu. Dalil, bolehnya suami memukul isterinya yang tidak taat adalah firmanNya
berikut ini:
Artinya: "Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan
pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka
mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.
Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar" (QS. An-Nisa: 34).
Dari ayat di atas, paling tidak ada tiga batasan mengenai bolehnya suami memukul
isterinya:

1. Setelah sebelumnya si suami melalui dua tahap yakni menasehatinya dan pindah
ranjang. Artinya, apabila setelah dinasehati dan pindah ranjang, si isteri tetap tidak
berubah dan tetap melakukan nusyuz, maka suami boleh memukulnya.

2. Pukulannya bersifat untuk mendidik dan memberikan pelajaran karena itu tidak boleh
yang berbekas dan berakibat fatal (ghair mubarrah), tidak boleh yang menimbulkan
tulang pecah atau mengganggu jiwa si isteri.

3. Apabila si isteri telah taat dan tidak berbuat nusyuz lagi, maka suami tidak boleh memukulnya.
.
7. Tidak boleh mencuekkan, meninggalkan dan membiarkan isterinya kecuali di rumah
Apabila si isteri berbuat nusyuz, atau berbuat sesuatu yang menyimpang, maka
suami boleh mencuekkan, tidak mendekatinya, dengan jalan pindah kamar atau pindah
kasur selama itu di dalam rumah sendiri. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah saw:
Artinya: "Mu'awiyah al-Qusyairi berkata: "Saya bertanya kepada Rasulullah saw: "Wahai
Rasulullah saw, apa hak isteri kami itu?" Rasulullah saw menjawab: "Memberi makannya
apabila kamu makan, memberi pakaian apabila kamu berpakaian, tidak boleh memukul
muka, jangan menjelekannya, dan jangan kamu pergi menjauhinya kecuali di dalam rumah
saja" (HR. Ab Dawud, Ibn Majah, Ahmad dan Nasai).
Kecuali apabila ada kemaslahatan lain yang lebih besar, maka si suami boleh
meninggalkan isteri dari rumah, misalnya nginep sementara waktu di rumah orang tuanya,
atau kakak dan adiknya. Hal ini sebagaimana dilakukan oleh Rasulullah saw ketika beliau
menghadapi masalah dengan isteri-isterinya ketika mereka meminta tambahan nafkah
kepada Rasulullah saw. Saat itu, Rasulullah saw lalu hijrah dan tidak tinggal di rumah
isteri-isterinya selama satu bulan penuh. Ini juga menjadi dalil, bahwa suami atau isteri
boleh marahan dengan pasangannya lebih dari tiga hari apabila hal itu dinilai ada
kemaslahatan yang lebih besar, karena buktinya Rasulullah saw memarahi dan mendidik
isteri-isterinya lebih dari tiga hari (satu bulan). Pembahasan lebih lanjut akan hal ini akan
dibahas dalam makalah selanjutnya dalam masalah al-'ila.

8. Suami wajib dandan dan tampil prima di hadapan isterinya sebagaimana si isteri
wajib dandan, berhias dan tampil prima di hadapan suaminya.
Di antara hal sangat penting yang jarang sekali diperhatikan oleh pasangan suami
isteri adalah tampil prima dan dandan. Umumnya, suami atau isteri tampil bersih dan rapi
juga berdandan manakala hendak menghadiri undangan, menghadiri pengocokan arisan
atau kegiatan darmawanita serta lainnya, sementara ketika di hadapan suami atau isterinya
ia tampil kotor, bau, dan apa adanya. Inilah di antara penyebab kuat seringkali terjadinya
perselisihan keluarga atau yang seringkali menyebabkan pasangannya mencari "pasangan"
baru yang lebih rapih dan ganteng, cantik. Oleh karena itu, kewajiban suami juga isteri
adalah dandan dan tampil rapih di hadapan pasangannya. Dalam hal ini perhatikan
perkataan Ibn Abbas berikut ini:
Artinya: "Ibnu Abbas berkata: "Sesungguhnya saya betul-betul senang berdandan dan
berhias di depan isteri sebagaimana saya suka isteri saya dandan di hadapan saya. Hal ini
karena Allah berfirman: " Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan
kewajibannya menurut cara yang makruf"" (HR. Thabari dan Ibn Abi Syaibah dengan
sanad yang Shahih).
Perhatikan juga salah satu atsar (riwayat yang tidak sampai kepada Rasulullah saw,
ia hanya berupa ucapan para sahabat) berikut ini sebagaimana dikutip oleh Mahmud
Mahdy al-Istanbuly dalam bukunya, Tuhfatul Arus:
Artinya: "Cucilah pakaian-pakaian kalian, cukur, rapihkan rambut-rambut kalian, gosoklah
gigi kalian, dandanlah serta bersihkanlah badan kalian, karena Bani Israil tidak pernah
melakukan hal yang demikian, sehingga isteri-isterinya berbuat zina".

9. Berbaik sangka kepada isteri.
Di antara kewajiban suami lainnya adalah berbaik sangka kepada isteri manakala
timbul masalah atau sesuatu yang tidak dikehendaki. Baik sangka ini sangat diperlukan
mengingat saling berbaik sangka dan saling percaya adalah kunci kelanggengan rumah
tangga. Perhatikan firman Allah berikut ini:
Artinya: "Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang mukminin
dan mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak)
berkata: "Ini adalah suatu berita bohong yang nyata."(QS. An-Nur: 12).
Dalam sebuah hadits riwayat Imam Muslim, dikisahkan, ketika beberapa orang lakilaki
Anshar dari Bani Hasyim masuk ke rumah Asma bint Umais (isterinya Abu Bakar ash-
Shidiq), lalu Abu Bakar masuk ke rumahnya dan didapati beberapa laki-laki Anshar itu,
Abu Bakar merasa tidak enak dan membencinya. Namun, Abu Bakar berkata: "Saya tidak
mendapati isteri saya kecuali kebaikan". Rasulullah saw lalu bersabda: "Allah telah
membersihkan isteri kamu dari prasangka buruk kamu". Abu Bakar lalu berdiri di atas
mimbar sambil berkata:
Artinya: "Seorang laki-laki betul-betul tidak diperbolehkan setelah hari ini untuk masuk ke
dalam rumah yang suaminya sedang tidak ada di rumah, kecuali ia ditemani oleh laki-laki
lain atau oleh dua orang laki-laki lainnya" (HR. Muslim).
Dalam kisah di atas, baik Rasulullah saw maupun Abu Bakar ash-Shidiq berbaik
sangka kepada isterinya. Namun demikian, ia tetap tidak mengijinkan dan tidak
membolehkan dalam di kemudian hari laki-laki masuk ke dalam rumah yang suaminya
sedang tidak ada, bepergian. Karena hal itu akan menimbulkan fitnah, di mana setan akan
dengan mudah membisikkan sesuatu yang tidak diinginkan.

Hak Bersama Antara Suami Isteri

Berikut ini ada beberapa hak bersama yang harus didapatkan baik oleh suami maupun oleh
isteri. Hak-hak dimaksud adalah:

1. Halalnya untuk berhubungan badan. Baik suami isteri berhak mendapatkan kenikmatan
berhubungan badan. Oleh karena itu, suami boleh meminta pasangannya untuk melayaninya,
demikian juga si isteri berhak meminta suaminya untuk melayani "tidur" nya.

2. Masing-masing berhak mendapatkan warits. Apabila salah satu pasangannya meninggal, maka
pasangan lainnya berhak mendapatkan harta waritasan dari pasangannya yang meninggal
tersebut.

3. Masing-masing berhak untuk diperlakukan dengan baik dan benar.

4. Keduanya menjadi haram untuk menikahi kerabat masing-masing sebagaimana telah
dijelaskan dalam makalah sebelumnya mengenai wanita-wanita yang haram dinikahi, lantaran
perkawinan (al-mushaharah). Misalnya, dengan menikahnya laki-laki dan perempuan, maka
si suami haram untuk menikahi adik isterinya selama isterinya masih hidup dan keduanya
masih menikah. Demikian juga, ia haram untuk menikahi mertuanya—untuk lebih jelasnya,
lihat kembali makalah sebelumnya seputar masalah wanita yang haram dinikahi.
Beberapa tambahan

Berikut ini beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh suami demi keharmonisan, lebih
merekatkan dan melanggengkan rumah tangga:

1. Banyaklah mencandai isteri.
Banyak bercanda untuk hal-hal tidak berguna dalam ajaran Islam dilarang. Bahkan, apabila
berlebihan dan keterlaluan ia berdosa. Namun, untuk suami atau isteri, bercanda bagi mereka
adalah ibadah. Semakin banyak canda di antara keduanya, semakin banyak pahala yang akan
dituainya. Inilah salah satu kelebihan ajaran Islam yang memberikan perhatian begitu besar untuk
urusan keluarga, sampai-sampai bercandanya suami isteri pun berpahala. Dalam kehidupan rumah
tangga bercanda dan mesra antara suami isteri sangatlah dibutuhkan, karena hal ini akan lebih
mempererat hubungan kasih sayang dan cinta kasih di antara keduanya. Dalil bahwa bercandanya
suami isteri adalah berpahala adalah sebagai berikut:
Artinya: "Segala sesuatu yang bukan dzikrullah, maka ia adalah hura-hura, sia-sia dan permainan
belaka kecuali untuk empat hal berikut ini: Bercandanya seorang suami dengan isterinya,
seseorang yang melatih kudanya, seseorang yang berjalan di antara dua sasaran (bagi yang sedang
berlatih memanah) dan seseorang yang sedang mengajari berenang" (HR. Imam Nasa'i, dan
haditsnya Shahih).

2. Semangatlah untuk mencari rizki demi memperoleh kehidupan yang cukup.
Tidak diragukan lagi, bahwa pada umumnya kehidupan keluarga yang ekonominya mapan
akan lebih bahagia dan harmonis dari pada keluarga yang ekonominya seret. Oleh karena itu,
Rasulullah dalam berbagai hadits mengatakan bahwa meninggalkan keluarga dengan
berkecukupan harta jauh lebih baik dari pada meninggalkan mereka miskin sehingga akan
meminta-minta kepada orang lain. Dalam hadits lain Rasulullah mengatakan bahwa kefakiran itu
seringkali membawa kepada kekufuran. Untuk itu, seorang suami demi menjaga keharmonisan dan
kelanggengan rumah tangganya hendaklah bersemangat dalam mencari nafkah. Tanamkanlah
dalam jiwa bahwa mencari nafkah untuk menghidupi keluarga dalah amal ibadah yang sangat
besar pahalanya.
Dalam ajaran Islam, suami yang memberikan nafkah kepada keluarganya, sekalipun itu sudah
merupakan kewajibannya, tetap akan mendapatkan pahala dan tetap dihitung sebagai shadaqah.
Oleh karena itu, sejatinya seorang suami harus lebih giat dalam mencari nafkah. Dalil bahwa
nafkah yang diberikan kepada keluarganya juga dihitung sebagai shadaqah adalah sebagai berikut:
Artinya: "Satu dinar yang anda infakkan di jalan Allah, satu dinar yang anda sedekahkan kepada
budak, satu dinar yang anda sedekahkan untuk orang miskin, satu dinar yang anda sedekahkan
kepada keluargamu, maka sedekah yang anda berikan kepada keluargamulah yang jauh lebih besar pahalanya" (HR. Muslim
Artinya: "Tidaklah kamu menginfakkan satu nafkah pun dengan maksud untuk mengharapkan
keridhaan Allah, kecuali kamu akan mendapatkan pahalanya, sampai apa yang kamu berikan untuk makan isteri kamu" (HR. Bukhari).

Artinya: "Apabila seseorang memberikan nafkah kepada keluarganya (isteri dan anaknya) dengan
maksud untuk mengharapkan keridhaannya, maka nafkahnya itu dihitung sebagai shadaqah" (HR. Bukhari Muslim).

Artinya: "Apa yang kamu berikan untuk diri kamu adalah shadaqah buat kamu, apa yang kamu
berikan untuk anak kamu adalah shadaqah buat kamu dan apa yang kamu berikan untuk isteri
kamu adalah shadaqah juga buat kamu" (HR. Ahmad dan haditsnya Shahih).

3. Perhatikanlah kepuasan dan kebutuhan biologis pasangannya
Kepuasan dalam berhubungan badan dalam ajaran Islam sangatlah penting. Ia termasuk salah
satu penyebab harmonis dan langgengnya sebuah rumah tangga. Banyak sekali kasus perceraian
atau perselingkuhan terjadi lantaran salah satu pasangan tidak merasakan kepuasan dalam
berhubungan badan. Untuk itu, Islam memberikan perhatian sangat besar dalam hal ini. Sampaisampai
banyak hadits yang membicarakan seputar bersenggama antara suami isteri ini—untuk
lebih jelasnya lihat pada makalah sebelumnya.
Demi lebih harmonis dan langgengnya keluarga, hendaklah suami memperhatikan hal ini. Perlu
dicatat bahwa berhubungan badan yang berdasarkan syahwat dengan isteri dalam ajaran Islam
tetap berpahala. Bukankah ini sebuah kelebihan sekaligus perhatian besar dari ajaran Islam? Dalam
ajaran Islam, segala sesuatu yang didasarkan kepada nafsu syahwat tidak akan mendapat pahala,
malah sebaliknya akan menuai siksa. Kecuali dalam berhubungan badan bagi yang sudah menikah.
Ia bukan berdosa malah berpahala. Perhatikan sabda Rasulullah saw berikut ini:
Artinya: Dari Abu Dzar ra, bahwasannya ada beberapa sahabat yang mengadu kepada Rasulullah
saw: "Wahai Rasulullah saw, orang-orang kaya telah mengalahkan kami dalam hal pahala; mereka
shalat sebagaimana kami shalat, mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa dan mereka
bersedekah dengan kelebihan harta-harta mereka". Rasulullah saw lalu bersabda: "Bukankah Allah
telah menjadikan buat kalian juga untuk bersedekah? Sesungguhnya dalam setiap tasbih adalah
shadaqah, dalam setiap takbir adalah sedekah, dalam setiap tahlil adalah sedekah, mencegah dari
perbuatan munkar adalah sedekah, dan dalam setiap dari kemaluan salah seorang dari kalian
 (maksudnya berhubungan badan bagi yang sudah berkeluarga) adalah sedekah". Para sahabat lalu
bertanya: "Ya Rasulullah, apakah salah seorang dari kami yang menggauli isterinya karena sahwat
akan mendapat pahala juga?" Rasulullah saw menjawab: "Bagaimana menurut kalian apabila
kemaluannya itu yang diletakkan pada kemaluan yang haram (maksudnya berzina), bukankah ia
akan mendapatkan dosa?" Para sahabat menjawab: "Betul, Rasul". Rasulullah saw bersabda
kembali: "Demikian juga apabila kemaluannya itu diletakkan pada yang halal (maksudnya
berhubungan badan dengan pasangannya yang sah), maka tentu ia akan mendapatkan pahala juga"(HR. Muslim).

4. Banyaklah berbohong demi menyenangkan isteri
Berbohong dalam ajaran Islam adalah termasuk salah satu perbuatan sangat tercela. Bahkan,
dalam sebuah hadits dikatakan, ia termasuk sumber segala dosa. Oleh karena itu, dalam kondisi
dan keadaan apapun seorang muslim dilarang untuk berbohong. Hanya saja, ini dikecualikan untuk
mereka yang sudah menikah. Bagi yang sudah menikah, berbohong demi menyenangkan
pasangannya tidak akan berdosa malah menuai pahala. Bahkan, dengan banyak berbohong seperti
ini, ikatan cinta kasih dan sayang antara suami isteri akan menjadi makin lengket dan rekat.
Misalnya, ketika isteri masak, suami memujinya dengan pujian berlebihan akan nikmat dan
lezatnya masakan isteri sekalipun sebenarnya masakan terseubut keasinan atau nggak jelas bumbu
dan rasanya. Berbohong seperti ini mudah diucapkan namun dalam kenyataannya sangat sulit
diterapkan. Oleh karena itu, berusahalah dan perbanyaklah berbohong demi menyenangkan
pasangannya karena dengan demikian akan lebih mempererat jalinan cinta kasih dan sayang yang
sudah terbina. Perhatikan sabda Rasulullah saw berikut ini:
Artinya: "Ummu Kultsum berkata: "Saya tidak pernah mendengar Rasulullah saw membolehkan
berbohong kecuali untuk tiga keadaan: orang yang berbohong demi mendamaikan orang yang
sedang berselisih, orang yang berbohong ketika peperangan dan suami yang berbohong kepada
isterinya (demi membahagiakan isterinya) juga isteri yang berbohong kepada suaminya (demi
membahagiakan hati dan perasaan suaminya)" (HR. Muslim).

WANITA SETELAH MENJADI SEORANG ISTRI

Apakah kehidupan tetap sama ketika Anda berganti status dari pacar menjadi istri? Kebanyakan pasangan yang sudah menikah akan menjawab: "Tidak!" Ketika kita menjadi seorang istri, kita mengemban banyak peran baru, tanggung jawab dan beban emosional. Hal tersebut pasti akan menyebabkan sejumlah perubahan dalam kepribadian kita.

Berikut adalah beberapa perubahan yang dihadapi kebanyakan wanita setelah menjadi istri. Tapi tenang, kita tidak akan hanya berbicara tentang masalah yang muncul, namun juga cara untuk mengatasinya sehingga pernikahan Anda tetap berbunga-bunga.

Berharap terlalu muluk-muluk
Kehidupan pernikahan Anda tidak akan selamanya membahagiakan. Membayangkan Anda dan suami akan langsung tinggal di rumah impian dengan kebun yang luas, di mana ia dan anak-anak akan bermain dan bersenda gurau setiap hari, memang impian yang indah namun jangan lalu dijadikan patokan. Sebagai pasangan yang sudah menikah, Anda berdua akan menghadapi masalah, mengalami percekcokan, dan terpaksa membuat kompromi.

Selalu ingat, menikah bukan berarti pindah ke "dunia" lain. Dunia ini tetap sama. Hanya saja, kalian kini berdua dan harus berusaha mewujudkan kebahagiaan berdua yang hanya bisa diraih dengan dengan cinta, rasa hormat dan beberapa kompromi dari kedua belah pihak.

Berusaha jadi yang terbaik di segala hal
Terkadang wanita berusaha terlalu keras untuk menyenangkan semua orang setelah mereka menikah. Mereka berusaha membuktikan diri bisa menjadi ibu rumah tangga yang sempurna, yang pandai memasak, membersihkan rumah dan membuat semua orang bahagia, dan tetap menjadi wanita karir yang sukses. Itu adalah ide yang baik, tetapi Anda bukan 'Superwoman'!

Tekanan yang terlalu berlebihan akan membuat Anda stres. Hubungan dengan suami akan menjadi korban yang paling dirugikan atas skenario ini karena dia harus menghadapi stres Anda. Jadi, pastikan Anda hanya mengerjakan hal-hal yang memang bisa Anda kerjakan sendiri. Selebihnya, tidak ada salahnya meminta bantuan.

Tidak mengutarakan perasaan yang sebenarnya
Menikah dan tinggal bersama suami dapat dapat membuat Anda stres secara emosional. Memendam perasaan dapat menyebabkan stres yang diungkapkan dalam bentuk omelan, perubahan suasana hati, temperamen buruk , dll. Alih-alih cemberut dan menimbulkan aura negatif di depan suami, cobalah untuk berbicara dengannya tentang apa yang mengganggu. Hal ini tidak hanya akan menghindarkan banyak sakit hati, tetapi juga semakin mendekatkan Anda sebagai pasangan yang sudah menikah.

Tak pernah membiarkan suami sendirian
Hanya karena Anda menikah dengannya, bukan berarti suami tidak membutuhkan ruang pribadi. Pasangan suami istri jauh lebih terlibat dalam kehidupan masing-masing daripada ketika masih pacaran, tapi setiap orang tentunya ingin memiliki waktu untuk dirinya sendiri. Beri dia waktu untuk bergaul dengan teman-temannya atau melakukan hobinya dengan tenang. Ini akan memberi Anda waktu untuk bersantai dan menjalani 'waktu pribadi' juga.

Mencoba untuk menjadi "ibunya"
Kita tahu, pria terkadang bisa sangat cuek. Mereka tidak tahu bagaimana cara menjaga rumah tetap bersih, menggantung handuk di kamar mandi, meletakkan piring di wastafel, menaruh baju kotor di tempatnya, dan berbagai kebiasaan buruk lainnya. Jika Anda ingin mengubah kebiasaan buruk suami, maka lakukanlah secara bertahap. Omelan terhadap segala hal buruk yang dilakukannya hanya akan membuat dia "gerah" berada di sekitar Anda.

Mengemban status sebagai istri adalah salah satu perubahan terbesar yang akan Anda alami dalam hidup. Jadikanlah momen itu semagis dan seromantis mungkin.

Selasa, 26 November 2013

TIPOLOGI AKHLAKUL KARIMAH

Sabda Rasulullah SAW :

عن أبي هريرة رضي الله عنه قال قال رسوالله صلى الله عليه وسلم : اَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ اَيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارَكُمْ خِيَارَكُمْ لْأَهْلِهِ (روه ابو داود و ترمدى)

"Dari Abu Hurairah ra. Berkata : “Telah bersabda Rasulullah SAW, ‘Orang-orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah mereka yang paling baik ahklaknya (budi pekerti luhur). Dan sebaik-baik kamu adalah yang berlaku baik terhadap keluargamu”(HR. Abu Daud dan Tirmizi).

Sikap Terpuji

1. Sabar
Adalah kondisi mental seseorang yang mampu mengendalikan hawa nafsu yang ada di dalam dirinya.
Hikmah orang yang mampu bersikap sabar di antaranya :
a. Hidup lebih tentram karena tidak terpengaruh dengan segala bentuk situasi/ perilaku orang lain yang memancing marah
b. Terhindar dari berbagai penyakit ; stress, tekanan jiwa (depresi), ketakutan dsb, yang bisa mengakibatkan menurunnya sistem kekebalan tubuh. Jika kita stress maka badan kita akan mudah terserang penyakit
c. Tidak mudaah terjerumus ke dalam hal-hal yang negatif karena memilki kontrol yang baik

Contoh Prilaku sabar yang bisa diteladani :
a. Sabar saat menerima musibah


1
b. Tidak mudah marah saat menemui sesuatu yang tidak berkenan di hati/ saat mendapat perlakuantidak baik dari orang lain
c. Tidak terburu-buru dalam mengambil keputusan

2. Qana’ah
Sikap rela menerima semua yang telah dikaruniakan oleh Allah SWT, kepada kita, disamping kita mesti bersikap qana’ah, juga harus tetap berusaha sekuat tenaga mendapatkan apa-apa yang kita inginkan.

Orang yang mampu bersikap qana’ah maka hidupnya akan dijalaninya dengan lebih tenang. Hatinya ikhlas menerima semua yang dimiliki. Ia tidak akan menggerutu, menyesali hidup, merasa tidak sempurna, selalu merasa kurang dsb. Ia juga tidak dihantui dengan pikiran-pikiran negatif tentang dirinya.

3. Amanah
Sikap menjaga dan melaksanakan apa yang dipercayakan orang lain. Rasulullah SAW, mendapat gelar al Amin ; orang yang dapat dipercaya, karena beliau mampu menjaga dan melaksanakan amanah.
Hikmah menjalankan sikap Amanah :
a. Terciptanya masyarakat yang adil dan makmur. Semua orang akan menjalankan tugasnya sesuai dengan potensinya
b. Akan dipercaya orang lain. Akan banyak orang yang menaruh kepercayaan padanya.

4. Tawadhu
Adalah rendah hati, yaitu tidak menonjolkan kelebihan yang dimiliki kepada orang lain. Orang yang memiliki sikap tawadhu hidupnya seperti falsafah padi. Dengan sendirinya orang akan merasa segan dan menghormatinya.
Sikap tawadhu yang bisa diterapkan dalam keseharian adalah :
a. Tidak membangga-banggakan diri di depan orang lain
b. Berrsikap sederhana, tidak angkuh dan pamer dengan apa yang kita miliki
c. Menaruh hormat dan berusaha menghargai orang lain sebagaimana menghargai diri sendiri

5. Ikhlas
Kondisi jiwa yang bersih dan tulus tanpa beban dalam melakukan sesuatu.
Sikap ikhlas harus senantiasa diterapklan saat ; beribadah, bekerja, membantu otang lain
dan perbuatan terpuji lainnya. Orang yang bersikap ikhlas akan mendapatkan ketentraman batinm karena semua persoalan dihadapinya dengan hati yang lapangf.

6. Jujur
Artinya adalah apa adanya , tidak menyembunyikan dan tidak berbohong.
Orang yang memiliki sifat jujur dalam hidupnya akan dipercaya orang, tidak khawatir dibohongi.
Contoh perilaku jujur yang bisa diteladani :
a. Menjawab suatu pertanyaan dengan yang sebenarnya
b. Mengakui keterbatasan diri dengan tidak menutup-nutupinya
c. Tidak berlaku curang

7. Hemat
Hidup hemat berarti hidup sederhana Tidak berarti pelit atau kikir, tetapi berusaha mengukur kebutuhan secara tepat dan tidak berlebihan. Ajaran Islam melarang bersifat boros dan berlebihan.
Hikmah hidup hemat :
a. Lebih siap jika sewaktu-waktu membutuhkan uang yang sangat penting
b. Akan menikmati hasilnya dikemudian hari

8. Kasih sayang
MISI KERASULAN MUHAMMAD SAW

QS. Al Maidah : 15-16 :
Hai ahli Kitab, Sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul Kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi Al kitab yang kamu sembunyikan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab Itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keredhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.
(QS. Al Maidah : 15-16).”

Kepribadian Rasulullah sebelum Kenabian

1. Rasulullah SAW berasal dari lingkungan keluarga terhormat dari suku terpandang, yaitu suku Quraisy yang terkenal dengan kewibawaan serta kepemimpinannya.
2. Beliau hidup di tengah-tengah keluarga yang miskin lagi fakir dalam asuhan kakeknya Abdul Muthalib kemudian pamannya Abu Thalib, agar beliau memiliki sifat tawadhu’ dan segala sifat yang baik serta jauh dari sifat yang tercela. Allah SWT berfirman Q.S. Adh Dhuha : 6-8 :

“Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu ? dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk.

1
Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan.

3. Beliau tumbuh sebagai seorang yang buta huruf, tak dapat membaca dan menulis. Lalu Allah turunkan Al Qur’an padanya, dengan demikian Allah tetah menutup jalan bagi orang-orang kafir untuk mendustakan Rasulullah SAW. Seandainya beliau dapat membaca dan menulis, niscaya apa yang beliau bawa dari Allah bisa diragukan sebagai dongeng orang-orang yang terdahulu yang beliau baca. Sebagaimana firman Allah SWT. Q.S. Al An Kabuut : 48 :
“Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (Al Quran) sesuatu Kitabpun dan kamu tidak (pernah) menulis suatu kitab dengan tangan kananmu; andaikata (kamu pernah membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang yang mengingkari (mu) (Q.S. Al An Kabuut : 48) “.

Rasulullah SAW bersabda :
مَامِنَ اْلاَنْبِيَاءِ مِنْ نَبِيٍِّ إِلاَّ قَدْ أُعْطِيَ مِنَ اْلآيَاتِ مَا مِثْلُهُ، ﺁمَنَ عَلَيْهِ البَشَرُ وَإنَّمَا كَانَ الَّذِيْ أُوْتِيْتُ وَحْيًا أَوْحَى اللهُ إِلَّيَّ فَأَرْجُوْ أنْ أَكُوْنَ أَكْثَرَهُمْ تَابِعًايَوْمَ الْقِيَامَةِ (رواه البخارى و مسلم)
“Tidak satu nabi pun kecuali telah diberi mu’jizat oleh Allah SWT, karena itu manusia beriman kepada-Nya. Adapun yang diberikan kepadamu adalah wahyu yang Allah telah turunkan kepadaku, maka aku berharap menjadi orang yang paling banyak pengikutnya di antara nabi-nabi pada hari kiamat (HR. Bukhori dan Msulim).”

4. Beliau juga seorang pengembala domba sewaktu kecil di Mekah. Itu
merupakan persiapan sebelum Ia diutus kepada seluruh manusia untuk menunjukkan jalan yang dapat menyelamatkan mereka di dunia dan akherat, dan memperingatkan mereka agar menjauhi hal-hal yang dapat mencelakakan mereka baik di dunia dan di akherat.

PERNIKAHAN DALAM PANDANGAN ISLAM (Risalah Nikah)

Seiring dengan kemajuan manusia modern, yang ditandai dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, nilai-nilai kebenaran yang hakiki semakin tergeser dari kehidupan perilaku modern. Pada akhirnya umat Islam semakin tidak mengerti, memahami, bahkan tidak memperdulikan lagi terhadap syari'at yang mestinya menjadi panutan dan pegangan bagi mereka (umat Islam). Pernikahan yang dalam Islam dianggap sebuah kegiatan yang sakral dan telah diberi rambu-rambunya oleh Allah SWT demi kebaikan manusia itu sendiri, sekarang terasa sekali tidak dilaksanakan sesuai keinginan Allah sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah saw, bahkan umat Islam malah condong meniru nilai dan perilaku Barat yang kenyataannya adalah tidak sesuai dengan syari'at Islam, atau mungkin dengan cara-cara mengikuti nenek moyang mereka; yang kalau tidak mau dikatakan bid'ah/kurafat, tetapi pada prakteknya banyak yang tidak sesuai dengan syari'at Islam yang sudah jelas dan berpahala serta mengandung keberkahan dari Allah SWT. "Katakanlah (Muhammad), "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku ! niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu" dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Ali Imran (3) : 31). "Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebagian dari orang-orang yang diberikan Al Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman." (QS. Ali Imran (3) : 100). "Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu sehingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah:"Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang sebenarnya)". Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu." (QS. Al Baqarah (2) : 120) "Barang siapa yang membuat-buat dalam urusan (agama) kami ini amalan yang bukan darinya, ia tertolak." (HR. Bukhari dan Muslim). Untuk itu, pada kesempatan yang berbahagia ini, kami mencoba mempersembahkan sebuah risalah tentang pernikahan yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. Risalah ini hanyalah satu usaha kecil dari sebuah proyek besar dalam penyadaran umat dan memberikan pemahaman yang benar dalam rangka pembinaan umat, sehingga ajaran Islam yang begitu kompleks dan luas tidak lagi asing di tengah-tengah umatnya sendiri, atau bahkan dihujat oleh umat Islam itu sendiri, karena umat yang salah dalam memahami atau mungkin ketidaktahuannya terhadap ajaran (agama)nya sendiri. Kami juga berharap dan memohon agar Bapak/Ibu/Saudara/Saudari yang telah membaca dan memahami risalah ini, agar menularkan pemahamannya kepada saudara dan handai taulan lainnya, agar mereka tidak salah dalam menyikapi sebuah kegiatan yang sebenarnya ada dalam ajaran Islam. Atas semua perhatian dan dukungan Bapak/Ibu/Saudara/Saudari kami ucapkan terima kasih yang tak terhingga, dan hanya Allah SWT yang dapat membalas dengan balasan yang belipat ganda, amin. "Barangsiapa membawa amal yang baik maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang membawa perbuatan yang jahat maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbangdengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan). Katakanlah:"Sesungguhnya aku telah ditunjuki oleh Tuhanku kepada jalan yang lurus, (yaitu) agama yang benar; agama Ibrahim yang lurus; dan Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik". Katakanlah : "Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupki dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu baginya;dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)". (QS. Al An'am (6) : 160 - 163) PERNIKAHAN : ANTARA FITRAH & IBADAH Maha Suci Allah yang telah menciptakan manusia berpasang-pasangan satu dengan yang lainnya, dan menyatukan keduanya dalam taqwa, serta menumbuhkan darinya rasa tenteram dan kasih sayang. Shalawat serta salam semoga selalu allah curahkan kepada teladan umat yang telah mengembalikan harkat manusia kembali pada fitrahnya. Islam sebagai ajaran yang sesuai dengan fitrah, telah mensyari'atkan adanya pernikahan bagi setiap manusia. Dengan pernikahan seseorang dapat memenuhi kebutuhan fitrah insaniyahnya (kemanusiaannya) dengan cara yang benar sebagai suami isteri, lebih jauh lagi mereka akan memperoleh pahala disebabkan telah melaksanakan amal ibadah yang sesuai dengan syari'at Allah SWT. Pernikahan dalam pandangan Islam, bukan hanya sekedar formalisasi hubungan suami isteri, pergantian status, serta upaya pemenuhan kebutuhan fitrah manusia. Pernikahan bukan hanya sekedar upacara sakral yang merupakan bagian dari daur kehidupan manusia. Pernikahan merupakan ibadah yang disyari'atkan oleh Allah SWT melalui Rasul-Nya, maka tidak diragukan lagi pernikahan adalah bukti ketundukan seseorang kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah tidak membiarkan hamba- Nya beribadah dengan caranya sendiri. Allah yang Maha Rahman memberikan tuntunan yang agung untuk melaksanakan ibadah ini, sebagaimana ibadah-ibadah yang lainnya (shalat, puasa, zakat, haji, dsb.). Maka adalah sebuah kecerobohan, bila hamba-Nya yang ingin melaksanakan ibadah yang suci ini (nikah) menodainya dengan bid'ah (yang tidak diajarkan oleh Islam) dan khurafat (hal-hal yang membawa kepada kemusyrikan terhadap Allah), sehingga mencabut status aktivitas itu dari ibadah menjadi mafsadat/dosa. Adalah sebuah kemestian bagi setiap muslim untuk berusaha menyempurnakan ibadahnya semaksimal mungkin, tak terkecuali dengan sebuah proses dan kegiatan pernikahan. Kesemuanya itu dilakukan agar hikmah dan berkah ibadah dari ibadah itu dapat dirahmati oleh Allah Azza wa Jalla. RESEPSI PERNIKAHAN (WALIMAH) Walimah berasal dari kata Al-Walam yang bermakna Al-Jamu' (berkumpul), karena setelah acara tersebut dibolehkan berkumpul suami isteri. Menurut Ibnu Arabi, istilah walimah mengandung makna sempurna dan bersatunya sesuatu. Istilah walimah biasanya dipergunakan untuk istilah perayaan syukuran karena terjadinya peristiwa yang menggembirakan. Lebih lanjut istilah walimah akhirnya dipakai sebagai istilah untuk perayaan syukuran pernikahan. Sebahagian ulama berpendapat, bahwa hukum penyelenggaran walimah itu adalah sunnah muakkadah (dianjurkan) berdasarkan hadits perintah Rasulullah saw kepada Abdurrahman bin Auf. "Selenggarakanlah walimah, walaupun dengan seekor kambing!" ADAB WALIMAH Seperti yang telah diungkap sebelumnya, bahwa pernikahan adalah sebuah acara ritual dan ibadah yang tentu telah diatur oleh Allah SWT lewat Rasul-Nya, maka yang perlu kita perhatikan dalam adab-adab terselenggaranya acara tersebut agar tetap dalam ridho Allah SWT, yaitu : 1. Bertujuan untuk melaksanakan ibadah Tidak dibenarkan melaksanakan walimah dan menghadirinya dengan didasari kepentingan-kepentingan lain selain untuk mencari ridho Allah SWT, karena hanya dengan niat yang ikhlas-lah segala amalan kita mendapat pahala dan ridho Allah, sehingga melahirkan keberkahan dalam meniti kehidupan selanjutnya. "Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya bagi setiap orang tergantung apa yang ia niatkan..." (HR. Bukhari dan Muslim) 2. Menghindari kemaksiatan Karena ibadah yang satu ini melibatkan pribadi dan orang lain, maka harus sangat diperhatikan beberapa hal yang mungkin dapat menimbulkan kemaksiatan yang sengaja, maupun tanpa sengaja dilakukan oleh pelaksana, maupun undangan yang datang, untuk itu ada beberapa catatan yang harus diperhatikan sehingga kita terbebas dari kemaksiatan kepada Allah; Sang Pencipta kita : a. Jangan melupakan fakir miskin dalam mengundang tamu. "Makanan paling buruk adalah makanan dalam walimah, dimana orang- orang kaya diundang makan, sedangkan orang-orang miskin tidak diundang." (HR. Muslim dan Baihaqi) b. Menghindari perbuatan syirik dan khurafat. Dalam masyarakat kita terdapat banyak kebiasaan dan hal-hal yang dilandasi oleh kepercayaan terhadap selain Allah SWT, walaupun sering kita mendengar bahwa hal-hal tersebut hanya perantara, tetapi tetap karena Rasul-Nya tidak mencontohkan, bahkan Allah SWT telah jelas- jelas melarangnya, maka jangan dilaksanakan. "Dan bahwasannya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan." (QS. Al Jin (72) : 6) "Barang siapa mendatangi dukun atau peramal, dan percaya kepada ucapannya, maka ia telah mengkufuri apa yang telah diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad saw." (HR. Abu Daud) "Barang siapa membatalkan maksud keperluannya karena ramalan hari mujur, maka ia telah syirik kepada Allah." (HR. Ahmad). c. Tidak bercampur baur antara tamu pria dan wanita. Hikmah tidak bercampur baurnya antara tamu pria dan wanita adalah untuk menghindari terjadinya zina mata dan zina hati; dan inilah tindakan preventif (pencegahan) dari perbuatan selanjutnya. "Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk." (QS. Al Israa' (17) : 32) Katakanlah kepada laki-laki yang beriman:"Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat". Katakanlah kepada wanita yang beriman:"Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka.Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedada mereka, dan janganlah menampakkan perhiasan mereka, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera- putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera- putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.Dan bertaubatlah kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (QS. An Nuur (24) : 30 - 31) Perlu diingat menahan sebagian pandangan ini berarti bukan selalu menunduk, tetapi menahan pandangan dari apa-apa yang dilarang oleh Allah SWT untuk dilihat oleh kita. "Dua mata itu bisa berzina, dan zinanya ialah melihat (yang bukan mahramnya)." (HR. Bukhari) Dan salah satu bentuk yang bisa menimbulkan gejolak syahwat dan menghantarkan kepada perzinaan (hati/persetubuhan) adalah berjabat tangan antara orang yang bukan mahramnya. "Barang siapa yang berjabat tangan dengan selain mahramnya maka akan mendapat murka dari Allah Azza wa Jalla." (HR. Ibnu Baabawih) Untuk membantu terlaksananya hal tersebut di atas, maka sangat diperlukan sebuah pelengkap agar kita (para tamu) dapat menjaga pandangan pada apa yang Allah larang; yaitu dengan pemisahan ruangan tamu untuk pria dan wanita atau memakai hijab (tirai) antara tamu wanita dan pria, sebagaimana Rasulullah contohkan pada waktu Rasulullah menikah dengan Zainab binti Jahsyi di Madinah, yang merupakan sebab turunnya surat Al Ahzab atau 53. Hal ini jangan dianggap hal yang mengada-ada dan asing, karena telah dijelaskan di awal, bahwa walimah merupakan sebuah aktifitas dari sekian aktifitas yang termasuk ibadah, maka iapun sama dengan ibadah- ibadah yang lainnya memiliki aturan main; contoh nyata adalah shalat, dimana dalam shalat terjadi pemisahan antara pria dan wanita; juga kegiatan pengajianpun demikian, jadi sangat wajar dan sebuah ajaran dari Allah yang Maha Mengetahui kekurangan dan kelebihan manusia serta mengetahui apa yang terjadi bila manusia hanya berpijak pada prasangka dan keyakinannya; yang pada dasarnya manusia itu makhluk yang lemah dan tidak mengetahui yang ghaib dan akibat dari perbuatannya. Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai. (QS. Ar Ruum (30) : 7) Tetapi orang-orang yang zalim, mengikuti hawa nafsunya tanpa ilmu pengetahuan; maka siapakah yang akan menunjuki orang yang telah disesatkan Allah? Dan tiadalah bagi mereka seorang penolongpun. (QS. Ar Ruum (30) : 29) d. Menghindari hiburan yang merusak nilai ibadah. Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan.Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan. (QS. Luqman (31) : 6) e. Menghindari dari perbuatan mubazir. Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan:dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya. (QS. Al Israa' (17) : 27) f. Saling menghormati dan berkata yang baik. "Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia berkata baik, barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah menghormati tetangganya, barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah menghormati tamunya." (HR. Bukhari dan Muslim) g. Memberikan ucapan selamat dan mendo'akan kedua mempelai. Disunnahkan kita untuk mengucapkan do'a ketika kita berjabat tangan dengan sang pengantin. "Apabila salah seorang saudaramu menikah ucapkanlah : "Baarokallohu laka, wabaaroka 'alaika, wa jama'a bainakuma fii khoir" artinya : "Semoga Allah SWT memberkahimu dan mudah-mudahan Allah mengekalkan berkah atasmu serta menghimpun kalian berdua di dalam kebaikan." (HR. Abu Daud dan Tirmidzi). Atau do'a Rasulullah kepada Ali bin Abi Thalib ketika menikah dengan Fatimah Az-Zahrah (putri Rasulullah) : "Semoga Allah mengimpun yang terserak dari kalian berdua, memberkahi kalian berdua; dan kiranya Allah meningkatkan kualitas keturunannya, menjadikan pembuka rahmat, sumber ilmu dan hikmah, pemberi rasa aman bagi umat." ADAB MAKAN PADA ACARA WALIMAH 1. Tidak berlebih-lebihan "Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan." (QS. Al A'raaf (7) :31) 2. Menggunakan tangan kanan "Dari Khafsah, bahwasanya Rasulullah telah menggunakan tangan kanan sewaktu makan dan minum serta berpakaian, sedang tangan lainnya untuk selain itu." (HR. Abu Daud) 3. Jangan makan-minum sambil berdiri "Dari Anas, bahwasanya Nabi saw telah melarang seseorang sambil berdiri, Qatadah bertanya kepada Anas : "Bagaimana jika makan sambil berdiri?" jawabnya : "Tentunya yang demikian itu sangat buruk dan jahat." (HR. Muslim) Demikianlah risalah ini kami susun, mudah-mudahan kita dapat memahaminya dengan pemahaman yang benar tanpa dilandasi prasangka buruk dalam mempelajari Al Islam yang sangat sempurna (mencakup segala aspek) dalam ajarannya, sehingga kita dapat mengamalkannya secara konsisten dan konsekuen, amin. ------------------------------------------------------------------ Abu Muhammad Abdullah bin Amr bin Ash ra, berkata, bahwa Rasulullah bersabda : "Tidak beriman seseorang sehingga hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa." Hadits Shahih dalam kita Al Hujjah "Apapun yang aku larang untuk kalian, jauhilah ! dan apapun yang aku perintahkan untuk kalian lakukan, kerjakanlah semampu kalian ! Sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah banyaknya pertanyaan dan perselisihan mereka terhadap nabi-nabi mereka." HR. Bukhari dan Muslim

TATA CARA HAJI

Pertama: Haji adalah salah satu dari lima rukun Islam. Ia wajib dilakukan sekali seumur hidup, berdasarkan firman Allah: "Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji) maka sesungguhnya Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam." (Ali Imran: 97). Dan berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam: "Islam itu dibangun di atas lima perkara; bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq melainkan Allah dan (bersaksi) bahwa Muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa (di bulan) Ramadhan dan menunaikan haji ke Baitullah." (Muttafaq Alaih). Haji diwajibkan dengan lima syarat: 1. Islam. 2.Berakal. 3.Baligh. 4.Merdeka. 5. Mampu. 6. Dan bagi perempuan ditambah dengan satu syarat yaitu adanya mahram yang pergi bersamanya. Sebab haram hukumnya jika ia pergi haji atau safar (bepergian) lainnya tanpa mahram, Syarat kelima yakni mampu, meliputi kemampuan materi dan fisik. Barangsiapa tidak mampu dengan hartanya untuk memenuhi biaya perjalanan, nafkah haji dan sejenisnya maka ia tidak berkewajiban haji. Adapun orang yang mampu secara materil, tetapi tidak mampu secara fisik dan jauh harapan sembuhnya, seperti orang yang sakit menahun, orang yang cacat atau tua renta maka ia harus mewakilkan hajinya kepada orang lain. Dan disyaratkan orang yang mewakilinya sudah haji untuk dirinya sendiri. Kedua: Allah berfirman: "(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimak-lumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan." (Al-Baqarah: 197). Rafats adalah bersetubuh atau yang merangsang kepadanya, berbuat fasik artinya berbuat maksiat, sedang yang dimaksud berbantah-bantahan adalah berbantah-bantahan secara batil atau berbantah-bantahan yang tidak ada manfaatnya, atau yang bahayanya lebih besar dari manfaatnya. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa menunaikan haji sedang ia tidak melakukan rafats dan perbuatan fasik maka ia pulang (haji) sebagaimana hari ketika ia dilahirkan ibunya." (Muttafaq Alaih). "Umrah ke umrah lainnya adalah kaffarah (peng-hapus dosa) antara keduanya, dan haji mabrur tiada lain balasannya selain Surga." (Muttafaq Alaih). Karena itu wahai Saudara Haji, waspadalah dari terperosok ke dalam maksiat, baik yang besar maupun yang kecil. Seperti mengakhirkan shalat dari waktunya, ghibah (menggunjing), namimah (mengadu domba), mencaci dan menghina, mendengarkan nyanyian, men-cukur jenggot, isbal (menurunkan atau memanjangkan pakaian/kain hingga di bawah mata kaki), merokok, melihat kepada yang haram di jalan atau di telivisi. Kemudian bagi wanita, hendaknya menutupi semua tubuhnya dengan hijab syar'i (kain penutup yang di-syari'atkan) serta menjauhkan diri dari memperlihatkan aurat. Dengan banyaknya manusia, desak-desakan dan lelah, terkadang seseorang diuji dengan berbantah-bantahan yang dilarang dalam haji. Misalnya dengan petugas lalu lintas atau sopir mobil umum; ketika berdesak-desakan saat thawaf atau ketika melempar jumrah. Waspadalah dari godaan dan tipu daya setan. Berusahalah untuk selalu bersikap lembut, sabar dan berpaling dari orang-orang bodoh. Usahakan untuk tidak keluar dari lisanmu kecuali ucapan-ucapan yang baik. Ketiga: Ketika haji, sebagian wanita tidak mengenakan jubah wanita dan ia berjalan di antara laki-laki dengan pakaiannya. Terkadang pula ia memakai celana panjang. Ia mengira bahwa hijab itu hanyalah sebatas meletakkan kerudung di atas kepala. Ini adalah pemahaman yang keliru. Lebih parah lagi, sebagian wanita pada hari Raya berhias dan berjalan di depan laki-laki dengan mengenakan pakaian yang indah. Ia mengira bahwa itu adalah bagian dari kegembiraan hari Raya. Ia tidak memahami bahwa perbuatannya itu termasuk kefasikan yang besar dalam ibadah haji. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Aku tidak meninggalkan fitnah setelahku yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada (fitnah) wanita." (Muttafaq Alaih). Sebagian wanita ada juga yang menganggap remeh masalah tidur di tempat-tempat umum yang membuat laki-laki bisa melihat mereka. Adalah wajib bagi wanita muslimah untuk bertaq-wa kepada Allah dan membatasi diri dari laki-laki asing (bukan mahram) dengan mengenakan baju kurung lebar yang tidak ada perhiasannya, sehingga tak kelihatan sesuatu pun dari (anggota badan)nya, baik wajah, tangan atau kakinya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Wanita adalah aurat. Jika ia keluar maka setan mengawasi/mengincarnya." (HR. At-Tirmidzi dengan sanad shahih). Pada asalnya, istisyraf (mengincar) berarti meletakkan telapak tangan di atas alis mata serta mendongakkan kepala untuk melihat. Maknanya sesuai konteks hadits di atas- adalah jika wanita keluar rumah maka setan mengincarnya untuk menggodanya atau menggoda (laki-laki) dengan dirinya. Keempat: Jika seorang muslim melakukan ihram haji atau umrah maka haram atasnya sebelas perkara sampai ia keluar dari ihramnya (tahallul): 1. Mencabut rambut. 2. Menggunting kuku. 3. Memakai wangi-wangian. 4. Membunuh binatang buruan (darat, adapun bina-tang laut maka dibolehkan). 5. Mengenakan pakaian berjahit (bagi laki-laki dan tidak mengapa bagi wanita). Pakaian berjahit adalah pakaian yang membentuk badan, seperti baju, kaos, celana pendek, gamis, celana panjang, kaos tangan dan kaos kaki. Adapun sesuatu yang ada jahitannya tetapi tidak membentuk badan maka hal itu tidak membahayakan muhrim (orang yang sedang ihram), seperti sabuk, jam tangan, sepatu yang ada jahitan-nya dsb. 6. Menutupi kepala atau wajah dengan sesuatu yang menempel (bagi laki-laki), seperti peci, penutup kepala, surban, topi dan yang sejenisnya. Tetapi dibolehkan berteduh di bawah payung, di dalam kemah dan mobil. Juga dibolehkan membawa barang di atas kepala jika tidak dimaksudkan untuk menutupinya. 7. Memakai tutup muka dan kaos tangan (bagi wanita). Tetapi jika di depan laki-laki asing (bukan mahram) maka ia wajib menutupi wajah dan kedua tangannya, namun dengan selain tutup muka (cadar), misalnya dengan menurunkan kerudung ke wajah dan memasukkan tangan ke dalam baju kurung. 8. Melangsungkan pernikahan. 9. Bersetubuh. 10. Bercumbu (bermesraan) dengan syahwat. 11. Mengeluarkan mani dengan onani atau bercumbu. Orang Yang Melakukan Hal-hal Yang Dilarang Memiliki Tiga Keadaan: 1. Ia melakukannya tanpa udzur (alasan), maka ia berdosa dan wajib membayar fidyah (tebusan). 2. Ia melakukannya untuk suatu keperluan, seperti memotong rambut karena sakit. Perbuatannya ter-sebut dibolehkan, tetapi ia wajib membayar fidyah. 3. Ia melakukannya dalam keadaan tidur, lupa, tidak tahu atau dipaksa. Dalam keadaan seperti itu ia tidak berdosa dan tidak wajib membayar fidyah. Jika yang dilanggar itu berupa mencabut rambut, menggunting kuku, memakai wangi-wangian, bercumbu karena syahwat, laki-laki mengenakan kain yang berjahit atau menutupi kepalanya, atau wanita memakai tutup muka (cadar) atau kaos tangan maka fidyah-nya antara tiga hal. Orang yang melakukan pelanggaran itu boleh memilih salah satu daripadanya: 1. Menyembelih kambing (untuk dibagikan kepada orang-orang fakir miskin dan ia tidak boleh memakan sesuatu pun daripadanya). 2. Memberi makan enam orang miskin, masing-masing setengah sha' makanan. (setengah sha' lebih kurang sama dengan 1,25 kg.). 3. Berpuasa selama tiga hari. Dari larangan-larangan di atas, dikecualikan hal-hal berikut ini: 1. Melangsungkan pernikahan, sebab ia hukumnya haram, maka tidak ada fidyah karenanya. 2. Membunuh binatang buruan (darat), sebab ia hukumnya haram, dan terdapat denda jika ia membunuhnya secara sengaja. 3. Bersetubuh (dan ia adalah larangan yang paling besar). Jika ia melakukannya secara sengaja sebelum tahallul pertama, maka ada lima konsekuensi: Berdosa, Hajinya batal. Ia wajib menyempurnakan hajinya. Ia wajib mengulangi (men-qadha') hajinya pada tahun depan. Ia wajib membayar fidyah berupa seekor unta yang disembelih ketika melakukan haji qadha'. Kelima: Haji ada tiga jenis; tamattu', qiran dan ifrad. Yang paling utama adalah haji tamattu', karena perintah Nabi J terhadapnya. Haji tamattu' yaitu ia melakukan ihram dengan niat umrah saja pada bulan haji, setelah selesai melakukannya ia lalu melakukan ihram dengan niat haji pada hari Tarwiyah (tanggal 8 Dzul Hijjah, pen.). Haji ifrad yaitu ia melakukan ihram dengan niat haji saja, ketika sampai di Makkah ia melakukan thawaf qudum, kemudian langsung melakukan sa'i haji setelah thawaf qudum . Haji qiran yaitu ia melakukan ihram dengan niat umrah dan haji sekaligus. Pekerjaan orang yang menunaikan haji qiran sama dengan pekerjaan haji ifrad , kecuali dalam dua hal: 1. Niat. Orang yang melakukan haji ifrad hanya meniatkan haji saja, sedangkan orang yang menunaikan haji qiran meniatkan untuk umrah dan haji (secara bersamaan). 2. Hadyu (menyembelih kurban). Orang yang menunaikan haji qiran wajib menyembelih kurban, sedangkan orang yang menunaikan haji ifrad tidak wajib hadyu (menyembelih kurban

Pendidikan Agama Pada Anak

MEMPERHATIKAN ANAK PADA USIA ENAM TAHUN PERTAMA Periode pertama dalam kehidupan anak (usia enam tahun pertama) merupakan periode yang amat kritis dan paling penting. Periode ini mempunyai pengaruh yang sangat mendalam dalam pembentukan pribadinya. Apapun yang terekam dalam benak anak pada periede ini, nanti akan tampak pengaruh-pengaruhnya dengannyata pada kepribadiannya ketika menjadi dewasa. (Aisyah Abdurrahman Al Jalal, Al Muatstsirat as Salbiyah.) Karena itu, para pendidik perlu memberikan banyak perhatian pada pendidikan anak dalam periode ini. Aspek-aspek yang wajib diperhatikan oleh kedua orangtua dapat kami ringkaskan sebagai berikut: 1. Memberikan kasih sayang yang diperlukan anak dari pihak kedua orangtua, terutama ibu. Ini perlu sekali, agar anak belajar mencintai orang lain. Jika anak tidak merasakan cintakasih ini,maka akan tumbuh mencintai dirinya sendiri saja dan membenci orang disekitamya. "Seorang ibu yang muslimah harus menyadari bahwa tidak ada suatu apapun yang mesti menghalanginya untuk memberikan kepada anak kebutuhan alaminya berupa kasih sayang dan perlindungan. Dia akan merusak seluruh eksistensi anak, jika tidak memberikan haknya dalam perasaan-perasaan ini, yang dikaruniakan Allah dengan rahmat dan hikmah-Nya dalam diri ibu, yang memancar dengan sendirinya untuk memenuhi kebutuhan anak." (Muhammad Quthub,Manhaiut Tarbiyah Al Islamiyah, juz 2.) Maka sang ibu hendaklah senantiasa memperhatikan hal ini dan tidak sibuk dengan kegiatan karir di luar rumah, perselisihan dengan suami atau kesibukan lainnya. 2. Membiasakan anak berdisiplin mulai dari bulan-bulan pertama dari awal kehidupannya. Kami kira, ini bukan sesuatu yang tidak mungkin. Telah terbukti bahwa membiasakan anak untuk menyusu dan buang hajat pada waktu-waktu tertentu dan tetap, sesuatu yang mungkin meskipun melalui usaha yang berulang kali sehingga motorik tubuh akan terbiasa dan terlatih dengan hal ini. Kedisiplinan akan tumbuh dan bertambah sesuai dengan pertumbuhan anak, sehingga mampu untuk mengontrol tuntutan dan kebutuhannya pada masa mendatang. 3. Hendaklah kedua orangtua menjadi teladan yang baik bagi anak dari permulaan kehidupannya. Yaitu dengan menetapi manhaj Islam dalam perilaku mereka secara umum dan dalam pergaulannya dengan anak secara khusus. Jangan mengira karena anak masih kecil dan tidak mengerti apa yang tejadi di sekitarnya, sehingga kedua orangtua melakukan tindakan-tindakan yang salah di hadapannya. Ini mempunyai pengaruh yang besar sekali pada pribadi anak. "Karena kemampuan anak untuk menangkap, dengan sadar atau tidak, adalah besar sekali. Terkadang melebihi apa yang kita duga. Sementara kita melihatnya sebagai makhluk kecil yang tidak tahu dan tidak mengerti. Memang, sekalipun ia tidak mengetahui apa yang dilihatnya, itu semua berpengaruh baginya. Sebab, di sana ada dua alat yang sangat peka sekali dalam diri anak yaitu alat penangkap dan alat peniru, meski kesadarannya mungkin terlambat sedikit atau banyak. Akan tetapi hal ini tidak dapat merubah sesuatu sedikitpun. Anak akan menangkap secara tidak sadar, atau tanpa kesadaran puma, dan akan meniru secara tidak sadar, atau tanpa kesadaran purna, segala yang dilihat atau didengar di sekitamya." (Ibid.) 4. Anak dibiasakan dengan etiket umum yang mesti dilakukan dalam pergaulannya. • Dibiasakan mengambil, memberi, makan dan minum dengan tangan kanan. Jika makan dengan tangan kiri, diperingatkan dan dipindahkan makanannya ke tangan kanannya secara halus. • Dibiasakan mendahulukan bagian kanan dalam berpakaian. Ketika mengenakan kain, baju, atau lainnya memulai dari kanan; dan ketika melepas pakaiannya memulai dari kiri. • Dihindarkan tidak memakai pakaian atau celana yang pendek, agar anak tumbuh dengan kesadaran menutup aurat dan malu membukanya. • Dibiasakan sederhana dalam makan dan minum, dan dijauhkan dari sikap rakus. • Dibiasakan membaca Bismillah ketika hendak makan. • Dididik untuk mendahulukan orang lain dalam makanan atau permainan yang disenangi, dengan dibiasakan agar menghormati saudara-saudaranya, sanak familinya yang masih kecil, dan anak-anak tetangga jika mereka melihatnya sedang menikmati sesuatu makanan atau permainan. • Dibiasakan mengucapkan dua kalimat syahadat dan mengulanginya berkali-kali setiap hari. • Dibiasakan membaca "AZhamdulillah" jika bersin, dan mengatakan "Yarhamukallah" kepada orang yang bersin jika membaca "Alhamdulillah". • Dibiasakan berterima kasih jika mendapat suatu kebaikan, sekalipun hanya sedikit. • Tidak memanggil ibu dan bapak dengan namanya, tetapi dibiasakan memanggil dengan kata-kata: Ummi (Ibu), dan Abi (Bapak). • Ketika berjalan jangan mendahului kedua orangtua atau siapa yang lebih tua darinya, dan tidak memasuki tempat lebih dahulu dari keduanya untuk menghormati mereka. • Mengucapkan salam dengan sopan kepada orang yang dijumpainya dengan mengatakan "Assalamu 'Alaikum" serta membalas salam orang yang mengucapkannya. • Diajari kata-kata yang benar dan dibiasakan dengan bahasa yang baik. • Dibiasakan menuruti perintah orangtua atau siapa saja yang lebih besar darinya, jika disuruh sesuatu yang diperbolehkan. • Hendaknya kedua orangtua mengucapkan terima kasih kepada anak jika menuruti perintah dan menjauhi larangan. Bisa juga sekali-kali memberikan hadiah yang disenangi berupa makanan, mainan atau diajak jalan-jalan. • Dibiasakan menghormati milik orang lain, dengan tidak mengambil permainan ataupun makanan orang lain, sekalipun permainan atau makanan saudaranya sendiri. MEMPERHATIKAN ANAK PADA USIA SETELAH ENAM TAHUN PERTAMA Pada periode ini anak menjadi lebih siap untuk belajar secara teratur. Ia mau menerima pengarahan lebih banyak, dan lebih bisa menyesuaikan diri dengan teman-teman sepermainannya. Dapat kita katakan, pada periode ini anak lebih mengerti dan lebih semangat untuk belajar dan memperoleh ketrampilan-ketrampilan, karenanya ia bisa diarahkan secara langsung. Oleh sebab itu, masa ini termasuk masa yang paling penting dalam pendidikan dan pengarahan anak. 1. Pengenalan Allah dengan cara yang sederhana. • Bahwa Allah Esa, tiada sekutu bagi-Nya. • Bahwa Dialah Pencipta segala sesuatu. Pencipta langit, bumi, manusia, hewan, pohon-pohonan, sungai dan lain-lainnya. Pendidik dapat memanfaatkan situasi tertentu untuk bertanya kepada anak, misalnya ketika bejalan-jalan di taman atau padang, tentang siapakah Pencipta air, sungai,bumi,pepohonan dan lain-lainnya, untuk menggugah perhatiannya kepada keagungan Allah. • Cinta kepada Allah, dengan ditunjukkan kepadanya nikmat-nikmat yang dikaruniakan Allah untuknya dan untuk keluarganya. Misalnya, anak ditanya: Siapakah yang memberimu pendengaran, penglihatan dan akal? Siapakah yang memberimu kekuatan dan kemampuan untuk bergerak? Siapakah yang memberi rizki dan makanan untukmu dan keluargamu? Demikianlah, ditunjukkan kepadanya nikmat-nikmat yang nyata dan dianjurkan agar cinta dan syukur kepada Allah atas nikmat yang banyak ini. 2. Pengajaran sebagian hukum yang jelas dan tentang halal-haram. Diajarkan kepada anak menutup aurat, berwudhu, hukum-hukum thaharah (bersuci) dan pelaksanaan shalat. Juga dilarang dari hal-hal yang haram, dusta, adu domba, mencuri dan melihat kepada yang diharamkan Allah. Pokoknya, disuruh menetapi syariat Allah sebagaimana orang dewasa dan dicegah dari apa yang dilarang sebagaimana orang dewasa, sehingga anak akan tumbuh demikian dan menjadi terbiasa. Karena bila semenjak kecil anak dibiasakan dengan sesuatu, maka kalau sudah dewasa akan menjadi kebiasaannya. Agar diupayakan pula pengajaran ilmu pengetahuan kepada anak, sebagaimana kata Sufyan Al Tsauri: "Seorang bapak barns menanamkan ilmu pada anaknya, karena dia pmanggung jawabnya." (Muhammad Hasan Musa, Nuzharul Fudhala' Tahdzib Siar A'lamin Nubala :Juz 1.) 3. Pengajaran baca Al Qur'an. Al Qur'an adalah jalan lurus yang tak mengandung suatu kebatilan apapun. Maka amat baik jika anak dibiasakan membaca Al Qu~an dengan benar, dan diupayakan semaksimalnya agar mengbafal Al Qur'an atau sebagian besar darinya dengan diberi dorongan melalui berbagaicara. Karena itu, kedua orangtua bendaklah berusaha agar putera puterinya masuk pada salah satu sekoiah tahfizh Al Qur'an; kalau tidak bisa, diusahakan masuk pada salah satu halaqah tahfizh. Diriwayatkan Abu Dawud dari Mu'adz bin Anas bahwa Nabi shallallahu alaihi wasalam bersabda:"Barang siapa membaca Al-quran dan mengamalkan kandungan isinya, niscaya Allah pada hari kiamat mengenakan kepada keda orang tuanya sebuah mahkota yang cahayanya lebih indah daripada cahaya matahari di rumah-rumah dunia. Maka apa pendapatmu tentang orang yang mengamalkan hal ini". Para salaf dahulu pun sangat memperhatikan pendidikan tahfizh Al Qur'an bagi anak-anak mereka. Syaikh Yasin bin Yusuf Al Marakisyi menceritakan kepada kita tentang imam AnNawawi, Rahimahullah, katanya: "Aku melihat beliau ketika masih berumur 10 tahun di Nawa. Para anak kecil tidak mau bermain dengannya dan iapun berlari dari mereka seraya menangis, kemudian ia membaca Al Qur'an. Maka tertanamlah dalam hatiku rasa cinta kepadanya. Ketika itu bapaknya menugasinya menjaga toko, tetapi ia tidak mau bejualan dan menyibukkan diri dengan Al Qur'an. Maka aku datangi gurunya dan berpesan kepadanya bahwa anak ini diharapkan akan menjadi orang yang paling alim dan zuhud pada zamannya serta bermanfaat bagi umat manusia. Ia pun berkata kepadaku: Tukang ramalkah Anda? Jawabku: Tidak, tetapi Allah-lah yang membuatku berbicara tentang hal ini. Bapak guru itu kemudian menceritakan kepada orangtuanya, sehingga memperhatikan beliau dengan sungguh-sungguh sampai dapat khatam Al Qur'an ketika menginjak dewasa." 4, Pengajaran hak-hak kedua orangtua, Diajarkan kepada anak untuk bersikap hormat, taat dan berbuat baik kepada kedua orangtua, sehingga terdidik dan terbiasa demikian. Anak sering bersikap durhaka dan melanggar hak-hak orangtua disebabkan karena kurangnya perhatian orangtua dalam mendidik anak dan tidak membiasakannya berbuat kebaikan sejak usia dini. Firman Allah Ta'ala :'Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan beribadah kepada selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesanyangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil." (Surah Al-Isra': 23-24). 5. Pengenalan tokoh-tokoh teladan yang agung dalam Islam. Tokoh teladan kita yang utama yaitu Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam, kemudian para sahabat yang mulia Radhiallahu 'Anhum dan pengikut mereka dengan baik yang menjadi contoh terindah dalam segala aspek kehidupan. Maka dikenalkan kepada anak tentang mereka, diajarkan sejarah dan kisah mereka supaya meneladani perbuatan agung mereka dan mencontoh sifat baik mereka seperti keberanian, keprajuritan, kejujuran, kesabaran, kemuliaan, keteguhan pada kebenaran dan sifat-sifat lainnya. Kisah atau kejadian yang diceritakan kepada anak hendaklah sesuai dengan tingkat pengertiannya, tidak membosankan, dan difokuskan pada penampilan serta penjelasan aspek-aspek yang baik saja sehingga mudah diterima oleh anak. 6. Pengajaran etiket umum. Seperti etiket mengucapkan salam dan meminta izin, etiket berpakaian, makan dan nninum,etiket berbicara dan bergaul dengan orang lain. Juga diajarkan bagaimana bergaul dengan kedua orangtua, sanak famili yang tua, kolega orangtua, guru-gurunya, kawan-kawannya dan teman sepermainannya. Diajarkan pula mengatur kamamya sendiri, menjaga kebersihan rumah, menyusun alat bermain, bagaimana bermain tanpa mengganggu orang lain dan bagaimana bertingkah laku di masjid dan disekolahan. Pegajaran berbagai hal di atas dan juga lainnya pertama-tama harus bersumber kepada Sunnah Rasulullah , lalu peri kehidupan para salaf yang shaleh, kemudian karya tulis para pakar dalam bidang pendidikan dan tata pergaulan. 7. Pengembangan rasa percaya diri dan tanggung jawab dalam diri anak. Anak-anak sekarang ini adalah pemimpin hari esok. Karena itu, harus dipersiapkan dan dilatih mengemban tanggung jawab dan melaksanakan tugas yang nantinya akan mereka lakukan. Hal itu bisa direalisasikan dalam diri anak melalui pembinaan rasa percaya diri, penghargaan jati dirinya, dan diberikan kepada anak kesempatan untuk menyampaikan pendapatnya dan apa yang terbetik dalam pikirannya, serta diberikan kepadanya dorongan agar mengerjakan urusannya sendiri, bahkan ditugasi dengan pekejaan rumah tangga yang sesuai untuknya. Misalnya, disuruh untuk membeli beberapa keperluan rumah dari warung terdekat; anak perempuan diberi tugas mencuci piring dan gelas atau mengasuh adik. Pemberian tugas kepada anak ini bertahap sedikit demi sedikit sehingga mereka terbiasa mengemban tanggung jawab dan melaksanakan tugas yang sesuai bagi mereka. Termasuk pemberian tanggung jawab kepada anak, ia harus menanggung resiko perbuatan yang dilakukannya. Maka diajarkan kepada anak bahwa ia bertanggung jawab atas kesalahan yang dilakukannya serta dituntut untuk memperbaiki apa yang telah dirusaknya dan meminta maaf atas kesalahannya. Seorang anak jika terdidik untuk percaya diri akan mampu mengemban tanggung jawab yang besar. Sebagaimana putera-putera para sahabat, mereka berusaha sungguh-sungguh agar dapat ikut bersama para mujahidin Fisabilillah; sampai salah seorang di antara mereka ada yang menangis karena Rasulullah belum mengizinkannya ikut berperang bersama pasukan, tetapi karena simpati terhadapnya beliau pun mengizinkannya; dan akhimya ia termasuk salah satu syuhada dalam peperangan itu. MEMPERHATIKAN. ANAK PADA MASA REMAJA Pada masa ini pertumbuhan jasmani anak menjadi cepat, wawasan akalnya bertambah luas, emosinya menjadi kuat dan semakin keras, serta naluri seksualnya pun mulaibangkit. Masa ini merupakan pendahuluan masa baligh.Karena itu, para pendidik perlu memberikan perhatian terhadap masalah-masalah berikut dalam menghadapi remaja: 1. Hendaknya anak, putera maupun puteri, merasa bahwa dirinya sudah dewasa karena ia sendiri menuntut supaya diperlakukan sebagai orang dewasa, bukan sebagai anak kecil lagi. 2. Diajarkan kepada anak hukum-hukum akilbaligh dan diceritakan kepadanya kisah-kisah yang dapat mengembangkan dalam dirinya sikap takwa dan menjauhkan diri dari hal yang haram. 3. Diberikan dorongan untuk ikut serta melaksanakan tugas-tugas rumah tangga, seperti melakukan pekerjaan yang membuatnya merasa bahwa dia sudah besar. 4. Berupaya mengawasi anak dan menyibukkan waktunya dengan kegiatan yang bermanfaat serta mancarikan teman yang baik.

BERTAWAKKAL KEPADA ALLAH

A. Yang Dimaksud Bertawakkal kepada Allah Para ulama telah menjelaskan makna tawakkal. Di antaranya adalah Imam Al-Ghazali, beliau berkata: "Tawakkal adalah penyandaran hati hanya kepada wakil (yang di-tawakkali) semata." Al-Allamah Al-Manawi berkata: "Tawakkal adalah menampakkan kelemahan serta penyandaran (diri) kepada yang di tawakkali." Menjelaskan makna tawakkal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal, Al-Mulla Ali Al-Qori berkata: "Hendaknya kalian ketahui secara yakin bahwa tidak ada yang berbuat dalam alam wujud ini kecuali Allah, dan bahwa setiap yang ada, baik makhluk maupun rizki, pem-berian atau pelarangan, bahaya atau manfaat, kemiskinan atau kekayaan, sakit atau sehat, hidup atau mati dan segala hal yang disebut sebagai sesuatu yang maujud (ada), semua-nya itu adalah dari Allah." B. Bertawakkal kepada Allah Termasuk Kunci Rizki Imam Ahmad, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Al-Mubarak, Ibnu Hibban, Al-Hakim, Al-Qhudha'i dan Al-Baghawi meriwayatkan dari Umar bin Khaththab bahwa Rasulullah bersabda: "Sungguh, seandainya kalian bertawakkal kepada Allah sebenar-benar tawakkal, niscaya kalian akan diberi rizki sebagaimana rizki burung-burung. Mereka berangkat pagi-pagi dalam keadaan lapar, dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang." Dalam hadits yang mulia ini, Rasulullah yang ber-bicara dengan wahyu menjelaskan, orang yang bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal, niscaya dia akan diberi rizki oleh Allah sebagaimana burung-burung diberiNya rizki. Betapa tidak demikian, karena dia telah bertawakkal kepada Dzat Yang Maha Hidup, Yang tidak pernah mati. Karena itu, barangsiapa bertawakkal kepada-Nya, niscaya Allah akan mencukupinya. Allah berfirman: "Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)Nya. Se-sungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu." (Ath-Thalaq: 3). C. Apakah Tawakkal itu Berarti Mening-galkan Usaha? Sebagian orang mukmin ada yang berkata: "Jika orang yang bertawakkal kepada Allah itu akan diberi rizki, maka kenapa kita harus lelah, berusaha dan mencari penghidupan. Bukankah kita cukup duduk-duduk dan bermalasan-malasan, lalu rizki kita datang dari langit?" Perkataan ini sungguh menunjukkan kebodohan orang yang mengucapkan tentang hakikat tawakkal. Nabi kita yang mulia telah menyerupakan orang yang bertawakkal dan di-beri rizki itu dengan burung yang pergi di pagi hari dan pulang pada sore hari, padahal burung itu tidak memiliki sandaran apapun, baik perdagangan, pertanian, pabrik atau pekerjaan tertentu. Ia keluar berbekal tawakkal kepada Allah Yang Maha Esa dan Yang kepadanya tempat bergantung. Dan sungguh para ulama –semoga Allah membalas mereka dengan sebaik-baik kebaikan– telah memperingatkan masa-lah ini. Di antaranya adalah Imam Ahmad, beliau berkata: " Dalam hadits tersebut tidak ada isyarat yang membolehkan untuk meninggalkan usaha, sebaliknya justru di dalamnya ada isyarat yang menunjukkan perlunya mencari rizki. Jadi maksud hadits tersebut, bahwa seandainya mereka berta-wakkal kepada Allah dalam kepergian, kedatangan dan usa-ha mereka, dan mereka mengetahui kebaikan (rizki) itu di TanganNya, tentu mereka tidak akan pulang kecuali dalam keadaan mendapatkan harta dengan selamat, sebagaimana burung-burung tersebut." Imam Ahmad pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang hanya duduk di rumah atau masjid seraya berkata, 'Aku tidak mau bekerja sedikit pun, sampai rizkiku datang sendiri'. Maka beliau berkata, Ia adalah laki-laki yang tidak mengenal ilmu. Sungguh Nabi bersabda: "Sesungguhnya Allah telah menjadikan rizkiku melalui panahku." Dan beliau bersabda:"Sekiranya kalian bertawakkal kepada Allah dengan se-benar-benar tawakkal, niscaya Allah memberimu rizki sebagaimana yang diberikanNya kepada burung-burung berangkat pagi-pagi dalam keadaan lapar dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang." Dalam hadits tersebut dikatakan, burung-burung itu berangkat pagi-pagi dan pulang sore hari dalam rangka men-cari rizki. Selanjutnya Imam Ahmad berkata: "Para Sahabat berda-gang dan bekerja dengan pohon kurmanya. Dan mereka itu-lah teladan kita". Syaikh Abu Hamid berkata: "Barangkali ada yang mengi-ra bahwa makna tawakkal adalah , meninggalkan pekerjaan secara fisik, meninggalkan perencanaan dengan akal serta menjatuhkan diri di atas tanah seperti sobekan kain yang di-lemparkan, atau seperti daging di atas landasan tempat me-motong daging. Ini adalah sangkaan orang-orang bodoh. Semua itu adalah haram menurut hukum syari'at. Sedangkan syari'at memuji orang yang bertawakkal. Lalu, bagaimana mungkin sesuatu derajat ketinggian dalam agama dapat di-peroleh dengan hal-hal yang dilarang oleh agama pula? Hakikat yang sesungguhnya dalam hal ini dapat kita kata-kan, "Sesungguhnya pengaruh bertawakkal itu tampak da-lam gerak dan usaha hamba ketika bekerja untuk mencapai tujuan-tujuannya". Imam Abul Qosim Al-Qusyairi berkata: "Ketahuilah se-sungguhnya tawakkal itu letaknya di dalam hati. Adapun gerak secara lahiriah hal itu tidak bertentangan dengan ta-wakkal yang ada di dalam hati setelah seorang hamba me-yakini bahwa rizki itu datangnya dari Allah. Jika terdapat kesulitan, maka hal itu adalah karena taqdirNya, dan jika terdapat kemudahan maka hal itu karena kemudahan dariNya." Di antara yang menunjukkan bahwa tawakkal kepada Allah tidaklah berarti meninggalkan usaha adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hibban dan Imam Al-Hakim dari Ja'far bin Amr bin Umayah dari ayahnya , ia berkata: "Seseorang berkata kepada Nabi , Aku lepaskan unta-ku dan (lalu) aku bertawakkal?' Nabi bersabda: 'Ikatlah kemudian bertawakkallah'." Dan dalam riwayat Al-Qudha'i disebutkan:"Amr bin Umayah berkata: 'Aku bertanya,'Wahai Rasulullah, Apakah aku ikat dahulu (tunggangan)ku lalu aku bertawakkal kepada Allah, atau aku lepaskan begitu saja lalu aku bertawakkal?' Beliau menjawab, 'Ikatlah kendaran (unta)mu lalu bertawakkallah'." Kesimpulan dari pembahasan ini adalah bahwa tawakkal tidaklah berarti meninggalkan usaha. Dan sungguh setiap muslim wajib berpayah-payah, bersungguh-sungguh dan berusaha untuk mendapatkan penghidupan. Hanya saja ia tidak boleh menyandarkan diri pada kelelahan, kerja keras dan usahanya, tetapi ia harus meyakini bahwa segala urusan adalah milik Allah, dan bahwa rizki itu hanyalah dari Dia semata.