Setelah pada makalah sebelumnya
kita membahas seputar ketentuan-ketentuan dan aturanaturan
yang berkaitan dengan mahar,
resepsi dan adab malam pengantin, kini kita akan membahas hak
dan kewajiban suami, isteri
serta hak keduanya. Persoalan ini termasuk persoalan yang sangat penting
mengingat bahwa langgeng,
harmonisnya sebuah rumah tangga sangat ditentukan oleh sejauh mana
kedua pasangan tersebut, suami
isteri, melaksanakan tugas, kewajiban masing-masing. Selama
keduanya melaksanakan dan
konsisten dengan kewajiban masing-masing, maka keharmonisan sebuah
rumah tangga besar kemungkinan
akan diraih.
Selama ini, gagalnya rumah
tangga terjadi lantaran masing-masing tidak mengetahui apa
kewajiban dan apa haknya,
sehingga karena ketidaktahuannya itulah baik suami atau isteri menjadi
ngambang, tidak jelas apa yang
harus dilakukannya. Demikian juga, gagalnya sebuah rumah tangga
juga disebabkan kedua pasangan
hanya memperhatikan hak-haknya saja tanpa memperhatikan
kewajibannya kepada pasangannya
itu. Yang terjadi? Tentu, ketimpangan dan ketidakseimbangan
lantaran hak lebih besar
dituntut daripada kewajiban yang seharusnya dilaksanakan. Demikian juga
sebaliknya, ada pasangan yang
lebih melihat dan memperhatikan kewajibannya tanpa memperhatikan
hak-haknya. Hal ini juga
seringkali menimbulkan ketidakharmonisan sebuah rumah tangga, lantaran
pada akhirnya pasangan yang
terlalu memperhatikan kewajibannya akan lelah dan bosan.
Untuk itu, demi langgeng dan harmonisnya
sebuah rumah tangga, diperlukan keseimbangan
antara pelaksanaan hak dan
kewajiban. Ketika si suami melaksanakan kewajibannya sebaik mungkin,
maka hakikatnya si isteri akan
mendapatkan hak-haknya dengan penuh dan sempurna. Demikian juga,
ketika si isteri tersebut
melaksanakan kewajiban-kewajibannya dengan baik dan ikhlas, maka berarti
hak-hak si suami telah
dipenuhinya dengan benar dan sempurna.
Sebelum menginjak lebih jauh
mengenai hak dan kewajiban suami isteri ini, perlu penulis
jelaskan terlebih dahulu apa
yang dimaksud dengan hak dan apa pula yang dimaksud dengan
kewajiban.
Hak adalah sesuatu yang harus
didapatkan dan diraih oleh seseorang, sementara kewajiban
adalah sesuatu yang harus
ditunaikan dan dilaksanakan. Bagi seorang murid, haknya adalah
mendapatkan pendidikan dan
pelajaran dengan baik, sementara kewajibannya adalah menghormati
guru, membayar uang sekolah dan
mentaati peraturan sekolah. Demikian juga, hak isteri adalah
mendapatkan nafkah, dan
perlakukan baik dari suaminya, sementara kewajibannya adalah mentaati
segala perintah suaminya selama
hal itu tidak menyimpang dari ajaran Islam.
Untuk lebih mempersingkat kalam, baiklah kini kita ikuti bahasan dimaksud. Semoga tulisan
kecil ini bermanfaat bagi
penulis khususnya dan bagi para pembaca umumnya. Pahala tulisan ini
semoga sampai juga kepada ayah
penulis yang telah lama meniggal, kakek, nenek, Iwing dan seluruh
nenek moyang penulis sebagai
salah satu perantara dan sebab adanya penulis, juga kepada nenek
moyang para pembaca pada umummya.
Selamat menikmati.
Kewajiban Isteri / Hak Suami
Di antara kewajiban isteri
terhadap suaminya adalah:
1. Taat kepada suami
Isteri berkewajiban untuk
mentaati segala perintah suami dengan catatan selama
perintah suami itu tidak
mengajak kepada perbuatan maksiat kepada Allah dan selama
perbuatan tersebut sesuai
dengan kemampuan isteri. Apabila perintah tersebut mengajak
berbuat maksiat kepada Allah,
misalnya meminta isteri agar diijinkan untuk mendukhulnya dari
duburnya, maka si isteri tidak
boleh menta'atinya. Dalil kewajiban isteri untuk mentaati
perintah dan kemauan suami
adalah:
Artinya: "Dari Husain bin
Muhshain dari bibinya berkata: "Saya datang menemui Rasulullah
saw. Beliau lalu bertanya:
"Apakah kamu mempunyai suami?" Saya menjawab: "Ya".
Rasulullah saw bertanya
kembali: "Apa yang kamu lakukan terhadapnya?" Saya menjawab:
"Saya tidak begitu
mempedulikannya, kecuali untuk hal-hal yang memang saya
membutuhkannya".
Rasulullah saw bersabda kembali: "Bagaimana kamu dapat berbuat seperti
itu, sementara suami kamu itu
adalah yang menentukan kamu masuk ke surga atau ke neraka"
(HR. Imam Nasai, Hakim, Ahmad
dengan Hadis Hasan).
Artinya: "Rasulullah saw
pernah ditanya tentang isteri yang baik. Beliau menjawab: "Apabila
diperintah, ia selalu taat, apabila
dipandang menyenangkan, dan ia selalu menjaga diri dan
harta suami (manakala suaminya
tidak ada)" (HR. Nasa'i).
Namun dengan catatan selama
perintahnya itu bukan untuk berbuat maksiat kepada
Allah. Apabila ia menyuruh
bermaksiat kepadaNya, maka istri tidak boleh mentaatinya. Hal ini
didasarkan kepada dalil berikut
ini:
Artinya: "Rasulullah saw
bersabda: "Tidak ada kewajiban taat dalam berbuat maksiat kepada
Allah. Kewajiban taat itu
hanyalah untuk perbuatan yang baik" (HR. Bukhari Muslim).
2. Berdiam diri di
rumah, tidak keluar rumah kecuali dengan idzin suami.
Artinya: "Dan hendaklah
kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah
laku seperti orang-orang
Jahiliyah yang dahulu" (QS. Al-Ahzab: 33).
Dalam hal ini Imam Ibn
Taimiyyah dalam bukunya Majmu al-Fatawa mengatakan:
Artinya: "Seorang isteri
haram untuk keluar dari rumahnya kecuali ada idzin dari suaminya.
Apabila ia keluar rumah tanpa
ada idzin dari suaminya, maka isteri tersebut sudah dipandang
sebagai isteri yang berbuat
nusyuz, berdosa kepada Allah dan rasulNya serta ia berhak untuk
mendapatkan hukuman".
3. Ta'at dan tidak
menolak apabila diajak berhubungan badan.
Artinya: "Dari Abu
Hurairah, Rasulullah saw bersabda: "Apabila suami meminta isterinya
untuk berhubungan badan, lalu
isterinya itu menolak dan enggan, maka ia akan dilaknat oleh
para malaikat sampai pagi hari
tiba" (HR. Bukhari Muslim).
4. Tidak mengijinkan
orang lain masuk ke rumah, kecuali ada idzin dan ada keridhaan
dari suami.
Seorang isteri dilarang
memasukkan ke dalam rumah laki-laki lain sekalipun laki-laki
itu adalah temannya sendiri
ketika kuliah, atau saudara jauhnya selama dapat diperkirakan
bahwa si suami tidak akan
menyukainya dan demi untuk menghindari fitnah. Namun, apabila
adik atau kakak si isteri atau
orang lainnya yang diperkirakan si suami akan merelakan dan
meridhainya, maka tentu hal
demikian diperbolehkan. Hal ini didasrkan kepada salah satu
hadits berikut ini:
Artinya: "Rasulullah saw
bersabda: "Seorang isteri dilarang mengijinkan orang lain masuk ke
dalam rumahnya kecuali ada
idzin dari suaminya" (HR. Muslim).
5. Dilarang melakukan
puasa sunnat ketika si suami ada kecuali ada idzinnya.
Apabila si isteri hendak
melakukan puasa sunnat ketika suaminya ada, maka ia harus
meminta idzin terlebih dahulu
kepada suaminya. Hal ini dikhawatirkan ketika si isteri berpuasa,
lalu si suami meminta untuk
berhubungan badan, tentu si isteri tidak dapat memenuhinya
karena ia sedang berpuasa. Hal
lain, umumnya orang yang berpuasa itu lemas dan kurang
optimal dalam melayani
suaminya. Untuk itu, si isteri harus meminta idzin terlebih dahulu
kepada suaminya manakala ia
bermaksud untuk melakukan puasa agar si suami mengetahui
ketika pelayanan si isteri
kurang optimal nanti. Mengapa dilarang melakukan puasa sunnat
kecuali ada idzin dari
suaminya? Karena hokum melakukan puasa sunnat adalah sunnat saja,
sementara taat kepada suami
hukumnya adalah wajib. Tentu yang wajib harus lebih
didahulukan daripada yang
hukumnya sunnat.
Artinya: "Rasulullah saw bersabda:
"Haram bagi seorang isteri melakukan puasa sunnat ketika
suaminya ada kecuali dengan
idzinnya. Demikian juga seorang isteri tidak boleh mengidzinkan
orang lain memasuki rumahnya
kecuali ada idzinnya" (HR. Bukhari).
6. Tidak menginfakkan
sesuatu hartanya kecuali ada idzin dari suami.
Apabila si isteri bermaksud
untuk infak dengan harta dari si suami, maka ia terlebih
dahulu harus meminta ijin dari
suaminya. Demikian juga, apabila ia bermaksud memberikan
sesuatu kepada adik-adiknya
atau keluarganya, maka ia harus meminta ijin terlebih dahulu.
Mengapa? Karena dalam ajaran
Islam, harta yang diusahakan oleh si suami adalah milik si
suami. Sementara kewajiban si
suami, bukan semata kepada isterinya, akan tetapi juga kepada
keluarganya (ibunya, adiknya dan
lainnya). Untuk itu, pemberian apapun yang akan dilakukan
oleh si isteri, harus meminta
ijinnya terlebih dahulu. Hal ini didasarkan kepada hadits berikut
ini:
Artinya: "Rasulullah saw
bersabda: "Seorang isteri tidak boleh menginfakkan sebagian harta
suami kecuali ada
idzinnya" (HR. Abu Dawud, Turmudzi, Ibn Majah dengan sanad Hasan).
7. Menjaga kehormata
dirinya, menjaga putra putrinya juga harta suaminya ketika si
suami sedang tidak di
rumah.
Hal ini berdasarkan firman
Allah berikut ini:
Artinya: "Sebab itu maka
wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri
ketika suaminya tidak ada, oleh
karena Allah telah memelihara (mereka)" (An-Nisa: 34).
Artinya: "Rasulullah saw
pernah ditanya tentang isteri yang baik. Beliau menjawab: "Apabila
diperintah, ia selalu taat,
apabila dipandang menyenangkan, dan ia selalu menjaga diri dan
harta suami (manakala suaminya
tidak ada)" (HR. Nasa'i).
8. Mensyukuri pemberian
suami, selalu merasa cukup dan melayani suami dengan baik.
Hal ini didasarkan kepada
hadits berikut ini:
Artinya: "Abdullah bin Amr
berkata, Rasulullah saw bersabda: "Allah tidak akan
memperhatikan seorang isteri
yang tidak pernah mensyukuri pemberian suaminya , juga tidak
pernah merasa cukup dengan apa
yang diberikan suaminya kepadanya" (HR. Nasai).
Artinya: "Rasulullah saw
bersabda: "…Lalu diperlihatkan kepada saya neraka, dan saya tidak
pernah melihatnya seperti yang
saya lihat hari ini. Ternyata kebanyakan penghuninya adalah
para wanita". Para sahabat
bertanya: "Mengapa ya Rasulullah saw?" Rasulullah saw menjawab:
"Karena mereka berbuat
dosa sebelum mereka berbuat dosa kepada Allah. Mereka banyak
berdosa kepada suaminya, dan
banyak meninggalkan kebaikan" (HR. Bukhari Muslim).
9. Berdandan dan mempercantik diri di hadapan suami.
Artinya: "Rasulullah saw
pernah ditanya tentang isteri yang baik. Beliau menjawab: "Apabila
diperintah, ia selalu taat,
apabila dipandang menyenangkan, dan ia selalu menjaga diri dan
harta suami (manakala suaminya
tidak ada)" (HR. Nasa'i).
10. Tidak berbuat sesuatu yang dapat menyakiti dan tidak disukai oleh
suami
Artinya: Rasulullah saw
bersabda: "Tidak ada seorang isteri pun yang menyakiti suaminya di
dunia, kecuali isterinya dari
bidadari surga akan berkata: "Janganlah kamu menyakitinya, Allah
akan membinasakan kamu. Dia itu
adalah simpanan bagi kamu kelak yang hamper saja ia
berpindah kepada kami"
(HR. Turmudzi, Ibn Majah dengan sanad Hasan).
11. Harus menjaga
kelanggengan rumah tangga dan tidak boleh meminta talak tanpa ada
alasan syar'i yang
jelas.
Artinya: "Rasulullah saw
bersabda: "Wanita mana saja yang meminta untuk ditalak kepada
suaminya tanpa ada alasan yang
jelas, maka haram baginya untuk mencium baunya surga"
(HR. Turmudzi, Abu Dawud dan
Ibn Majah).
12. Berkabung selama
empat bulan sepuluh hari ketika suaminya meninggal.
Bagi wanita yang ditinggal mati
oleh suaminya, ia tidak boleh berhias, berdandan
menor, menikah lagi, juga tidak
menerima pinangan laki-laki lain yang menggunakan kata-kata
yang jelas (tapi boleh menerima
pinangan yang diucapkan dengan kata-kata sindirian=lihat
kembali makalah mengenai
meminang) sebelum habis masa iddahnya (masa menunggunya)
selama empat bulan sepuluh hari
(130 hari). Apabila masa iddah empat bulan sepuluh hari
telah habis, maka ia boleh
berhias, berdandan dan menikah lagi dengan laki-laki lainnya. Hal
ini didasarkan kepada firman
Allah swt berikut ini:
Artinya: "Orang-orang yang
meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri
(hendaklah para istri itu)
menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari.
Kemudian apabila telah habis
'iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan
mereka berbuat terhadap diri
mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu
perbuat" (QS. Al-Baqarah:
234).
Kewajiban Suami / Hak Isteri
Di antara kewajiban suami atau hak isteri adalah:
1. Membayar mahar / mas
kawin.
Pembahasan mengenai hal ini
telah dibahas pada makalah sebelumnya tentang
Mahar, Resepsi dan Adab Malam
Pengantin. Untuk lebih jelasnya, silahkan lihat kembali
kepada makalah tersebut.
2. Memperlakukan dan
menggauli isteri sebaik mungkin.
Memperlakukan isteri dengan
baik di antaranya dapat berwujud dengan tidak
menyakitinya, memperlakukannya
sebagai mitra, teman bukan sebagai pembantu,
memberikan semua hak-haknya
menurut kemampuan dan lainnya. Hal ini didasarkan
kepada firman Allah swt berikut
ini:
Artinya: "Dan bergaullah
dengan mereka (isteri-isteri) secara patut. Kemudian bila kamu
tidak menyukai mereka, (maka
bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu,
padahal Allah menjadikan
padanya kebaikan yang banyak" (QS. An-Nisa: 19).
Artinya: "Rasulullah saw
bersabda: "Sebaik baik kalian wahai laki-laki adalah orang yang
paling baik kepada keluarganya.
Dan saya adalah orang yang paling baik kepada keluarga
saya" (HR. Turmudzi dan
Ibn Hibban).
3. Memberikan nafkah,
pakaian dan rumah / tempat tinggal dengan layak dan baik.
Yang dimaksud dengan nafkah di
sini adalah nafkah yang diberikan oleh suami
untuk isteri dan anak-anaknya
berupa makanan, pakaian, tempat tinggal dan lainnya
menurut ukuran yang layak
berdasarkan kemampuan suami. Memberikan nafkah kepada
isteri dan anak-anak wajib
hukumnya, hal ini didasarkan kepada firman Allah berikut ini:
Artinya: "Hendaklah orang
yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan
orang yang disempitkan rezkinya
hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan
Allah kepadanya. Allah tidak
memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa
yang Allah berikan kepadanya.
Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah
kesempitan" (at-Talak: 7).
Artinya: "Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara
makruf" (QS. Al-Baqarah:
233).
Artinya: "Dari Jabir,
Rasulullah saw bersabda: "…Bertakwalah kepada Allah tentang
perempuan, karena mereka itu
adalah setengah umur dari kalian. Kalian mengambilnya
dengan amanah Allah, menjadikan
halal kemaluannya dengan kalimah Allah. Kalian
berkewajiban untuk memberikan
nafkah, pakaian kepadanya dengan makruf" (HR.
Muslim).
Artinya: "Mu'awiyah
al-Qusyairi berkata: "Saya bertanya kepada Rasulullah saw: "Wahai
Rasulullah saw, apa hak isteri
kami itu?" Rasulullah saw menjawab: "Memberi makannya
apabila kamu makan, memberi
pakaian apabila kamu berpakaian, tidak boleh memukul
muka, jangan menjelekannya, dan
jangan kamu pergi menjauhinya kecuali di dalam rumah
saja" (HR. Ab Dawud, Ibn
Majah, Ahmad dan Nasai).
Apabila si suami pelit, tidak
memberikan nafkah yang cukup untuk isteri dan anakanaknya
padahal dia mampu dan
berkelapangan, maka si isteri boleh mencurinya dengan
baik-baik menurut kebutuhan
untuk mencukupi kebutuhannya dan kebutuhan anakanaknya.
Hal ini didasarkan kepada
hadits berikut ini:
Artinya: "Dari Siti
Aisyah, Hind bint Utba bertanya kepada Rasulullah saw: "Wahai
Rasulullah, sesungguhnya Abu
Sufyan seorang laki-laki yang sangat pelit. Ia tidak
memberikan sesuatu kepada saya
dan anak saya kecuali apa yang saya ambil ketika dia
tidak mengetahuinya. Rasulullah
saw menjawab: "Ambillah apa yang mencukupi untuk
kamu dan untuk anak kamu dengan
jalan yang baik" (HR. Bukhari Muslim).
Apa yang menjadi sebab
wajibnya memberikan nafkah kepada isteri?
Dalam hal ini para ulama
berbeda pendapat. Menurut ulama Hanafiyyah, sebab
wajibnya suami memberikan
nafkah untuk isterinya adalah karena menahan si isteri di
dalam rumah. Maksudnya, si
suami menyuruh isteri hanya untuk mengurus urusan rumah
tangga saja, dan tidak
mengijinkannya untuk bekerja.
Sementara menurut Jumhur ulama,
sebab wajibnya suami memberikan nafkah kepada
isteri adalah karena
perkawinan, artinya karena ia adalah isterinya. Oleh karena itu, selama
ia menjadi isterinya, baik ia
bekerja maupun tidak, suami tetap wajib memberikan nafkah.
Syarat-syarat wajibnya nafkah
Meskipun kewajiban memberikan
nafkah oleh si suami kepada isterinya itu karena
pernikahan, karena si wanita
tersebut menjadi isterinya, akan tetapi Jumhur ulama
mensyaratkan beberapa ketentuan
tertentu agar seorang suami berkewajiban memberikan
nafkah kepada isterinya.
Persyaratan ini meliputi persyaratan sebelum isteri disetubuhi dan
setelah isteri disetubuhi.
Adapun syarat-syarat
yang berkaitan dengan sebelum si isteri disetubuhi adalah:
1. Si Isteri mau diajak untuk
disetubuhi. Apabila si isteri mau untuk disetubuhi, maka
suami wajib memberikan nafkah.
Namun, apabila si isteri menolak dan tidak mau
untuk digauli tanpa alasan
syar'I yang jelas, maka suami tidak wajib memberikan
nafkah.
2. Si isteri dapat disetubuhi.
Maksudnya, apabila kemaluan si isteri sehat, tidak ada
penyakit apapun yang
menyebabkan terhalangnya bersetubuh, maka si suami wajib
memberikan nafkah. Namun,
apabila si isteri, dalam kemaluannya, maaf, ada tulang
besar atau penyakit lainnya
yang menyebabkan tidak dapat disetubuhi, maka si suami
tidak wajib memberikan nafkah.
3. Pernikahan tersebut adalah
pernikahan yang sah, bukan pernikahan yang batal. Apabila
pernikahannya memanuhi segala
persyaratan rukun dan syarat sebagaimana telah
dibahas pada makalah
sebelumnya, maka si suami wajib memberikan nafkah. Namun,
apabila pernikahannya bukan
pernikahan yang sah, misalnya, tidak memakai wali atau
tidak diumumkan, maka si suami
tidak berkewajiban memberikan nafkah. Mengapa?
Karena hakikatnya ketika
pernikahan itu tidak sah, maka wanita tersebut bukanlah
isterinya dan dipandang tidak
terjadi pernikahan. Karena tidak terjadi pernikahan, maka
gugur kewajiban untuk
memberikan nafkah.
Sementara syarat-syarat
wajibnya nafkah yang berkaitan dengan setelah
didukhul adalah:
1. Si suami mempunyai
kelapangan, mampu untuk memberikan nafkah. Apabila seorang
suami tiba-tiba di tengah masa
pernikahannya sakit, atau terkena musibah sehingga ia
tidak mampu dan tidak dapat
memberikan nafkah kepada isterinya, maka dalam masa
sulit dan lemahnya ini, ia
tidak berkewajiban memberikan nafkah. Hal ini didasarkan
kepada firman Allah swt:
Artinya: "Hendaklah orang
yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya.
Dan orang yang disempitkan
rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang
diberikan Allah kepadanya.
Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan
sekedar apa yang Allah berikan
kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan
sesudah kesempitan" (QS.
At-Talak: 7).
2. Si ister tidak berbuat
nusyuz (si isteri tidak membangkang suaminya). Apabila si siteri
sudah tidak mentaati suaminya,
maka isteri tersebut dipandang telah berbuat nusyuz.
Ketika ia telah berbuat nusyuz,
maka suami tidak wajib memberikan nafkah kepadanya.
Apakah kalau isteri
bekerja di luar rumah atau menjadi pegawai masih tetap wajib
mendapatkan nafkah?
Apabila si isteri bekerja di
luar rumah baik bekerja di kantor, di pabrik atau di
tempat lainnya, dan si suami
ridha, rela dan mengijinkannya maka si suami tetap wajib
memberikannya nafkah. Namun,
apabila si isteri bekerja di luar rumah sementara si suami
tidak mengijinkannya dan
kondisi ekonominya lumayan mapan sekalipun si isteri tidak
bekerja di luar rumah, maka si
suami tidak berkewajiban memberikan nafkah kepadanya
(lihat dalam kitab Ibn 'Abidin:
II/891).
Berapa jumlah nafkah
yang wajib bagi isteri dan anak-anak itu?
Dalam hal ini, sebenarnya tidak
ada nash yang secara jelas menentukan berapa
jumlah nominal nafkah wajib
bagi isteri dan anak-anak. Hanya saja, ada beberapa nash
yang dapat kita jadikan sebagai
standar untuk menentukan berapa jumlah nafkah wajib ini.
Nash-nash dimaksud adalah
sebagai berikut:
Artinya: ""Hendaklah
orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya" (QS.
At-Thalaq: 7).
Artinya: "Orang yang mampu
menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut
kemampuannya (pula)" (QS.
Al-Baqarah: 236).
Artinya: Rasulullah saw
bersabda: ""Ambillah apa yang mencukupi untuk kamu dan untuk
anak kamu dengan jalan yang
baik" (HR. Bukhari Muslim).
Dari beberapa nash di atas,
kita dapat menarik beberapa kesimpulan, bahwa jumlah
besarnya nafkah bagi isteri itu
tergantung pada hal berikut ini:
1. Bahwa nafkah tersebut harus
mencukupi kebutuhan isteri dan anak-anak secara makruf,
baik. Dan hal ini tentu
berbeda-beda menurut perbedaan orangnya, waktu dan
tempatnya. Bagi orang yang tinggal
di desa, tentu nafkah satu juta perbulan sudah
sangat cukup, namun tidak
demikian halnya dengan mereka yang tinggal di kota besar
seperti Jakarta. Atau nafkah
satu juta, bagi mereka yang belum mempunyai anak, tentu
sudah cukup, namun bagi yang
sudah mempunyai anak tentu belum cukup. Oleh karena
itu, yang jelas bahwa nafkah
tersebut harus dapat memenuhi kebutuhan isteri dan anakanaknya
yang berbeda-beda tergantung
kondisi, tempat dan keadaannya.
2. Menurut kemampuan dan
kelapangan suami. Para ulama dalam masalah ini berbeda
pendapat dalam hal apakah yang
menjadi ukuran dalam nafkah ini adalah kondisi dan
kemampuan si suami ataukah
isteri atau keduany? Namun, apabila kita perhatikan nash
sebagaimana yang telah
disebutkan di atas, bahwa nafkah adalah kewajiban suami dan
karenanya yang menjadi
ukurannyapun adalah suami. Bagi suami yang kemampuannya
pas-pasan, tentu ia
berkewajiban memberikan nafkah menurut kemampuannya. Ia tidak
boleh memaksakan diri untuk
memberikan sesuatu di luar kemampuannya. Demikian
juga, bagi suami yang
berkelapangan, lebih besar nafkah yang diberikannya tentu lebih
baik dan lebih besar pahalanya.
Apakah suami juga wajib
memberikan nafkah berupa biaya pengobatan isterinya?
Mendengar pertanyaan ini, tentu
untuk masyarakat asia khususnya Indonesia,
sangatlah ironis. Mengapa
tidak, karena persoalannya menyangkut masalah yang sangat
substansial; mengapa persoalan
memberikan biaya pengobatan kepada isteri meski dibahas
dan diperdebatkan? Bukankah
secara akal sehat itu adalah sudah menjadi kewajiban bagi
suami? Namun itulah persoalan.
Para ulama telah berbeda pendapat antara yang
mengatakan bahwa biaya
pengobatan dan kesehatan isteri adalah kewajiban si suami
dengan mereka yang mengatakan
sebaliknya, bukan merupakan kewajiban suami—
perdebatan ini dapat dilihat
misalnya dalam kitab Ibn Abidin (II/889), Mugni Muhtaj
(III/431) dan Hasyiyah
ad-Dasuqi (II/511). Persoalan ini akan menjadi jelas, apabila kita
menyaksikan persolan keluarga
dan pernikahan yang terjadi di Negara-negara Arab di
mana masalah nafkah ini selalu
menjadi isu yang paling senter. Seringkali isteri menggugat
suaminya lantaran nafkah yang
menurut ukurannya tidak layak. Bahkan, tidak jarang pula
seorang isteri yang meminta
biaya dan nafkah lebih kepada suaminya dengan dalih untuk
biaya pengobatan.
Namun demikian, hemat penulis,
para ulama yang melihat bahwa nafkah biaya
perngobatan isteri bukanlah
kewajiban suami, lantaran untuk kondisi saat itu, pengobatan si
isteri bukanlah sesuatu yang
dharury, esensial. Namun, untuk konteks dan kondisi saat ini,
tentu sudah sangat berbeda.
Pengobatan dan kesehatan isteri dan anak-anak adalah
termasuk hal yang sangat primer
sama dengan masalah makanan, minuman, pakaian dan
lainnya. Untuk itu, hemat
pemulis, biaya pengobatan dan kesehatan isteri juga anak-anak
termasuk kewajiban si suami
juga. Suami wajib memperhatikan kesehatan isteri dan anakanaknya
sebagaimana ia berkewajiban
memperhatikan makanan, pakaian dan tempat
tinggalnya.
4. Mengajarkan kepada
isterinya pengajaran-pengajaran agama dan mengajaknya
untuk berbuat taat.
Kewajiban suami lainnya adalah
mendidik isteri dalam beragama dan ketaatan. Hal
ini dimaksudkan karena dalam
ajaran Islam, berumah tangga dalam Islam bukan semata
untuk di kehidupan dunia, akan
tetapi juga untuk di akhirat kelak. Apabila bekal untuk
mengarungi kehidupan dunia
berupa harta dan kekayaan, maka untuk menghadapi akhirat
kelak adalah amal kebaikan dan
ibadah. Untuk itu, selaku pemimpin rumah tangga, suami
harus bertanggung jawab kepada
keduanya.
Apabila si suami sibuk dengan
pekerjaanya sehingga tidak mempunyai waktu
cukup untuk mengajarkan agama
kepada keluarganya, atau si suami sendiri merasa kurang
dengan persoalan-persoalan
agama, maka ia boleh menyewa orang lain (tentu sebaiknya
gurunya adalah perempuan juga)
untuk menjadi guru agama isterinya. Demikian juga untuk
putra putrinya. Hal ini
didasarkan kepada firman Allah berikut ini:
Artinya: "Hai orang-orang
yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka yang bahan bakarnya
adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang
kasar, keras, dan tidak
mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada
mereka dan selalu mengerjakan
apa yang diperintahkan" (QS. At-Tahrim: 6).
Artinya: "Ummu Salamah
berkata: Suatu malam Rasulullah saw membangunkan (isteriisterinya)
sambil bersabda:
"Subhanallah, cobaan dan fitnah apa yang telah turun pada
malam ini, dan keutamaan apa
yang telah dibukakan dari gudang-gudang. Bangunlah
kalian wahai isteri-isterku,
berapa banyak orang yang berpakaian di dunia, akan tetapi ia
telanjang di akhirat" (HR.
Bukhari).
Artinya: "Abu Hurairah
berkata: Rasulullah saw bersabda: "Allah akan merahmati seorang
laki-laki yang bangun malam
lalu shalat, serta membangunkan isterinya untuk shalat.
Apabila isterinya enggan dan
menolak, ia kemudian menuangkan air di muakanya.
Demikian juga Allah akan
merahmati seorang perempuan yang bangun malam lalu shalat,
kemudian ia membangunkan
suaminya untuk shalat juga. Apabila suaminya menolak dan
enggan bangun, ia lalu
menuangkan air di mukanya" (HR Ahmad dengan sanad Hasan).
5. Tidak memperpanjang
kesalahan isteri selama kesalahannya itu tidak menyangkut
syariat.
Tidak ada manusia yang
sempurna. Semua tentu ada kekuarangan dan kelebihan.
Demikian juga dengan pasangan
suami isteri. Apabila di kemudian hari si suami mendapati
isterinya tidak sesuai dengan
apa yang diharapkannya atau berbuat kesalahan, maka suami
hendaknya tidak mempersoalkan
hal itu dan tidak memperpanjangnya. Karena, sekali lagi
selama ia manusia, maka ia
tidak akan pernah sempurna. Kecuali apabila persoalan dan
kesalahan isteri tersebut
menyangkut masalah agama, misalnya apabila si isteri tidak
pernah shalat wajib, sering
bolong melakukan puasa Ramadhan, maka suami berkewajiban
untuk menasihati dan
mempersoalkannya. Dalam hal ini Rasulullah saw bersabda:
Artinya: Rasulullah saw
bersabda: "Seorang mukmin tidak boleh membenci seorang wanita
mu'min. Apabila ia membenci
salah satu perangai dan perbuatannya, namun ia tetap akan
suka dan rela dengan perangai
dan hal lainnya" (HR. Muslim).
6. Tidak menyakitinya
dengan jalan tidak memukulnya di wajahnya atau menjelekjelekannya.
Dalam hal ini Rasulullah saw
bersabda:
Artinya: Rasulullah saw
bersabda: "Dan janganlah memukul muka, juga janganlah
menjelek-jelekannya" (HR.
Abu Dawud, Ibn Majah dan Ahmad).
Meski Rasulullah saw dalam
hadits di atas membolehkan suami untuk memukul
isterinya manakala ia sudah
keterlaluan dengan catatan tidak boleh di muka, akan tetapi,
Rasulullah saw sendiri tidak
pernah memukul isteri-isterinya. Perhatikan hadits berikut ini:
Artinya: "Siti Aisyah
berkata: "Saya tidak pernah melihat Rasulullah saw memukul
pembantunya sedikitpun,
demikian juga tidak pernah memukul isteri-isterinya, juga tidak
pernah memukul dengan tangannya
siapapun dan apapun kecuali ketika sedang berjihad di
jalan Allah" (HR. Muslim).
Artinya: "Rasulullah saw
bersabda: "Tidak pantas seorang laki-laki yang memukul
isterinya seperti majikan yang
memukul budaknya, lalu ia menggaulinya di penghujung
hari" (HR. Bukhari
Muslim).
Dalam ajaran Islam memang suami
diperbolehkan untuk memukul isterinya
manakala isterinya itu tidak
taat, atau berbuat nusyuz (nusyuz adalah isteri meninggalkan
kewajibannya kepada suaminya.
Termasuk nusyuz, isteri yang keluar rumah tanpa idzin
dari suaminya) dengan catatan
tidak di muka dan tidak menimbulkan bekas dari
pukulannya itu. Dalil, bolehnya
suami memukul isterinya yang tidak taat adalah firmanNya
berikut ini:
Artinya: "Wanita-wanita
yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan
pisahkanlah mereka di tempat
tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka
mentaatimu, maka janganlah kamu
mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.
Sesungguhnya Allah Maha Tinggi
lagi Maha Besar" (QS. An-Nisa: 34).
Dari ayat di atas, paling tidak
ada tiga batasan mengenai bolehnya suami memukul
isterinya:
1. Setelah sebelumnya si suami
melalui dua tahap yakni menasehatinya dan pindah
ranjang. Artinya, apabila
setelah dinasehati dan pindah ranjang, si isteri tetap tidak
berubah dan tetap melakukan
nusyuz, maka suami boleh memukulnya.
2. Pukulannya bersifat untuk
mendidik dan memberikan pelajaran karena itu tidak boleh
yang berbekas dan berakibat
fatal (ghair mubarrah), tidak boleh yang menimbulkan
tulang pecah atau mengganggu
jiwa si isteri.
3. Apabila si isteri telah taat
dan tidak berbuat nusyuz lagi, maka suami tidak boleh memukulnya.
.
7. Tidak boleh
mencuekkan, meninggalkan dan membiarkan isterinya kecuali di rumah
Apabila si isteri berbuat
nusyuz, atau berbuat sesuatu yang menyimpang, maka
suami boleh mencuekkan, tidak
mendekatinya, dengan jalan pindah kamar atau pindah
kasur selama itu di dalam rumah
sendiri. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah saw:
Artinya: "Mu'awiyah
al-Qusyairi berkata: "Saya bertanya kepada Rasulullah saw: "Wahai
Rasulullah saw, apa hak isteri
kami itu?" Rasulullah saw menjawab: "Memberi makannya
apabila kamu makan, memberi
pakaian apabila kamu berpakaian, tidak boleh memukul
muka, jangan menjelekannya, dan
jangan kamu pergi menjauhinya kecuali di dalam rumah
saja" (HR. Ab Dawud, Ibn
Majah, Ahmad dan Nasai).
Kecuali apabila ada
kemaslahatan lain yang lebih besar, maka si suami boleh
meninggalkan isteri dari rumah,
misalnya nginep sementara waktu di rumah orang tuanya,
atau kakak dan adiknya. Hal ini
sebagaimana dilakukan oleh Rasulullah saw ketika beliau
menghadapi masalah dengan
isteri-isterinya ketika mereka meminta tambahan nafkah
kepada Rasulullah saw. Saat
itu, Rasulullah saw lalu hijrah dan tidak tinggal di rumah
isteri-isterinya selama satu bulan
penuh. Ini juga menjadi dalil, bahwa suami atau isteri
boleh marahan dengan
pasangannya lebih dari tiga hari apabila hal itu dinilai ada
kemaslahatan yang lebih besar,
karena buktinya Rasulullah saw memarahi dan mendidik
isteri-isterinya lebih dari tiga
hari (satu bulan). Pembahasan lebih lanjut akan hal ini akan
dibahas dalam makalah
selanjutnya dalam masalah al-'ila.
8. Suami wajib dandan
dan tampil prima di hadapan isterinya sebagaimana si isteri
wajib dandan, berhias
dan tampil prima di hadapan suaminya.
Di antara hal sangat penting
yang jarang sekali diperhatikan oleh pasangan suami
isteri adalah tampil prima dan
dandan. Umumnya, suami atau isteri tampil bersih dan rapi
juga berdandan manakala hendak
menghadiri undangan, menghadiri pengocokan arisan
atau kegiatan darmawanita serta
lainnya, sementara ketika di hadapan suami atau isterinya
ia tampil kotor, bau, dan apa
adanya. Inilah di antara penyebab kuat seringkali terjadinya
perselisihan keluarga atau yang
seringkali menyebabkan pasangannya mencari "pasangan"
baru yang lebih rapih dan
ganteng, cantik. Oleh karena itu, kewajiban suami juga isteri
adalah dandan dan tampil rapih
di hadapan pasangannya. Dalam hal ini perhatikan
perkataan Ibn Abbas berikut
ini:
Artinya: "Ibnu Abbas
berkata: "Sesungguhnya saya betul-betul senang berdandan dan
berhias di depan isteri
sebagaimana saya suka isteri saya dandan di hadapan saya. Hal ini
karena Allah berfirman: "
Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan
kewajibannya menurut cara yang
makruf"" (HR. Thabari dan Ibn Abi Syaibah dengan
sanad yang Shahih).
Perhatikan juga salah satu atsar (riwayat yang tidak sampai kepada Rasulullah saw,
ia hanya berupa ucapan para
sahabat) berikut ini sebagaimana dikutip oleh Mahmud
Mahdy al-Istanbuly dalam
bukunya, Tuhfatul Arus:
Artinya: "Cucilah
pakaian-pakaian kalian, cukur, rapihkan rambut-rambut kalian, gosoklah
gigi kalian, dandanlah serta
bersihkanlah badan kalian, karena Bani Israil tidak pernah
melakukan hal yang demikian,
sehingga isteri-isterinya berbuat zina".
9. Berbaik sangka
kepada isteri.
Di antara kewajiban suami
lainnya adalah berbaik sangka kepada isteri manakala
timbul masalah atau sesuatu
yang tidak dikehendaki. Baik sangka ini sangat diperlukan
mengingat saling berbaik sangka
dan saling percaya adalah kunci kelanggengan rumah
tangga. Perhatikan firman Allah
berikut ini:
Artinya: "Mengapa di waktu
kamu mendengar berita bohong itu orang-orang mukminin
dan mukminat tidak bersangka
baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak)
berkata: "Ini adalah suatu
berita bohong yang nyata."(QS. An-Nur: 12).
Dalam sebuah hadits riwayat
Imam Muslim, dikisahkan, ketika beberapa orang lakilaki
Anshar dari Bani Hasyim masuk
ke rumah Asma bint Umais (isterinya Abu Bakar ash-
Shidiq), lalu Abu Bakar masuk
ke rumahnya dan didapati beberapa laki-laki Anshar itu,
Abu Bakar merasa tidak enak dan
membencinya. Namun, Abu Bakar berkata: "Saya tidak
mendapati isteri saya
kecuali kebaikan". Rasulullah saw lalu
bersabda: "Allah telah
membersihkan isteri kamu
dari prasangka buruk kamu".
Abu Bakar lalu berdiri di atas
mimbar sambil berkata:
Artinya: "Seorang
laki-laki betul-betul tidak diperbolehkan setelah hari ini untuk masuk ke
dalam rumah yang suaminya
sedang tidak ada di rumah, kecuali ia ditemani oleh laki-laki
lain atau oleh dua orang
laki-laki lainnya" (HR. Muslim).
Dalam kisah di atas, baik
Rasulullah saw maupun Abu Bakar ash-Shidiq berbaik
sangka kepada isterinya. Namun
demikian, ia tetap tidak mengijinkan dan tidak
membolehkan dalam di kemudian
hari laki-laki masuk ke dalam rumah yang suaminya
sedang tidak ada, bepergian.
Karena hal itu akan menimbulkan fitnah, di mana setan akan
dengan mudah membisikkan
sesuatu yang tidak diinginkan.
Hak Bersama Antara Suami Isteri
Hak Bersama Antara Suami Isteri
Berikut ini ada beberapa hak
bersama yang harus didapatkan baik oleh suami maupun oleh
isteri. Hak-hak dimaksud
adalah:
1. Halalnya untuk berhubungan
badan. Baik suami isteri berhak mendapatkan kenikmatan
berhubungan badan. Oleh karena
itu, suami boleh meminta pasangannya untuk melayaninya,
demikian juga si isteri berhak
meminta suaminya untuk melayani "tidur" nya.
2. Masing-masing berhak
mendapatkan warits. Apabila salah satu pasangannya meninggal, maka
pasangan lainnya berhak
mendapatkan harta waritasan dari pasangannya yang meninggal
tersebut.
3. Masing-masing berhak untuk
diperlakukan dengan baik dan benar.
4. Keduanya menjadi haram untuk
menikahi kerabat masing-masing sebagaimana telah
dijelaskan dalam makalah
sebelumnya mengenai wanita-wanita yang haram dinikahi, lantaran
perkawinan (al-mushaharah). Misalnya, dengan menikahnya laki-laki dan
perempuan, maka
si suami haram untuk menikahi
adik isterinya selama isterinya masih hidup dan keduanya
masih menikah. Demikian juga,
ia haram untuk menikahi mertuanya—untuk lebih jelasnya,
lihat kembali makalah
sebelumnya seputar masalah wanita yang haram dinikahi.
Beberapa tambahan
Berikut ini beberapa hal yang
perlu diperhatikan oleh suami demi keharmonisan, lebih
merekatkan dan melanggengkan
rumah tangga:
1. Banyaklah mencandai
isteri.
Banyak bercanda untuk hal-hal
tidak berguna dalam ajaran Islam dilarang. Bahkan, apabila
berlebihan dan keterlaluan ia
berdosa. Namun, untuk suami atau isteri, bercanda bagi mereka
adalah ibadah. Semakin banyak
canda di antara keduanya, semakin banyak pahala yang akan
dituainya. Inilah salah satu
kelebihan ajaran Islam yang memberikan perhatian begitu besar untuk
urusan keluarga, sampai-sampai
bercandanya suami isteri pun berpahala. Dalam kehidupan rumah
tangga bercanda dan mesra
antara suami isteri sangatlah dibutuhkan, karena hal ini akan lebih
mempererat hubungan kasih
sayang dan cinta kasih di antara keduanya. Dalil bahwa bercandanya
suami isteri adalah berpahala
adalah sebagai berikut:
Artinya: "Segala sesuatu
yang bukan dzikrullah, maka ia adalah hura-hura, sia-sia dan permainan
belaka kecuali untuk empat hal
berikut ini: Bercandanya seorang suami dengan isterinya,
seseorang yang melatih kudanya,
seseorang yang berjalan di antara dua sasaran (bagi yang sedang
berlatih memanah) dan seseorang
yang sedang mengajari berenang" (HR. Imam Nasa'i, dan
haditsnya Shahih).
2. Semangatlah untuk
mencari rizki demi memperoleh kehidupan yang cukup.
Tidak diragukan lagi, bahwa
pada umumnya kehidupan keluarga yang ekonominya mapan
akan lebih bahagia dan harmonis
dari pada keluarga yang ekonominya seret. Oleh karena itu,
Rasulullah dalam berbagai
hadits mengatakan bahwa meninggalkan keluarga dengan
berkecukupan harta jauh lebih
baik dari pada meninggalkan mereka miskin sehingga akan
meminta-minta kepada orang
lain. Dalam hadits lain Rasulullah mengatakan bahwa kefakiran itu
seringkali membawa kepada
kekufuran. Untuk itu, seorang suami demi menjaga keharmonisan dan
kelanggengan rumah tangganya
hendaklah bersemangat dalam mencari nafkah. Tanamkanlah
dalam jiwa bahwa mencari nafkah
untuk menghidupi keluarga dalah amal ibadah yang sangat
besar pahalanya.
Dalam ajaran Islam, suami yang
memberikan nafkah kepada keluarganya, sekalipun itu sudah
merupakan kewajibannya, tetap
akan mendapatkan pahala dan tetap dihitung sebagai shadaqah.
Oleh karena itu, sejatinya
seorang suami harus lebih giat dalam mencari nafkah. Dalil bahwa
nafkah yang diberikan kepada
keluarganya juga dihitung sebagai shadaqah adalah sebagai berikut:
Artinya: "Satu dinar yang
anda infakkan di jalan Allah, satu dinar yang anda sedekahkan kepada
budak, satu dinar yang anda
sedekahkan untuk orang miskin, satu dinar yang anda sedekahkan
kepada keluargamu, maka sedekah
yang anda berikan kepada keluargamulah yang jauh lebih besar pahalanya"
(HR. Muslim
Artinya: "Tidaklah kamu
menginfakkan satu nafkah pun dengan maksud untuk mengharapkan
keridhaan Allah, kecuali kamu
akan mendapatkan pahalanya, sampai apa yang kamu berikan untuk makan isteri
kamu" (HR. Bukhari).
Artinya: "Apabila
seseorang memberikan nafkah kepada keluarganya (isteri dan anaknya) dengan
maksud untuk mengharapkan
keridhaannya, maka nafkahnya itu dihitung sebagai shadaqah" (HR. Bukhari
Muslim).
Artinya: "Apa yang kamu
berikan untuk diri kamu adalah shadaqah buat kamu, apa yang kamu
berikan untuk anak kamu adalah
shadaqah buat kamu dan apa yang kamu berikan untuk isteri
kamu adalah shadaqah juga buat
kamu" (HR. Ahmad dan haditsnya Shahih).
3. Perhatikanlah
kepuasan dan kebutuhan biologis pasangannya
Kepuasan dalam berhubungan
badan dalam ajaran Islam sangatlah penting. Ia termasuk salah
satu penyebab harmonis dan
langgengnya sebuah rumah tangga. Banyak sekali kasus perceraian
atau perselingkuhan terjadi
lantaran salah satu pasangan tidak merasakan kepuasan dalam
berhubungan badan. Untuk itu,
Islam memberikan perhatian sangat besar dalam hal ini. Sampaisampai
banyak hadits yang membicarakan
seputar bersenggama antara suami isteri ini—untuk
lebih jelasnya lihat pada
makalah sebelumnya.
Demi lebih harmonis dan
langgengnya keluarga, hendaklah suami memperhatikan hal ini. Perlu
dicatat bahwa berhubungan badan
yang berdasarkan syahwat dengan isteri dalam ajaran Islam
tetap berpahala. Bukankah ini
sebuah kelebihan sekaligus perhatian besar dari ajaran Islam? Dalam
ajaran Islam, segala sesuatu
yang didasarkan kepada nafsu syahwat tidak akan mendapat pahala,
malah sebaliknya akan menuai
siksa. Kecuali dalam berhubungan badan bagi yang sudah menikah.
Ia bukan berdosa malah
berpahala. Perhatikan sabda Rasulullah saw berikut ini:
Artinya: Dari Abu Dzar ra,
bahwasannya ada beberapa sahabat yang mengadu kepada Rasulullah
saw: "Wahai Rasulullah
saw, orang-orang kaya telah mengalahkan kami dalam hal pahala; mereka
shalat sebagaimana kami shalat,
mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa dan mereka
bersedekah dengan kelebihan
harta-harta mereka". Rasulullah saw lalu bersabda: "Bukankah Allah
telah menjadikan buat kalian
juga untuk bersedekah? Sesungguhnya dalam setiap tasbih adalah
shadaqah, dalam setiap takbir
adalah sedekah, dalam setiap tahlil adalah sedekah, mencegah dari
perbuatan munkar adalah
sedekah, dan dalam setiap dari kemaluan salah seorang dari kalian
(maksudnya berhubungan badan bagi yang sudah
berkeluarga) adalah sedekah". Para sahabat lalu
bertanya: "Ya Rasulullah,
apakah salah seorang dari kami yang menggauli isterinya karena sahwat
akan mendapat pahala
juga?" Rasulullah saw menjawab: "Bagaimana menurut kalian apabila
kemaluannya itu yang diletakkan
pada kemaluan yang haram (maksudnya berzina), bukankah ia
akan mendapatkan dosa?"
Para sahabat menjawab: "Betul, Rasul". Rasulullah saw bersabda
kembali: "Demikian juga
apabila kemaluannya itu diletakkan pada yang halal (maksudnya
berhubungan badan dengan
pasangannya yang sah), maka tentu ia akan mendapatkan pahala juga"(HR.
Muslim).
4. Banyaklah berbohong
demi menyenangkan isteri
Berbohong dalam ajaran Islam
adalah termasuk salah satu perbuatan sangat tercela. Bahkan,
dalam sebuah hadits dikatakan,
ia termasuk sumber segala dosa. Oleh karena itu, dalam kondisi
dan keadaan apapun seorang
muslim dilarang untuk berbohong. Hanya saja, ini dikecualikan untuk
mereka yang sudah menikah. Bagi
yang sudah menikah, berbohong demi menyenangkan
pasangannya tidak akan berdosa
malah menuai pahala. Bahkan, dengan banyak berbohong seperti
ini, ikatan cinta kasih dan
sayang antara suami isteri akan menjadi makin lengket dan rekat.
Misalnya, ketika isteri masak,
suami memujinya dengan pujian berlebihan akan nikmat dan
lezatnya masakan isteri
sekalipun sebenarnya masakan terseubut keasinan atau nggak jelas bumbu
dan rasanya. Berbohong seperti
ini mudah diucapkan namun dalam kenyataannya sangat sulit
diterapkan. Oleh karena itu,
berusahalah dan perbanyaklah berbohong demi menyenangkan
pasangannya karena dengan
demikian akan lebih mempererat jalinan cinta kasih dan sayang yang
sudah terbina. Perhatikan sabda
Rasulullah saw berikut ini:
Artinya: "Ummu Kultsum
berkata: "Saya tidak pernah mendengar Rasulullah saw membolehkan
berbohong kecuali untuk tiga
keadaan: orang yang berbohong demi mendamaikan orang yang
sedang berselisih, orang yang
berbohong ketika peperangan dan suami yang berbohong kepada
isterinya (demi membahagiakan
isterinya) juga isteri yang berbohong kepada suaminya (demi
membahagiakan hati dan perasaan
suaminya)" (HR. Muslim).