Laman

Selasa, 03 Desember 2013

HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI



Setelah pada makalah sebelumnya kita membahas seputar ketentuan-ketentuan dan aturanaturan
yang berkaitan dengan mahar, resepsi dan adab malam pengantin, kini kita akan membahas hak
dan kewajiban suami, isteri serta hak keduanya. Persoalan ini termasuk persoalan yang sangat penting
mengingat bahwa langgeng, harmonisnya sebuah rumah tangga sangat ditentukan oleh sejauh mana
kedua pasangan tersebut, suami isteri, melaksanakan tugas, kewajiban masing-masing. Selama
keduanya melaksanakan dan konsisten dengan kewajiban masing-masing, maka keharmonisan sebuah
rumah tangga besar kemungkinan akan diraih.
Selama ini, gagalnya rumah tangga terjadi lantaran masing-masing tidak mengetahui apa
kewajiban dan apa haknya, sehingga karena ketidaktahuannya itulah baik suami atau isteri menjadi
ngambang, tidak jelas apa yang harus dilakukannya. Demikian juga, gagalnya sebuah rumah tangga
juga disebabkan kedua pasangan hanya memperhatikan hak-haknya saja tanpa memperhatikan
kewajibannya kepada pasangannya itu. Yang terjadi? Tentu, ketimpangan dan ketidakseimbangan
lantaran hak lebih besar dituntut daripada kewajiban yang seharusnya dilaksanakan. Demikian juga
sebaliknya, ada pasangan yang lebih melihat dan memperhatikan kewajibannya tanpa memperhatikan
hak-haknya. Hal ini juga seringkali menimbulkan ketidakharmonisan sebuah rumah tangga, lantaran
pada akhirnya pasangan yang terlalu memperhatikan kewajibannya akan lelah dan bosan.
Untuk itu, demi langgeng dan harmonisnya sebuah rumah tangga, diperlukan keseimbangan
antara pelaksanaan hak dan kewajiban. Ketika si suami melaksanakan kewajibannya sebaik mungkin,
maka hakikatnya si isteri akan mendapatkan hak-haknya dengan penuh dan sempurna. Demikian juga,
ketika si isteri tersebut melaksanakan kewajiban-kewajibannya dengan baik dan ikhlas, maka berarti
hak-hak si suami telah dipenuhinya dengan benar dan sempurna.
Sebelum menginjak lebih jauh mengenai hak dan kewajiban suami isteri ini, perlu penulis
jelaskan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan hak dan apa pula yang dimaksud dengan
kewajiban.
Hak adalah sesuatu yang harus didapatkan dan diraih oleh seseorang, sementara kewajiban
adalah sesuatu yang harus ditunaikan dan dilaksanakan. Bagi seorang murid, haknya adalah
mendapatkan pendidikan dan pelajaran dengan baik, sementara kewajibannya adalah menghormati
guru, membayar uang sekolah dan mentaati peraturan sekolah. Demikian juga, hak isteri adalah
mendapatkan nafkah, dan perlakukan baik dari suaminya, sementara kewajibannya adalah mentaati
segala perintah suaminya selama hal itu tidak menyimpang dari ajaran Islam.
Untuk lebih mempersingkat kalam, baiklah kini kita ikuti bahasan dimaksud. Semoga tulisan
kecil ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca umumnya. Pahala tulisan ini
semoga sampai juga kepada ayah penulis yang telah lama meniggal, kakek, nenek, Iwing dan seluruh
nenek moyang penulis sebagai salah satu perantara dan sebab adanya penulis, juga kepada nenek
moyang para pembaca pada umummya. Selamat menikmati.

Kewajiban Isteri / Hak Suami
Di antara kewajiban isteri terhadap suaminya adalah:
1. Taat kepada suami
Isteri berkewajiban untuk mentaati segala perintah suami dengan catatan selama
perintah suami itu tidak mengajak kepada perbuatan maksiat kepada Allah dan selama
perbuatan tersebut sesuai dengan kemampuan isteri. Apabila perintah tersebut mengajak
berbuat maksiat kepada Allah, misalnya meminta isteri agar diijinkan untuk mendukhulnya dari
duburnya, maka si isteri tidak boleh menta'atinya. Dalil kewajiban isteri untuk mentaati
perintah dan kemauan suami adalah:

Artinya: "Dari Husain bin Muhshain dari bibinya berkata: "Saya datang menemui Rasulullah
saw. Beliau lalu bertanya: "Apakah kamu mempunyai suami?" Saya menjawab: "Ya".
Rasulullah saw bertanya kembali: "Apa yang kamu lakukan terhadapnya?" Saya menjawab:
"Saya tidak begitu mempedulikannya, kecuali untuk hal-hal yang memang saya
membutuhkannya". Rasulullah saw bersabda kembali: "Bagaimana kamu dapat berbuat seperti
itu, sementara suami kamu itu adalah yang menentukan kamu masuk ke surga atau ke neraka"
(HR. Imam Nasai, Hakim, Ahmad dengan Hadis Hasan).

Artinya: "Rasulullah saw pernah ditanya tentang isteri yang baik. Beliau menjawab: "Apabila
diperintah, ia selalu taat, apabila dipandang menyenangkan, dan ia selalu menjaga diri dan
harta suami (manakala suaminya tidak ada)" (HR. Nasa'i).
Namun dengan catatan selama perintahnya itu bukan untuk berbuat maksiat kepada
Allah. Apabila ia menyuruh bermaksiat kepadaNya, maka istri tidak boleh mentaatinya. Hal ini
didasarkan kepada dalil berikut ini:

Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Tidak ada kewajiban taat dalam berbuat maksiat kepada
Allah. Kewajiban taat itu hanyalah untuk perbuatan yang baik" (HR. Bukhari Muslim).

2. Berdiam diri di rumah, tidak keluar rumah kecuali dengan idzin suami.

Artinya: "Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah
laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu" (QS. Al-Ahzab: 33).
Dalam hal ini Imam Ibn Taimiyyah dalam bukunya Majmu al-Fatawa mengatakan:

Artinya: "Seorang isteri haram untuk keluar dari rumahnya kecuali ada idzin dari suaminya.
Apabila ia keluar rumah tanpa ada idzin dari suaminya, maka isteri tersebut sudah dipandang
sebagai isteri yang berbuat nusyuz, berdosa kepada Allah dan rasulNya serta ia berhak untuk
mendapatkan hukuman".

3. Ta'at dan tidak menolak apabila diajak berhubungan badan.

Artinya: "Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda: "Apabila suami meminta isterinya
untuk berhubungan badan, lalu isterinya itu menolak dan enggan, maka ia akan dilaknat oleh
para malaikat sampai pagi hari tiba" (HR. Bukhari Muslim).
4. Tidak mengijinkan orang lain masuk ke rumah, kecuali ada idzin dan ada keridhaan
dari suami.
Seorang isteri dilarang memasukkan ke dalam rumah laki-laki lain sekalipun laki-laki
itu adalah temannya sendiri ketika kuliah, atau saudara jauhnya selama dapat diperkirakan
bahwa si suami tidak akan menyukainya dan demi untuk menghindari fitnah. Namun, apabila
adik atau kakak si isteri atau orang lainnya yang diperkirakan si suami akan merelakan dan
meridhainya, maka tentu hal demikian diperbolehkan. Hal ini didasrkan kepada salah satu
hadits berikut ini:
Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Seorang isteri dilarang mengijinkan orang lain masuk ke
dalam rumahnya kecuali ada idzin dari suaminya" (HR. Muslim).

5. Dilarang melakukan puasa sunnat ketika si suami ada kecuali ada idzinnya.
Apabila si isteri hendak melakukan puasa sunnat ketika suaminya ada, maka ia harus
meminta idzin terlebih dahulu kepada suaminya. Hal ini dikhawatirkan ketika si isteri berpuasa,
lalu si suami meminta untuk berhubungan badan, tentu si isteri tidak dapat memenuhinya
karena ia sedang berpuasa. Hal lain, umumnya orang yang berpuasa itu lemas dan kurang
optimal dalam melayani suaminya. Untuk itu, si isteri harus meminta idzin terlebih dahulu
kepada suaminya manakala ia bermaksud untuk melakukan puasa agar si suami mengetahui
ketika pelayanan si isteri kurang optimal nanti. Mengapa dilarang melakukan puasa sunnat
kecuali ada idzin dari suaminya? Karena hokum melakukan puasa sunnat adalah sunnat saja,
sementara taat kepada suami hukumnya adalah wajib. Tentu yang wajib harus lebih
didahulukan daripada yang hukumnya sunnat.
Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Haram bagi seorang isteri melakukan puasa sunnat ketika
suaminya ada kecuali dengan idzinnya. Demikian juga seorang isteri tidak boleh mengidzinkan
orang lain memasuki rumahnya kecuali ada idzinnya" (HR. Bukhari).
6. Tidak menginfakkan sesuatu hartanya kecuali ada idzin dari suami.
Apabila si isteri bermaksud untuk infak dengan harta dari si suami, maka ia terlebih
dahulu harus meminta ijin dari suaminya. Demikian juga, apabila ia bermaksud memberikan
sesuatu kepada adik-adiknya atau keluarganya, maka ia harus meminta ijin terlebih dahulu.
Mengapa? Karena dalam ajaran Islam, harta yang diusahakan oleh si suami adalah milik si
suami. Sementara kewajiban si suami, bukan semata kepada isterinya, akan tetapi juga kepada
keluarganya (ibunya, adiknya dan lainnya). Untuk itu, pemberian apapun yang akan dilakukan
oleh si isteri, harus meminta ijinnya terlebih dahulu. Hal ini didasarkan kepada hadits berikut
ini:

Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Seorang isteri tidak boleh menginfakkan sebagian harta
suami kecuali ada idzinnya" (HR. Abu Dawud, Turmudzi, Ibn Majah dengan sanad Hasan).

7. Menjaga kehormata dirinya, menjaga putra putrinya juga harta suaminya ketika si
suami sedang tidak di rumah.
Hal ini berdasarkan firman Allah berikut ini:

Artinya: "Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri
ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)" (An-Nisa: 34).

Artinya: "Rasulullah saw pernah ditanya tentang isteri yang baik. Beliau menjawab: "Apabila
diperintah, ia selalu taat, apabila dipandang menyenangkan, dan ia selalu menjaga diri dan
harta suami (manakala suaminya tidak ada)" (HR. Nasa'i).

8. Mensyukuri pemberian suami, selalu merasa cukup dan melayani suami dengan baik.
Hal ini didasarkan kepada hadits berikut ini:

Artinya: "Abdullah bin Amr berkata, Rasulullah saw bersabda: "Allah tidak akan
memperhatikan seorang isteri yang tidak pernah mensyukuri pemberian suaminya , juga tidak
pernah merasa cukup dengan apa yang diberikan suaminya kepadanya" (HR. Nasai).

Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "…Lalu diperlihatkan kepada saya neraka, dan saya tidak
pernah melihatnya seperti yang saya lihat hari ini. Ternyata kebanyakan penghuninya adalah
para wanita". Para sahabat bertanya: "Mengapa ya Rasulullah saw?" Rasulullah saw menjawab:
"Karena mereka berbuat dosa sebelum mereka berbuat dosa kepada Allah. Mereka banyak
berdosa kepada suaminya, dan banyak meninggalkan kebaikan" (HR. Bukhari Muslim).

9. Berdandan dan mempercantik diri di hadapan suami.

Artinya: "Rasulullah saw pernah ditanya tentang isteri yang baik. Beliau menjawab: "Apabila
diperintah, ia selalu taat, apabila dipandang menyenangkan, dan ia selalu menjaga diri dan
harta suami (manakala suaminya tidak ada)" (HR. Nasa'i).

10. Tidak berbuat sesuatu yang dapat menyakiti dan tidak disukai oleh suami

Artinya: Rasulullah saw bersabda: "Tidak ada seorang isteri pun yang menyakiti suaminya di
dunia, kecuali isterinya dari bidadari surga akan berkata: "Janganlah kamu menyakitinya, Allah
akan membinasakan kamu. Dia itu adalah simpanan bagi kamu kelak yang hamper saja ia
berpindah kepada kami" (HR. Turmudzi, Ibn Majah dengan sanad Hasan).

11. Harus menjaga kelanggengan rumah tangga dan tidak boleh meminta talak tanpa ada
alasan syar'i yang jelas.

Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Wanita mana saja yang meminta untuk ditalak kepada
suaminya tanpa ada alasan yang jelas, maka haram baginya untuk mencium baunya surga"
(HR. Turmudzi, Abu Dawud dan Ibn Majah).

12. Berkabung selama empat bulan sepuluh hari ketika suaminya meninggal.
Bagi wanita yang ditinggal mati oleh suaminya, ia tidak boleh berhias, berdandan
menor, menikah lagi, juga tidak menerima pinangan laki-laki lain yang menggunakan kata-kata
yang jelas (tapi boleh menerima pinangan yang diucapkan dengan kata-kata sindirian=lihat
kembali makalah mengenai meminang) sebelum habis masa iddahnya (masa menunggunya)
selama empat bulan sepuluh hari (130 hari). Apabila masa iddah empat bulan sepuluh hari
telah habis, maka ia boleh berhias, berdandan dan menikah lagi dengan laki-laki lainnya. Hal
ini didasarkan kepada firman Allah swt berikut ini:
Artinya: "Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri
(hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari.
Kemudian apabila telah habis 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan
mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu
perbuat" (QS. Al-Baqarah: 234).

Kewajiban Suami / Hak Isteri

Di antara kewajiban suami atau hak isteri adalah:

1. Membayar mahar / mas kawin.
Pembahasan mengenai hal ini telah dibahas pada makalah sebelumnya tentang
Mahar, Resepsi dan Adab Malam Pengantin. Untuk lebih jelasnya, silahkan lihat kembali
kepada makalah tersebut.

2. Memperlakukan dan menggauli isteri sebaik mungkin.
Memperlakukan isteri dengan baik di antaranya dapat berwujud dengan tidak
menyakitinya, memperlakukannya sebagai mitra, teman bukan sebagai pembantu,
memberikan semua hak-haknya menurut kemampuan dan lainnya. Hal ini didasarkan
kepada firman Allah swt berikut ini:

Artinya: "Dan bergaullah dengan mereka (isteri-isteri) secara patut. Kemudian bila kamu
tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu,
padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak" (QS. An-Nisa: 19).

Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Sebaik baik kalian wahai laki-laki adalah orang yang
paling baik kepada keluarganya. Dan saya adalah orang yang paling baik kepada keluarga
saya" (HR. Turmudzi dan Ibn Hibban).

3. Memberikan nafkah, pakaian dan rumah / tempat tinggal dengan layak dan baik.
Yang dimaksud dengan nafkah di sini adalah nafkah yang diberikan oleh suami
untuk isteri dan anak-anaknya berupa makanan, pakaian, tempat tinggal dan lainnya
menurut ukuran yang layak berdasarkan kemampuan suami. Memberikan nafkah kepada
isteri dan anak-anak wajib hukumnya, hal ini didasarkan kepada firman Allah berikut ini:

Artinya: "Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan
orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan
Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa
yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah
kesempitan" (at-Talak: 7).

Artinya: "Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara
makruf" (QS. Al-Baqarah: 233).

Artinya: "Dari Jabir, Rasulullah saw bersabda: "…Bertakwalah kepada Allah tentang
perempuan, karena mereka itu adalah setengah umur dari kalian. Kalian mengambilnya
dengan amanah Allah, menjadikan halal kemaluannya dengan kalimah Allah. Kalian
berkewajiban untuk memberikan nafkah, pakaian kepadanya dengan makruf" (HR.
Muslim).

Artinya: "Mu'awiyah al-Qusyairi berkata: "Saya bertanya kepada Rasulullah saw: "Wahai
Rasulullah saw, apa hak isteri kami itu?" Rasulullah saw menjawab: "Memberi makannya
apabila kamu makan, memberi pakaian apabila kamu berpakaian, tidak boleh memukul
muka, jangan menjelekannya, dan jangan kamu pergi menjauhinya kecuali di dalam rumah
saja" (HR. Ab Dawud, Ibn Majah, Ahmad dan Nasai).
Apabila si suami pelit, tidak memberikan nafkah yang cukup untuk isteri dan anakanaknya
padahal dia mampu dan berkelapangan, maka si isteri boleh mencurinya dengan
baik-baik menurut kebutuhan untuk mencukupi kebutuhannya dan kebutuhan anakanaknya.
Hal ini didasarkan kepada hadits berikut ini:
Artinya: "Dari Siti Aisyah, Hind bint Utba bertanya kepada Rasulullah saw: "Wahai
Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan seorang laki-laki yang sangat pelit. Ia tidak
memberikan sesuatu kepada saya dan anak saya kecuali apa yang saya ambil ketika dia
tidak mengetahuinya. Rasulullah saw menjawab: "Ambillah apa yang mencukupi untuk
kamu dan untuk anak kamu dengan jalan yang baik" (HR. Bukhari Muslim).
Apa yang menjadi sebab wajibnya memberikan nafkah kepada isteri?
Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. Menurut ulama Hanafiyyah, sebab
wajibnya suami memberikan nafkah untuk isterinya adalah karena menahan si isteri di
dalam rumah. Maksudnya, si suami menyuruh isteri hanya untuk mengurus urusan rumah
tangga saja, dan tidak mengijinkannya untuk bekerja.
Sementara menurut Jumhur ulama, sebab wajibnya suami memberikan nafkah kepada
isteri adalah karena perkawinan, artinya karena ia adalah isterinya. Oleh karena itu, selama
ia menjadi isterinya, baik ia bekerja maupun tidak, suami tetap wajib memberikan nafkah.
Syarat-syarat wajibnya nafkah
Meskipun kewajiban memberikan nafkah oleh si suami kepada isterinya itu karena
pernikahan, karena si wanita tersebut menjadi isterinya, akan tetapi Jumhur ulama
mensyaratkan beberapa ketentuan tertentu agar seorang suami berkewajiban memberikan
nafkah kepada isterinya. Persyaratan ini meliputi persyaratan sebelum isteri disetubuhi dan
setelah isteri disetubuhi.
Adapun syarat-syarat yang berkaitan dengan sebelum si isteri disetubuhi adalah:

1. Si Isteri mau diajak untuk disetubuhi. Apabila si isteri mau untuk disetubuhi, maka
suami wajib memberikan nafkah. Namun, apabila si isteri menolak dan tidak mau
untuk digauli tanpa alasan syar'I yang jelas, maka suami tidak wajib memberikan
nafkah.

2. Si isteri dapat disetubuhi. Maksudnya, apabila kemaluan si isteri sehat, tidak ada
penyakit apapun yang menyebabkan terhalangnya bersetubuh, maka si suami wajib
memberikan nafkah. Namun, apabila si isteri, dalam kemaluannya, maaf, ada tulang
besar atau penyakit lainnya yang menyebabkan tidak dapat disetubuhi, maka si suami
tidak wajib memberikan nafkah.

3. Pernikahan tersebut adalah pernikahan yang sah, bukan pernikahan yang batal. Apabila
pernikahannya memanuhi segala persyaratan rukun dan syarat sebagaimana telah
dibahas pada makalah sebelumnya, maka si suami wajib memberikan nafkah. Namun,
apabila pernikahannya bukan pernikahan yang sah, misalnya, tidak memakai wali atau
tidak diumumkan, maka si suami tidak berkewajiban memberikan nafkah. Mengapa?
Karena hakikatnya ketika pernikahan itu tidak sah, maka wanita tersebut bukanlah
isterinya dan dipandang tidak terjadi pernikahan. Karena tidak terjadi pernikahan, maka
gugur kewajiban untuk memberikan nafkah.

Sementara syarat-syarat wajibnya nafkah yang berkaitan dengan setelah
didukhul adalah:

1. Si suami mempunyai kelapangan, mampu untuk memberikan nafkah. Apabila seorang
suami tiba-tiba di tengah masa pernikahannya sakit, atau terkena musibah sehingga ia
tidak mampu dan tidak dapat memberikan nafkah kepada isterinya, maka dalam masa
sulit dan lemahnya ini, ia tidak berkewajiban memberikan nafkah. Hal ini didasarkan
kepada firman Allah swt:


Artinya: "Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya.
Dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang
diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan
sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan
sesudah kesempitan" (QS. At-Talak: 7).

2. Si ister tidak berbuat nusyuz (si isteri tidak membangkang suaminya). Apabila si siteri
sudah tidak mentaati suaminya, maka isteri tersebut dipandang telah berbuat nusyuz.
Ketika ia telah berbuat nusyuz, maka suami tidak wajib memberikan nafkah kepadanya.
Apakah kalau isteri bekerja di luar rumah atau menjadi pegawai masih tetap wajib
mendapatkan nafkah?

Apabila si isteri bekerja di luar rumah baik bekerja di kantor, di pabrik atau di
tempat lainnya, dan si suami ridha, rela dan mengijinkannya maka si suami tetap wajib
memberikannya nafkah. Namun, apabila si isteri bekerja di luar rumah sementara si suami
tidak mengijinkannya dan kondisi ekonominya lumayan mapan sekalipun si isteri tidak
bekerja di luar rumah, maka si suami tidak berkewajiban memberikan nafkah kepadanya
(lihat dalam kitab Ibn 'Abidin: II/891).

Berapa jumlah nafkah yang wajib bagi isteri dan anak-anak itu?
Dalam hal ini, sebenarnya tidak ada nash yang secara jelas menentukan berapa
jumlah nominal nafkah wajib bagi isteri dan anak-anak. Hanya saja, ada beberapa nash
yang dapat kita jadikan sebagai standar untuk menentukan berapa jumlah nafkah wajib ini.
Nash-nash dimaksud adalah sebagai berikut:

Artinya: ""Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya" (QS.
At-Thalaq: 7).

Artinya: "Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut
kemampuannya (pula)" (QS. Al-Baqarah: 236).

Artinya: Rasulullah saw bersabda: ""Ambillah apa yang mencukupi untuk kamu dan untuk
anak kamu dengan jalan yang baik" (HR. Bukhari Muslim).
Dari beberapa nash di atas, kita dapat menarik beberapa kesimpulan, bahwa jumlah
besarnya nafkah bagi isteri itu tergantung pada hal berikut ini:

1. Bahwa nafkah tersebut harus mencukupi kebutuhan isteri dan anak-anak secara makruf,
baik. Dan hal ini tentu berbeda-beda menurut perbedaan orangnya, waktu dan
tempatnya. Bagi orang yang tinggal di desa, tentu nafkah satu juta perbulan sudah
sangat cukup, namun tidak demikian halnya dengan mereka yang tinggal di kota besar
seperti Jakarta. Atau nafkah satu juta, bagi mereka yang belum mempunyai anak, tentu
sudah cukup, namun bagi yang sudah mempunyai anak tentu belum cukup. Oleh karena
itu, yang jelas bahwa nafkah tersebut harus dapat memenuhi kebutuhan isteri dan anakanaknya
yang berbeda-beda tergantung kondisi, tempat dan keadaannya.

2. Menurut kemampuan dan kelapangan suami. Para ulama dalam masalah ini berbeda
pendapat dalam hal apakah yang menjadi ukuran dalam nafkah ini adalah kondisi dan
kemampuan si suami ataukah isteri atau keduany? Namun, apabila kita perhatikan nash
sebagaimana yang telah disebutkan di atas, bahwa nafkah adalah kewajiban suami dan
karenanya yang menjadi ukurannyapun adalah suami. Bagi suami yang kemampuannya
pas-pasan, tentu ia berkewajiban memberikan nafkah menurut kemampuannya. Ia tidak
boleh memaksakan diri untuk memberikan sesuatu di luar kemampuannya. Demikian
juga, bagi suami yang berkelapangan, lebih besar nafkah yang diberikannya tentu lebih
baik dan lebih besar pahalanya.

Apakah suami juga wajib memberikan nafkah berupa biaya pengobatan isterinya?
Mendengar pertanyaan ini, tentu untuk masyarakat asia khususnya Indonesia,
sangatlah ironis. Mengapa tidak, karena persoalannya menyangkut masalah yang sangat
substansial; mengapa persoalan memberikan biaya pengobatan kepada isteri meski dibahas
dan diperdebatkan? Bukankah secara akal sehat itu adalah sudah menjadi kewajiban bagi
suami? Namun itulah persoalan. Para ulama telah berbeda pendapat antara yang
mengatakan bahwa biaya pengobatan dan kesehatan isteri adalah kewajiban si suami
dengan mereka yang mengatakan sebaliknya, bukan merupakan kewajiban suami—
perdebatan ini dapat dilihat misalnya dalam kitab Ibn Abidin (II/889), Mugni Muhtaj
(III/431) dan Hasyiyah ad-Dasuqi (II/511). Persoalan ini akan menjadi jelas, apabila kita
menyaksikan persolan keluarga dan pernikahan yang terjadi di Negara-negara Arab di
mana masalah nafkah ini selalu menjadi isu yang paling senter. Seringkali isteri menggugat
suaminya lantaran nafkah yang menurut ukurannya tidak layak. Bahkan, tidak jarang pula
seorang isteri yang meminta biaya dan nafkah lebih kepada suaminya dengan dalih untuk
biaya pengobatan.
Namun demikian, hemat penulis, para ulama yang melihat bahwa nafkah biaya
perngobatan isteri bukanlah kewajiban suami, lantaran untuk kondisi saat itu, pengobatan si
isteri bukanlah sesuatu yang dharury, esensial. Namun, untuk konteks dan kondisi saat ini,
tentu sudah sangat berbeda. Pengobatan dan kesehatan isteri dan anak-anak adalah
termasuk hal yang sangat primer sama dengan masalah makanan, minuman, pakaian dan
lainnya. Untuk itu, hemat pemulis, biaya pengobatan dan kesehatan isteri juga anak-anak
termasuk kewajiban si suami juga. Suami wajib memperhatikan kesehatan isteri dan anakanaknya
sebagaimana ia berkewajiban memperhatikan makanan, pakaian dan tempat
tinggalnya.

4. Mengajarkan kepada isterinya pengajaran-pengajaran agama dan mengajaknya
untuk berbuat taat.
Kewajiban suami lainnya adalah mendidik isteri dalam beragama dan ketaatan. Hal
ini dimaksudkan karena dalam ajaran Islam, berumah tangga dalam Islam bukan semata
untuk di kehidupan dunia, akan tetapi juga untuk di akhirat kelak. Apabila bekal untuk
mengarungi kehidupan dunia berupa harta dan kekayaan, maka untuk menghadapi akhirat
kelak adalah amal kebaikan dan ibadah. Untuk itu, selaku pemimpin rumah tangga, suami
harus bertanggung jawab kepada keduanya.
Apabila si suami sibuk dengan pekerjaanya sehingga tidak mempunyai waktu
cukup untuk mengajarkan agama kepada keluarganya, atau si suami sendiri merasa kurang
dengan persoalan-persoalan agama, maka ia boleh menyewa orang lain (tentu sebaiknya
gurunya adalah perempuan juga) untuk menjadi guru agama isterinya. Demikian juga untuk
putra putrinya. Hal ini didasarkan kepada firman Allah berikut ini:

Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang
kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada
mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan" (QS. At-Tahrim: 6).

Artinya: "Ummu Salamah berkata: Suatu malam Rasulullah saw membangunkan (isteriisterinya)
sambil bersabda: "Subhanallah, cobaan dan fitnah apa yang telah turun pada
malam ini, dan keutamaan apa yang telah dibukakan dari gudang-gudang. Bangunlah
kalian wahai isteri-isterku, berapa banyak orang yang berpakaian di dunia, akan tetapi ia
telanjang di akhirat" (HR. Bukhari).

Artinya: "Abu Hurairah berkata: Rasulullah saw bersabda: "Allah akan merahmati seorang
laki-laki yang bangun malam lalu shalat, serta membangunkan isterinya untuk shalat.
Apabila isterinya enggan dan menolak, ia kemudian menuangkan air di muakanya.
Demikian juga Allah akan merahmati seorang perempuan yang bangun malam lalu shalat,
kemudian ia membangunkan suaminya untuk shalat juga. Apabila suaminya menolak dan
enggan bangun, ia lalu menuangkan air di mukanya" (HR Ahmad dengan sanad Hasan).

5. Tidak memperpanjang kesalahan isteri selama kesalahannya itu tidak menyangkut
syariat.
Tidak ada manusia yang sempurna. Semua tentu ada kekuarangan dan kelebihan.
Demikian juga dengan pasangan suami isteri. Apabila di kemudian hari si suami mendapati
isterinya tidak sesuai dengan apa yang diharapkannya atau berbuat kesalahan, maka suami
hendaknya tidak mempersoalkan hal itu dan tidak memperpanjangnya. Karena, sekali lagi
selama ia manusia, maka ia tidak akan pernah sempurna. Kecuali apabila persoalan dan
kesalahan isteri tersebut menyangkut masalah agama, misalnya apabila si isteri tidak
pernah shalat wajib, sering bolong melakukan puasa Ramadhan, maka suami berkewajiban
untuk menasihati dan mempersoalkannya. Dalam hal ini Rasulullah saw bersabda:

Artinya: Rasulullah saw bersabda: "Seorang mukmin tidak boleh membenci seorang wanita
mu'min. Apabila ia membenci salah satu perangai dan perbuatannya, namun ia tetap akan
suka dan rela dengan perangai dan hal lainnya" (HR. Muslim).

6. Tidak menyakitinya dengan jalan tidak memukulnya di wajahnya atau menjelekjelekannya.
Dalam hal ini Rasulullah saw bersabda:

Artinya: Rasulullah saw bersabda: "Dan janganlah memukul muka, juga janganlah
menjelek-jelekannya" (HR. Abu Dawud, Ibn Majah dan Ahmad).
Meski Rasulullah saw dalam hadits di atas membolehkan suami untuk memukul
isterinya manakala ia sudah keterlaluan dengan catatan tidak boleh di muka, akan tetapi,
Rasulullah saw sendiri tidak pernah memukul isteri-isterinya. Perhatikan hadits berikut ini:
Artinya: "Siti Aisyah berkata: "Saya tidak pernah melihat Rasulullah saw memukul
pembantunya sedikitpun, demikian juga tidak pernah memukul isteri-isterinya, juga tidak
pernah memukul dengan tangannya siapapun dan apapun kecuali ketika sedang berjihad di
jalan Allah" (HR. Muslim).
Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Tidak pantas seorang laki-laki yang memukul
isterinya seperti majikan yang memukul budaknya, lalu ia menggaulinya di penghujung
hari" (HR. Bukhari Muslim).
Dalam ajaran Islam memang suami diperbolehkan untuk memukul isterinya
manakala isterinya itu tidak taat, atau berbuat nusyuz (nusyuz adalah isteri meninggalkan
kewajibannya kepada suaminya. Termasuk nusyuz, isteri yang keluar rumah tanpa idzin
dari suaminya) dengan catatan tidak di muka dan tidak menimbulkan bekas dari
pukulannya itu. Dalil, bolehnya suami memukul isterinya yang tidak taat adalah firmanNya
berikut ini:
Artinya: "Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan
pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka
mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.
Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar" (QS. An-Nisa: 34).
Dari ayat di atas, paling tidak ada tiga batasan mengenai bolehnya suami memukul
isterinya:

1. Setelah sebelumnya si suami melalui dua tahap yakni menasehatinya dan pindah
ranjang. Artinya, apabila setelah dinasehati dan pindah ranjang, si isteri tetap tidak
berubah dan tetap melakukan nusyuz, maka suami boleh memukulnya.

2. Pukulannya bersifat untuk mendidik dan memberikan pelajaran karena itu tidak boleh
yang berbekas dan berakibat fatal (ghair mubarrah), tidak boleh yang menimbulkan
tulang pecah atau mengganggu jiwa si isteri.

3. Apabila si isteri telah taat dan tidak berbuat nusyuz lagi, maka suami tidak boleh memukulnya.
.
7. Tidak boleh mencuekkan, meninggalkan dan membiarkan isterinya kecuali di rumah
Apabila si isteri berbuat nusyuz, atau berbuat sesuatu yang menyimpang, maka
suami boleh mencuekkan, tidak mendekatinya, dengan jalan pindah kamar atau pindah
kasur selama itu di dalam rumah sendiri. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah saw:
Artinya: "Mu'awiyah al-Qusyairi berkata: "Saya bertanya kepada Rasulullah saw: "Wahai
Rasulullah saw, apa hak isteri kami itu?" Rasulullah saw menjawab: "Memberi makannya
apabila kamu makan, memberi pakaian apabila kamu berpakaian, tidak boleh memukul
muka, jangan menjelekannya, dan jangan kamu pergi menjauhinya kecuali di dalam rumah
saja" (HR. Ab Dawud, Ibn Majah, Ahmad dan Nasai).
Kecuali apabila ada kemaslahatan lain yang lebih besar, maka si suami boleh
meninggalkan isteri dari rumah, misalnya nginep sementara waktu di rumah orang tuanya,
atau kakak dan adiknya. Hal ini sebagaimana dilakukan oleh Rasulullah saw ketika beliau
menghadapi masalah dengan isteri-isterinya ketika mereka meminta tambahan nafkah
kepada Rasulullah saw. Saat itu, Rasulullah saw lalu hijrah dan tidak tinggal di rumah
isteri-isterinya selama satu bulan penuh. Ini juga menjadi dalil, bahwa suami atau isteri
boleh marahan dengan pasangannya lebih dari tiga hari apabila hal itu dinilai ada
kemaslahatan yang lebih besar, karena buktinya Rasulullah saw memarahi dan mendidik
isteri-isterinya lebih dari tiga hari (satu bulan). Pembahasan lebih lanjut akan hal ini akan
dibahas dalam makalah selanjutnya dalam masalah al-'ila.

8. Suami wajib dandan dan tampil prima di hadapan isterinya sebagaimana si isteri
wajib dandan, berhias dan tampil prima di hadapan suaminya.
Di antara hal sangat penting yang jarang sekali diperhatikan oleh pasangan suami
isteri adalah tampil prima dan dandan. Umumnya, suami atau isteri tampil bersih dan rapi
juga berdandan manakala hendak menghadiri undangan, menghadiri pengocokan arisan
atau kegiatan darmawanita serta lainnya, sementara ketika di hadapan suami atau isterinya
ia tampil kotor, bau, dan apa adanya. Inilah di antara penyebab kuat seringkali terjadinya
perselisihan keluarga atau yang seringkali menyebabkan pasangannya mencari "pasangan"
baru yang lebih rapih dan ganteng, cantik. Oleh karena itu, kewajiban suami juga isteri
adalah dandan dan tampil rapih di hadapan pasangannya. Dalam hal ini perhatikan
perkataan Ibn Abbas berikut ini:
Artinya: "Ibnu Abbas berkata: "Sesungguhnya saya betul-betul senang berdandan dan
berhias di depan isteri sebagaimana saya suka isteri saya dandan di hadapan saya. Hal ini
karena Allah berfirman: " Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan
kewajibannya menurut cara yang makruf"" (HR. Thabari dan Ibn Abi Syaibah dengan
sanad yang Shahih).
Perhatikan juga salah satu atsar (riwayat yang tidak sampai kepada Rasulullah saw,
ia hanya berupa ucapan para sahabat) berikut ini sebagaimana dikutip oleh Mahmud
Mahdy al-Istanbuly dalam bukunya, Tuhfatul Arus:
Artinya: "Cucilah pakaian-pakaian kalian, cukur, rapihkan rambut-rambut kalian, gosoklah
gigi kalian, dandanlah serta bersihkanlah badan kalian, karena Bani Israil tidak pernah
melakukan hal yang demikian, sehingga isteri-isterinya berbuat zina".

9. Berbaik sangka kepada isteri.
Di antara kewajiban suami lainnya adalah berbaik sangka kepada isteri manakala
timbul masalah atau sesuatu yang tidak dikehendaki. Baik sangka ini sangat diperlukan
mengingat saling berbaik sangka dan saling percaya adalah kunci kelanggengan rumah
tangga. Perhatikan firman Allah berikut ini:
Artinya: "Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang mukminin
dan mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak)
berkata: "Ini adalah suatu berita bohong yang nyata."(QS. An-Nur: 12).
Dalam sebuah hadits riwayat Imam Muslim, dikisahkan, ketika beberapa orang lakilaki
Anshar dari Bani Hasyim masuk ke rumah Asma bint Umais (isterinya Abu Bakar ash-
Shidiq), lalu Abu Bakar masuk ke rumahnya dan didapati beberapa laki-laki Anshar itu,
Abu Bakar merasa tidak enak dan membencinya. Namun, Abu Bakar berkata: "Saya tidak
mendapati isteri saya kecuali kebaikan". Rasulullah saw lalu bersabda: "Allah telah
membersihkan isteri kamu dari prasangka buruk kamu". Abu Bakar lalu berdiri di atas
mimbar sambil berkata:
Artinya: "Seorang laki-laki betul-betul tidak diperbolehkan setelah hari ini untuk masuk ke
dalam rumah yang suaminya sedang tidak ada di rumah, kecuali ia ditemani oleh laki-laki
lain atau oleh dua orang laki-laki lainnya" (HR. Muslim).
Dalam kisah di atas, baik Rasulullah saw maupun Abu Bakar ash-Shidiq berbaik
sangka kepada isterinya. Namun demikian, ia tetap tidak mengijinkan dan tidak
membolehkan dalam di kemudian hari laki-laki masuk ke dalam rumah yang suaminya
sedang tidak ada, bepergian. Karena hal itu akan menimbulkan fitnah, di mana setan akan
dengan mudah membisikkan sesuatu yang tidak diinginkan.

Hak Bersama Antara Suami Isteri

Berikut ini ada beberapa hak bersama yang harus didapatkan baik oleh suami maupun oleh
isteri. Hak-hak dimaksud adalah:

1. Halalnya untuk berhubungan badan. Baik suami isteri berhak mendapatkan kenikmatan
berhubungan badan. Oleh karena itu, suami boleh meminta pasangannya untuk melayaninya,
demikian juga si isteri berhak meminta suaminya untuk melayani "tidur" nya.

2. Masing-masing berhak mendapatkan warits. Apabila salah satu pasangannya meninggal, maka
pasangan lainnya berhak mendapatkan harta waritasan dari pasangannya yang meninggal
tersebut.

3. Masing-masing berhak untuk diperlakukan dengan baik dan benar.

4. Keduanya menjadi haram untuk menikahi kerabat masing-masing sebagaimana telah
dijelaskan dalam makalah sebelumnya mengenai wanita-wanita yang haram dinikahi, lantaran
perkawinan (al-mushaharah). Misalnya, dengan menikahnya laki-laki dan perempuan, maka
si suami haram untuk menikahi adik isterinya selama isterinya masih hidup dan keduanya
masih menikah. Demikian juga, ia haram untuk menikahi mertuanya—untuk lebih jelasnya,
lihat kembali makalah sebelumnya seputar masalah wanita yang haram dinikahi.
Beberapa tambahan

Berikut ini beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh suami demi keharmonisan, lebih
merekatkan dan melanggengkan rumah tangga:

1. Banyaklah mencandai isteri.
Banyak bercanda untuk hal-hal tidak berguna dalam ajaran Islam dilarang. Bahkan, apabila
berlebihan dan keterlaluan ia berdosa. Namun, untuk suami atau isteri, bercanda bagi mereka
adalah ibadah. Semakin banyak canda di antara keduanya, semakin banyak pahala yang akan
dituainya. Inilah salah satu kelebihan ajaran Islam yang memberikan perhatian begitu besar untuk
urusan keluarga, sampai-sampai bercandanya suami isteri pun berpahala. Dalam kehidupan rumah
tangga bercanda dan mesra antara suami isteri sangatlah dibutuhkan, karena hal ini akan lebih
mempererat hubungan kasih sayang dan cinta kasih di antara keduanya. Dalil bahwa bercandanya
suami isteri adalah berpahala adalah sebagai berikut:
Artinya: "Segala sesuatu yang bukan dzikrullah, maka ia adalah hura-hura, sia-sia dan permainan
belaka kecuali untuk empat hal berikut ini: Bercandanya seorang suami dengan isterinya,
seseorang yang melatih kudanya, seseorang yang berjalan di antara dua sasaran (bagi yang sedang
berlatih memanah) dan seseorang yang sedang mengajari berenang" (HR. Imam Nasa'i, dan
haditsnya Shahih).

2. Semangatlah untuk mencari rizki demi memperoleh kehidupan yang cukup.
Tidak diragukan lagi, bahwa pada umumnya kehidupan keluarga yang ekonominya mapan
akan lebih bahagia dan harmonis dari pada keluarga yang ekonominya seret. Oleh karena itu,
Rasulullah dalam berbagai hadits mengatakan bahwa meninggalkan keluarga dengan
berkecukupan harta jauh lebih baik dari pada meninggalkan mereka miskin sehingga akan
meminta-minta kepada orang lain. Dalam hadits lain Rasulullah mengatakan bahwa kefakiran itu
seringkali membawa kepada kekufuran. Untuk itu, seorang suami demi menjaga keharmonisan dan
kelanggengan rumah tangganya hendaklah bersemangat dalam mencari nafkah. Tanamkanlah
dalam jiwa bahwa mencari nafkah untuk menghidupi keluarga dalah amal ibadah yang sangat
besar pahalanya.
Dalam ajaran Islam, suami yang memberikan nafkah kepada keluarganya, sekalipun itu sudah
merupakan kewajibannya, tetap akan mendapatkan pahala dan tetap dihitung sebagai shadaqah.
Oleh karena itu, sejatinya seorang suami harus lebih giat dalam mencari nafkah. Dalil bahwa
nafkah yang diberikan kepada keluarganya juga dihitung sebagai shadaqah adalah sebagai berikut:
Artinya: "Satu dinar yang anda infakkan di jalan Allah, satu dinar yang anda sedekahkan kepada
budak, satu dinar yang anda sedekahkan untuk orang miskin, satu dinar yang anda sedekahkan
kepada keluargamu, maka sedekah yang anda berikan kepada keluargamulah yang jauh lebih besar pahalanya" (HR. Muslim
Artinya: "Tidaklah kamu menginfakkan satu nafkah pun dengan maksud untuk mengharapkan
keridhaan Allah, kecuali kamu akan mendapatkan pahalanya, sampai apa yang kamu berikan untuk makan isteri kamu" (HR. Bukhari).

Artinya: "Apabila seseorang memberikan nafkah kepada keluarganya (isteri dan anaknya) dengan
maksud untuk mengharapkan keridhaannya, maka nafkahnya itu dihitung sebagai shadaqah" (HR. Bukhari Muslim).

Artinya: "Apa yang kamu berikan untuk diri kamu adalah shadaqah buat kamu, apa yang kamu
berikan untuk anak kamu adalah shadaqah buat kamu dan apa yang kamu berikan untuk isteri
kamu adalah shadaqah juga buat kamu" (HR. Ahmad dan haditsnya Shahih).

3. Perhatikanlah kepuasan dan kebutuhan biologis pasangannya
Kepuasan dalam berhubungan badan dalam ajaran Islam sangatlah penting. Ia termasuk salah
satu penyebab harmonis dan langgengnya sebuah rumah tangga. Banyak sekali kasus perceraian
atau perselingkuhan terjadi lantaran salah satu pasangan tidak merasakan kepuasan dalam
berhubungan badan. Untuk itu, Islam memberikan perhatian sangat besar dalam hal ini. Sampaisampai
banyak hadits yang membicarakan seputar bersenggama antara suami isteri ini—untuk
lebih jelasnya lihat pada makalah sebelumnya.
Demi lebih harmonis dan langgengnya keluarga, hendaklah suami memperhatikan hal ini. Perlu
dicatat bahwa berhubungan badan yang berdasarkan syahwat dengan isteri dalam ajaran Islam
tetap berpahala. Bukankah ini sebuah kelebihan sekaligus perhatian besar dari ajaran Islam? Dalam
ajaran Islam, segala sesuatu yang didasarkan kepada nafsu syahwat tidak akan mendapat pahala,
malah sebaliknya akan menuai siksa. Kecuali dalam berhubungan badan bagi yang sudah menikah.
Ia bukan berdosa malah berpahala. Perhatikan sabda Rasulullah saw berikut ini:
Artinya: Dari Abu Dzar ra, bahwasannya ada beberapa sahabat yang mengadu kepada Rasulullah
saw: "Wahai Rasulullah saw, orang-orang kaya telah mengalahkan kami dalam hal pahala; mereka
shalat sebagaimana kami shalat, mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa dan mereka
bersedekah dengan kelebihan harta-harta mereka". Rasulullah saw lalu bersabda: "Bukankah Allah
telah menjadikan buat kalian juga untuk bersedekah? Sesungguhnya dalam setiap tasbih adalah
shadaqah, dalam setiap takbir adalah sedekah, dalam setiap tahlil adalah sedekah, mencegah dari
perbuatan munkar adalah sedekah, dan dalam setiap dari kemaluan salah seorang dari kalian
 (maksudnya berhubungan badan bagi yang sudah berkeluarga) adalah sedekah". Para sahabat lalu
bertanya: "Ya Rasulullah, apakah salah seorang dari kami yang menggauli isterinya karena sahwat
akan mendapat pahala juga?" Rasulullah saw menjawab: "Bagaimana menurut kalian apabila
kemaluannya itu yang diletakkan pada kemaluan yang haram (maksudnya berzina), bukankah ia
akan mendapatkan dosa?" Para sahabat menjawab: "Betul, Rasul". Rasulullah saw bersabda
kembali: "Demikian juga apabila kemaluannya itu diletakkan pada yang halal (maksudnya
berhubungan badan dengan pasangannya yang sah), maka tentu ia akan mendapatkan pahala juga"(HR. Muslim).

4. Banyaklah berbohong demi menyenangkan isteri
Berbohong dalam ajaran Islam adalah termasuk salah satu perbuatan sangat tercela. Bahkan,
dalam sebuah hadits dikatakan, ia termasuk sumber segala dosa. Oleh karena itu, dalam kondisi
dan keadaan apapun seorang muslim dilarang untuk berbohong. Hanya saja, ini dikecualikan untuk
mereka yang sudah menikah. Bagi yang sudah menikah, berbohong demi menyenangkan
pasangannya tidak akan berdosa malah menuai pahala. Bahkan, dengan banyak berbohong seperti
ini, ikatan cinta kasih dan sayang antara suami isteri akan menjadi makin lengket dan rekat.
Misalnya, ketika isteri masak, suami memujinya dengan pujian berlebihan akan nikmat dan
lezatnya masakan isteri sekalipun sebenarnya masakan terseubut keasinan atau nggak jelas bumbu
dan rasanya. Berbohong seperti ini mudah diucapkan namun dalam kenyataannya sangat sulit
diterapkan. Oleh karena itu, berusahalah dan perbanyaklah berbohong demi menyenangkan
pasangannya karena dengan demikian akan lebih mempererat jalinan cinta kasih dan sayang yang
sudah terbina. Perhatikan sabda Rasulullah saw berikut ini:
Artinya: "Ummu Kultsum berkata: "Saya tidak pernah mendengar Rasulullah saw membolehkan
berbohong kecuali untuk tiga keadaan: orang yang berbohong demi mendamaikan orang yang
sedang berselisih, orang yang berbohong ketika peperangan dan suami yang berbohong kepada
isterinya (demi membahagiakan isterinya) juga isteri yang berbohong kepada suaminya (demi
membahagiakan hati dan perasaan suaminya)" (HR. Muslim).

WANITA SETELAH MENJADI SEORANG ISTRI

Apakah kehidupan tetap sama ketika Anda berganti status dari pacar menjadi istri? Kebanyakan pasangan yang sudah menikah akan menjawab: "Tidak!" Ketika kita menjadi seorang istri, kita mengemban banyak peran baru, tanggung jawab dan beban emosional. Hal tersebut pasti akan menyebabkan sejumlah perubahan dalam kepribadian kita.

Berikut adalah beberapa perubahan yang dihadapi kebanyakan wanita setelah menjadi istri. Tapi tenang, kita tidak akan hanya berbicara tentang masalah yang muncul, namun juga cara untuk mengatasinya sehingga pernikahan Anda tetap berbunga-bunga.

Berharap terlalu muluk-muluk
Kehidupan pernikahan Anda tidak akan selamanya membahagiakan. Membayangkan Anda dan suami akan langsung tinggal di rumah impian dengan kebun yang luas, di mana ia dan anak-anak akan bermain dan bersenda gurau setiap hari, memang impian yang indah namun jangan lalu dijadikan patokan. Sebagai pasangan yang sudah menikah, Anda berdua akan menghadapi masalah, mengalami percekcokan, dan terpaksa membuat kompromi.

Selalu ingat, menikah bukan berarti pindah ke "dunia" lain. Dunia ini tetap sama. Hanya saja, kalian kini berdua dan harus berusaha mewujudkan kebahagiaan berdua yang hanya bisa diraih dengan dengan cinta, rasa hormat dan beberapa kompromi dari kedua belah pihak.

Berusaha jadi yang terbaik di segala hal
Terkadang wanita berusaha terlalu keras untuk menyenangkan semua orang setelah mereka menikah. Mereka berusaha membuktikan diri bisa menjadi ibu rumah tangga yang sempurna, yang pandai memasak, membersihkan rumah dan membuat semua orang bahagia, dan tetap menjadi wanita karir yang sukses. Itu adalah ide yang baik, tetapi Anda bukan 'Superwoman'!

Tekanan yang terlalu berlebihan akan membuat Anda stres. Hubungan dengan suami akan menjadi korban yang paling dirugikan atas skenario ini karena dia harus menghadapi stres Anda. Jadi, pastikan Anda hanya mengerjakan hal-hal yang memang bisa Anda kerjakan sendiri. Selebihnya, tidak ada salahnya meminta bantuan.

Tidak mengutarakan perasaan yang sebenarnya
Menikah dan tinggal bersama suami dapat dapat membuat Anda stres secara emosional. Memendam perasaan dapat menyebabkan stres yang diungkapkan dalam bentuk omelan, perubahan suasana hati, temperamen buruk , dll. Alih-alih cemberut dan menimbulkan aura negatif di depan suami, cobalah untuk berbicara dengannya tentang apa yang mengganggu. Hal ini tidak hanya akan menghindarkan banyak sakit hati, tetapi juga semakin mendekatkan Anda sebagai pasangan yang sudah menikah.

Tak pernah membiarkan suami sendirian
Hanya karena Anda menikah dengannya, bukan berarti suami tidak membutuhkan ruang pribadi. Pasangan suami istri jauh lebih terlibat dalam kehidupan masing-masing daripada ketika masih pacaran, tapi setiap orang tentunya ingin memiliki waktu untuk dirinya sendiri. Beri dia waktu untuk bergaul dengan teman-temannya atau melakukan hobinya dengan tenang. Ini akan memberi Anda waktu untuk bersantai dan menjalani 'waktu pribadi' juga.

Mencoba untuk menjadi "ibunya"
Kita tahu, pria terkadang bisa sangat cuek. Mereka tidak tahu bagaimana cara menjaga rumah tetap bersih, menggantung handuk di kamar mandi, meletakkan piring di wastafel, menaruh baju kotor di tempatnya, dan berbagai kebiasaan buruk lainnya. Jika Anda ingin mengubah kebiasaan buruk suami, maka lakukanlah secara bertahap. Omelan terhadap segala hal buruk yang dilakukannya hanya akan membuat dia "gerah" berada di sekitar Anda.

Mengemban status sebagai istri adalah salah satu perubahan terbesar yang akan Anda alami dalam hidup. Jadikanlah momen itu semagis dan seromantis mungkin.